Oleh: Yetty Dan Maulidya M. Sangaji
Penulis Adalah Kolaboratif, Dosen Ekonomi Pembangunan Dan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan
Tak terasa Ramadhan sudah didepan mata. Ramadhan adalah bulan pengendalian diri. Tentu termasuk didalamnya pengendalian konsumsi (Marginal Propensity to Consume). Namun, fakta berkebalikan. Pertemuan momentum religi dengan tradisi budaya menjadikan Ramadhan hajatan nasional. Gairah “perayaan” menumbuhkan potensi pasar. Permintaan barang dan jasa meningkat. Uang beredar lebih banyak dan cepat. Imbasnya, nilai riil uang merosot. Harga mayoritas barang dan jasa melonjak. Inflasi tak terhindari.
Inflasi adalah istilah untuk fenomena naiknya harga barang di masyarakat. Titik tekannya bukan pada “naiknya harga barang”, melainkan pada “fenomena” atas proses meningkatnya harga-harga barang secara terus-menerus yang disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari konsumsi yang meningkat (permintaan lebih tinggi daripada penawaran), proses distribusi yang tidak lancar, atau melimpahnya uang beredar.
Minyak goreng merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia berdasarkan IHK (Indeks Harga Konsumen) Indonesia. Minyak goreng memiliki kontribusi yang besar, hal tersebut karena minyak goreng merupakan salah satu barang yang dikonsumsi masyarakat setiap harinya. Bobot terhadap inflasinya juga cukup tinggi.
Kelangkaan minyak goreng disebabkan karena ada kenaikan dari sisi permintaan (demand) dan penurunan dari sisi penawaran (supply). Beberapa faktor yang menjadi pemicu penurunan supply, utamanya produsen mengalami penurunan dalam memasarkan minyak goreng didalam negeri.
Naiknya harga minyak goreng akan mendorong inflasi secara umum. Dampak yang ditimbulkan dapat mempengaruhi beberapa sektor, diantaranya sektor industri makanan, rumah tangga, dan semua produksi yang menggunakan bahan baku minyak goreng. Oleh karena itu dampaknya juga akan lebih terasa terhadap inflasi terutama dari segi IHK. Harga barang yang naik itu mengakibatkan turunnya nilai mata uang. Proses ini berlangsung terus-menerus dan saling mempengaruhi harga barang yang lain.
Inflasi sendiri terdiri dari tiga komponen, yakni inflasi inti (core inflation), inflasi volatile food, dan inflasi yang diatur pemerintah (administred price). Pada bulan Ramadhan, komponen inflasi yang mengalami kenaikan adalah volatile food atau kelompok bahan makanan.
Diperkirakan pola inflasi Kota Ternate pada bulan Ramadhan hingga Idul Fitri menunjukkan laju inflasi menjadi semakin kencang. Pemicunya terutama karena inflasi pada harga pangan yang disumbangkan oleh minyak goreng, beras, gula, daging-dagingan, dan aneka bumbu masak.
Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang inflasi memang masih menunjukkan angka yang baik-baik saja. Pada bulan Januari Kota Ternate mengalami deflasi sebesar 0.22% dan 1.11% di bulan Februari. Tingkat inflasi tahun kalender Februari 2022 (Februari 2022 terhadap Desember 2021) sebesar -1,33% persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Februari 2022 terhadap Februari 2021) sebesar 0,99%.
Pada Februari 2022, Kota Ternate mengalami inflasi pada dua kelompok pengeluaran, deflasi pada tiga kelompok pengeluaran dan enam kelompok pengeluaran stagnan. Kelompok yang mengalami inflasi yaitu kelompok Perlengkapan, Peralatan, dan Pemeliharaan Rumah Tangga sebesar 0,42%; dan kelompok Kesehatan sebesar 0,02%. Kelompok yang mengalami deflasi yaitu kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau sebesar 2,01%; kelompok Transportasi sebesar 3,73%; dan kelompok Perawatan Pribadi dan Jasa Lainnya sebesar 0,14%. Sementara kelompok Pakaian dan Alas Kaki; kelompok perumahan, Air, Listrik, dan Bahan Bakar Rumah Tangga; kelompok informasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan; kelompok Rekreasi, Olahraga, dan Budaya; kelompok Pendidikan; dan kelompok Penyedia Makanan dan Minuman/Restoran tidak mengalami perubahan indeks (stagnan).
Dari angka tersebut terlihat dibulan Februari kelompok makanan masih mengalami deflasi. Yang patut diperhitungkan adalah tren kenaikan inflasi akan terjadi awal Ramadhan. Meski tampak kecil, angka tersebut bisa menghasilkan dampak yang cukup signifikan bagi orang-orang yang daya belinya cenderung stagnan atau bahkan mengalami penurunan. Apalagi kalau ada oknum-oknum tertentu yang memperparah keadaan seperti melakukan penimbunan barang, merekayasa pasar, dan sebagainya. Bahkan pemikiran, panic buying dan ekspektasi yang terjadi secara umum ditengah masyarakat juga menjadi faktor penyebab inflasi. Di sinilah tim pengendali inflasi daerah memiliki peran penting untuk mengontrol harga pasar.
Yang perlu diingat bahwa tren meningkatnya inflasi pada bulan Ramadhan bukan sebuah hal baru dalam perekonomian. Fenomena ini telah terjadi dari tahun ke tahun dan juga memiliki dampak positif guna menumbuhkan perekonomian. Namun, bukan berarti pemerintah tidak perlu berbuat apa-apa.
Kenaikan harga tidak terjadi jika peningkatan permintaan disertai dengan peningkatan penawaran (Market Equilibrium). Disinilah peran pemerintah dalam menjaga struktur distribusi. Bila terjadi kemacetan, atau mata rantai distribusi panjang, pemerintah bisa mengaktifkan semua instrumen untuk bertindak. Selain itu Desentralisasi pemerintahan memungkinkan masing-masing kepala daerah lebih aktif menjaga perekonomian masing-masing daerah dari ancaman inflasi. Fungsi ini dijalankan oleh Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang kemudian bersinergi antardaerah untuk mengefektifkan sistem deteksi harga dan memperlancar jalur pasokan.
Hal inilah yang menjadi kunci inflasi Ramadhan tahun ini dapat lebih dikendalikan. Inflasi Ramadhan sebagai inflasi musiman memang hampir tak mungkin dihilangkan. Namun, dengan berhasil dikendalikan maka beban masyarakat terutama yang secara nyata menjadi pemikul terberat inflasi, yaitu golongan berpendapatan tetap dan kaum penganggur yang tidak memiliki pendapatan, setidaknya dapat diringankan.
Semoga Cahaya Ramadhan mampu meredupkan inflasi dikota Ternate, mari kita sambut Ramadhan deng penuh kegembiraan.