Oleh : Rahmat F Libahongi
Pada dasarnya Intelektualitas mahasiswa adalah sebuah senjata yang paling diagungkan masyarakat karena dirasa dapat memberi harapan pada masyarakat untuk lebih baik. Sejak kemerdekaan istilah ningrat sudah mulai tergeser dengan bertambah banyaknya mahasiswa dari kalangan menengah kebawah. Kelas dalam pendidikan pun juga mulai lebih variatif dan semakin kaya akan khasanah problematika sosial yang lebih real dan aktual untuk dihadapi. Secara resmi demonstrasi Indonesia rata rata didominasi oleh gerakan pelajar, baik siswa maupun mahasiswa.
Alasan dibalik pasifnya gerakan mahasiswa dan lahirnya ajang pencitraan sendiri penulis memilahnya menjadi 5 indikator yang mulai redup terhadap mahasiswa.
1. Moral Force (kekuatan moral)
Menekankan pada konstruk karakter yang harus dapat mencerminkan pemimpin. Tidak hanya sebagai cermin kepada masyarakat sekitar namun juga pejabat yang ada.
2. Guardian Velue (penjaga nilai)
Local wisdom sebagai jati diri bangsa yang santun, gotong royong dan tolong menolong merupakan titik tekan poin ini. Untuk siap sedia selalu turun dan bahu membahu menyelesaikan problem yang ada. Hal ini dapat kita lihat melalui aksi aksi kemanusiaan dan turun lapangan untuk membantu masyarakat.
3. Agent Of Change (Agen perubahan)
Dengan ke intelektual annya mahasiswa diharapkan dapat memberikan refresh terhadap kondisi yang ada. Mengangkat kehormatan dan kesejahteraan masyarakat dengan pengetahuan yang ada.
4. Social Control (kontrak sosial)
Poin ini banyak ditekankan pada penyambung lidah dari masyarakat terkait kebijakan politik yang dianggap hanya menguntungkan kelompok tertentu saja.
5. Ironi Stock (penerus)
Ini adalah puncak pengharapan masyarakat kepada mahasiswa yang diharapkan dapat meneruskan regenerasi pemimpin bangsa.
Lima indikasi diatas menjadi suplemen penting bagi setiap insan mahasiswa, sebagai bentuk penekanan yang paling mendasar ialah “jika mahasiswa lupa jati diri lantas arah perubahan mau dipercayakan pada siapa?
Akhir-akhir ini Gerakan mahasiswa kebanyakan bersifat non reaksioner. Bahkan kalaupun aksi mahasiswa bersifat reaksioner maka tak jarang kita akan dengarkan tudingan tunggamgan politik pada banyak aksi mahasiswa. Karena proses kajian yang kurang mendalam dan hanya mengikuti sekelompok mahasiswa saja. Lebih parahnya lagi Bahkan diberbagai demo kita akan temukan banyak domanstran yang tidak tau ngapain disana atau cuma ikut ikutan. Bahkan dapat kita temukan ada yang menjawab diajak teman.
Di era global yang serba digital ini. Sebelum masuk pada fase pencitraan penulis ingin sejenak berteriak pada tulisan ini “HIDUUPPP MAHASISWA”.
Pada masa pandemi demonstrasi adalah tindakan yang diangab mengganggu ketertiban dan mengancam kesehatan masyarakat. Lantas apa kabar Pancafungsi mahasiswa, yang notabene harus turun masyarakat. Namun walaupun tak dapat turun ke masyarakat mahasiswa telah siap bertindak kreatif dalam membuat aksi solidaritas yang tidak membahayakan masyarakat dengan memanfaatkan media online, Seperti :
1. Kreatif Meme
Sebuah gambar dapat menyampaikan berbagai pesan pada penikmat nya bahkan dapat juga mempengaruhi tindakannya. Hal ini sering dibahas dalam kajian stimulan and simulacra.
2. Donasi Digital
Bukan berarti sudah tidak zamannya untuk berdiri di pinggir jalan namun masyarakat juga sudah mulai berpindah pada gaya hidup dan karena kondisi yang membatasi turun ke jalan.
3. Influence Velue
Jika dulu tontonan bukanlah tuntunan namun hari ini tuntunan ada pada tontonan. Konten yang menarik akan memberikan inspirasi dan pengajaran untuk masyarakat.
4. Publish Kearifan Lokal
Selain untuk mengenalkan dan mempelajari nilai nilai luhur namun juga untuk mengingatkan orang lain akan identitas bangsa.
5. Kampanye Digital
Dengan migrasinya masyarakat pada dunia digital tempat berkumpul masyarakat juga mulai berpindah. Kampanye digital itu tidak hanya meluas namun juga dapat mencatat perkembangan kampanye kita. Seluas apa kita berusaha dan memobilisasi masa.
Kreativitas diatas sering di gunakan beberapa priode kemarin namun hal demikian menjadikan Mahasiswa era global mulai meraba-raba akan justifikasi aksi mereka selama menjadi mahasiswa. Juga harus memahami bahwa hambatan dan tuntutan fungsi yang ada merupakan tantangan nyata.
Penulis mengakui perubahan gerakan yang cenderung berubah dan lebih kreatif dengan memanfaatkan media online sebagai alat kritikan,masukan bahkan perlawanan terhadap penentu kebijakan, hingga tak jarang hendphone selalu getar karna adanya notif baru dari tulisan teman-teman mahasiswa yang keenakan berjuang secara daring.
Penulis mengakui tak ada salahnya berjuang secara daring akan tetapi Pernahkah mahasiswa mengevaluasi bahwa apa yang mereka sampaikan lewat tulisan-tulisan kritis di media sosial itu dapat tersalurkan kepada yang ditujunya ?
Berdasarkan data yang penulis ketahui bahwa minat membaca di Indonesia sangat minim apalagi skalanya adalah Maluku Utara, kadang penulis sering berpikir bahwa jika buku saja jarang dibaca apalagi tulisan kita di media sosial ?
Dengan demikian dampak dari kebiasaan berjuang yang hanya diam di tempat dengan bergantung pada media sosial maka yang terjadi adalah kejenuhan dialami sebagian mahasiswa karena arah organisasi sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan kondisi saat ini. Akhirnya banyak mahasiswa mencari jalan dengan membentuk komunitas-komunitas yang mampu membangun gairah produktifitasnya sebagai mahasiswa. Jika di masa orba mereka membentuk forum altenatif karena tekanan penguasa, maka kali ini lebih diakibatkan kejenuhan nuansa organisasi yang tadinya spartakus mulai berkamuflase menjadi Doraemon. Oleh karenanya kita perlu mengembalikan lagi peran mahasiswa sebagai seorang aktor intelektual dan sebagai parlemen jalanan.
Untuk memenuhi panggilan intelektual: sebuah strategi
Menurut Edward E. Shills, seperti diungkap Jalaluddin Rakhmat dalam Islam Aktual (Mizan, 1986), dalam International Encyclopedia of Social Sciences, tugas intelektual adalah menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan keterampilan masyarakatnya, melancarkan dan membimbing pengalaman estetis dan keagamaan berbagai sektor masyarkat.
Bahkan, lanjut Jalal lagi, James Mc. Gregor Burns ketika bercerita tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership berkata bahwa intelektual adalah a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. “Dalam definisi ini, orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan analitis adalah seorang teoritisi, orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis, orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya adalah seorang intelektual,”
Oleh karenanya di dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi tersendiri yang telah mengalami kecerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan budaya. Orang boleh tinggi tingkat kesarjanaan dan sangat ahli di dalam lapangan pekerjaanya, tetapi selama ia tidak punya minat atau kepekaan kepada rangsangan-rangsangan budaya, ia belum berhak dinamakan intelektual.
Di dalam masyarakat berbahasa Inggris, orang akan tercengang mendengar sebutan intellectual ditujukan kepada orang yang tidak menaruh perhatian kepada perkembangan budaya bangsanya” ungkap sastrawan Subagio Sastrawardoyo.
Jelaslah di sini bahwa paradigma intelektual adalah pandangan yang integral. Dimensi kesatuan antara keilmuan dan kepekaan sosial (aksi) sekaligus. Kalau kita sudah memahami fungsi dan peran ini, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana sebuah organisasi kemahasiswaan bisa memfasilitasi generasi mahasiswanya menjalankan fungsi intelektual.
Karena mahasiswa, menurut Arbi Sanit, merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga mempunyai horizon yang lebih luas untuk bergerak dalam atau di antara lapisan masyarakat. Jadi, orientasi yang mesti dibangun oleh organisasi mahasiswa saat ini adalah menjawab realitas kebutuhan praktis masyarakat. Inilah common enemy (musuh utama) yang harus dihadapi kelompok organisasi mahasiswa, khususnya yang berbasis kampus. Dan ini sejalan dengan fungsi mahasiswa sebagai aktor intelektual yang sebenarnya dan sebagai aktor parlemen jalanan yang seharusnya.
Salam perjuangan!
Hentikan bacot seolah berjuang dan mari turun ke jalan, sekian, barenti pencitraan.