Otonomi Daerah dan Ekonomi Lokal: Perspektif Kelembagaan

Opini293 Dilihat

Oleh: Dr. Muammil Sun’an.,SE.,M.P., M.AP
Penulis Adalah Dosen FEB-Unkhair Ternate

Melalui otonomi daerah, pembangunan daerah yang dilakukan oleh masyarakat lokal dipandang merupakan strategi atau cara yang paling efektif dibandingkan strategi pembangunan yang bersifat sentralistis yang dilakukan pusat. Desentralisasi berarti penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat setempat secara otonom melalui pelimpahan atau penyerahan sebagian wewenang pemerintahan (Saragih, 2003; 27). Namun, dimensi otonomi daerah bukan hanya sekadar pelimpahan sebagian wewenang penyelengaraan pemerintahan dari pusat ke daerah. Dimensi ekonomi otonomi daerah sangat luas, karena tujuan dari otonomi daerah adalah mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik materi maupun psikis. Oleh sebab itu, seiring dengan upaya membangun ekonomi lokal lewat desentralisasi, pengembangan institusi masyarakat (institutional empowerment) sangat penting, termasuk pemberdayaan DPRD di masa depan.

Desentralisasi dan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab disertai perimbangan keuangan pusat-daerah merupakan suatu proses dengan banyak segi. Otonomi daerah mencakup banyak aspek yang masing-masing saling berkaitan dan melibatkan beberapa variabel, seperti aspek keuangan seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), administrasi aparatur, ekonomi swasta, potensi sumber daya alam, kondisi demografis, dan partisipasi masyarakat (Hadi S, 1999). Melalui perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan momentum yang sangat baik bagi setiap daerah dalam melaksanakan pembangunan dalam segala aspek, termasuk pembangunan ekonominya. Dana perimbangan (DAU, DAK, Bagi hasil) diharapkan digunakan seefesien dan seefektif mungkin oleh pemerintah daerah dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat dalam upaya membangun daerahnya.

Pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berlangsung puluhan tahun merupakan sebuah proses untuk dapat memdorong perekonomian daerah dan mendorong pemulihan ekonomi. Apabila selama ini upaya pembangunan ekonomi dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat saja, dengan adanya otonomi daerah merupakan peluang bagi daerah-daerah untuk ikut merumuskan kebijakandalam upaya mendorong pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, upaya pemulihan ekonomi tidak harus selalu top-down seperti yang terjadi selama ini, tetapi bisa juga bottom-up. Dengan kemandirian mengelola perekonomian daerah sendiri, pemda mempunyai kesempatan tidak hanya mensejahterakan rakyatnya secara langsung, tetapi juga mensejahterakan masyarakat sekelilingnya secara tidak langsung. Yang lebih penting lagi dari sekadar menciptakan spill-over effects, adalah kemampuan pemda untuk mengeluarkan kebijakan ekonomi yang mendorong efisiensi perekonomian sendiri.

Hal yang penting untuk dikembangkan oleh pemerintah (daerah) dalam proses desentralisasi ekonomi adalah tata kelola (governance) dan pengembangan kapasitas (capacity building) untuk menjamin implementasi setiap kebijakan public yang diciptakan. Secara umum isi dari tata kelola dan pengembangan kapasitas tersebut bisa diuraikan dalam lima kategori ini (Ahrens, 2000: 88):

  1. Credibility/kredibilitas: hak veto, mekanisme kontrak, agenda mekanisme pengawasan; pemisahan kekuasaan.
  2. Accountability/akuntabilitas: manajemen sektor publik, reformasi dan pengelolaan perusahaan publik/negara, pengelolaan keuangan publik; reformasi pelayanan publik.
  3. Participation/partisipasi: desentralisasi fungsi-fungsi ekonomi, kerjasama pemerintah – swasta, pemberdayaan pemerintah lokal; kerjasama dengan masyarakat.
  4. Predictability/prediktabilitas: reformasi regulasi dan hukum; kerangka hukum bagi sektor swasta.
  5. Transparency/transparansi: pengungkapan informasi, kejelasan aturan dan regulasi pemerintah; keterbukaan proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik.

Konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas daerah tersebut secara lebih spesifik diarahkan untuk penguatan ekonomi daerah dengan sasaran empat unsur berikut (Jaffee, 1998: 112). Pertama, produktivitas (productivity) di mana rakyat harus mampu setiap waktu meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan. Kedua, pemerataan (equality) di mana rakyat harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan (tidak ada diskriminasi). Ketiga, kesinambungan (sustainability) di mana pembangunan yang dikerjakan bukan cuma untuk memenuhi kebutuhan sekarang tetapi juga keperluan generasi yang akan datang. Keempat, pemberdayaan (empowerment) di mana pembangunan harus dilakukan oleh rakyat dan bukan hanya untuk rakyat. Dengan model ini rakyat bukan Cuma target pembangunan, melainkan penggagas pembangunan pula. Keempat sasaran itulah yang harus dibidik oleh pemerintah daerah apabila desentralisasi telah diterapkan.

Dalam konteks ini, menurut Ahrens (1998: 5) pertanyaan sentral bukan berapa banyak akan tetapi apa jenis intervensi negara yang kondusif buat pembangunan ekonomi. Keterlibatan negara yang efektif tidak terlalu mem-butuhkan kredibilitas komitmen janji politik kepada rakyat, tetapi yang lebih penting tergantung pada kapasitas administrasi yang memadai dan kapabilitas pembuat kebijakan agar sesuai dengan peran yang diupayakan dalam kepemimpinan politik. Dalam hal ini, struktur pemerintahan mendasari proses pembuatan kebijakan sebagai hal yang penting. Dalam konteks ini, pemerintahan didefenisikan sebagai kapasitas lingkungan kelembagaan di mana warga negara berinteraksi dengan agen pemerintahan, mempengaruhi insentif para politisi, birokrat, agen ekonomi swasta, dan menentukan pertukaran di antara warga negara dengan pegawai pemerintah. Struktur pemerintah sendiri didasarkan pada institusi formal dan informal. Dengan memperhatikan persoalan implementasi dan penerapan kebijakan pemerintah, institusi – institusi politik memainkan peran yang dominant karena institusi – institusi tersebut menentukan bagaimana pelaku– pelaku yang berbeda terlibat dalam proses politik, jenis reformasi ekonomi politik macam apa yang mungkin secara politik dan bagaimana perilaku aktor – aktor individu tertentu.

Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi akan berjalan bila faktor kelembagaannya diurus dengan baik. Pada sebuah negara yang sedang melakukan proses reformasi, desentralisasi ekonomi bisa dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri (institutional environment). Artinya, desentralisasi dimaknai sebagai “rules of the game”. Pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah. Dalam perspektif ini berhasilnya tidak desentralisasi amat tergantung dari desain kelembagaan makro dan mikro yang dibuat. Jika tujuan makroekonomi dari desentralisasi diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di daerah, maka pemerintah lokal harus menyusun kelembagaan ekonomi yang efisien agar investasi terjadi, misalnya dengan penciptaan regulasi perijinan yang sederhana dan murah. Sementara itu apabila tujuan mikroekonomi dari desentralisasi difokuskan kepada hubungan yang adil antar pelaku ekonomi, maka pemerintah lokal berkonsentrasi pada desain kebijakan yang membatasi proses eksploitasi satu pelaku ekonomi kepada pelaku ekonomi lainnya.

Dengan pemahaman tersebut bisa dimengerti apabila keberhasilan pembangunan daerah khususnya dalam era otonomi sangat dipengaruhi oleh tiga hal (Yustika, 2007: 247). Pertama, ketersediaan sistem informasi yang memuat data dasar tentang kinerja pembangunan di daerah. Sistem informasi tersebut akan menjadi pemandu utama untuk menilai sampai sejauh mana tingkat keberhasilan pembangunan di daerah. Kedua, kesiapan daerah untuk mendesain sistem pengendalian dan pengawasan yang memungkinkan setiap program pembangunan bisa dijalankan tepat sesuai dengan perencanaan. Tanpa adanya sistem pengendalian dan pengawasan, dapat dipastikan seluruh implementasi program pembangunan akan berjalan menjauh dari perencanaan yang dibuat. Ketiga, menciptakan aturan main (regulasi/kelembagaan) yang memberi ruang bagi seluruh partisipan pembangunan daerah (pemerintah daerah, dunia usaha, kelompok kepentingan, masyarakat, dan lain-lain). Untuk melaksanakan program pembangunan berdasarkan prinsip kesetaraan dan kesamaan akses. Jika tidak ada desain kelembagaan (aturan main) yang sehat maka pelaksanaan program pembangunan cenderung tidak efisien dan cuma menguntungkan segelintir pelakunya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *