Oleh: Muhammad Zais M.
Penulis Adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Khairun, Ternate
CENGKEH merupakan salah satu komoditas pertanian pada subsektor tanaman perkebunan yang memiliki nilai tinggi sejak dahulu hingga kini. Radjiloen (1982, 11-12) dalam bukunya “Dataran Tinggi Foramadiahi adalah Ternate Awal ke Dataran Rendah Limau Jore-Jore sebagai Ternate Akhir”, mengungkapkan bahwa kedatangan imperialis barat ke daerah Moloku Kie Raha “Maluku Utara” yang dicetus oleh Bangsa Portugis pada Tahun 1512 dibawah pimpinan Laksamana Franssisco Serrao dengan melewati derasnya arus Tanjung Pengharapan dan keganasan Lautan Hindia hanya dengan niat yang dilatar belakangi oleh tiga faktor yaitu: 1). Segi politik untuk memperluas kolonialisasinya di belahan bumi timur, 2). Segi ekonomi untuk berdagang langsung bahan komoditi utama dunia yaitu cengkeh, fuli dan pala dari sumber aslinya ialah daerah Maluku Utara, dan 3). Misi suci untuk menyebar-luaskan agama Katolik kepada penduduk pribumi. Fakta sejarah bahwa secara ekonomi, cengkeh merupakan salah satu komoditas utama dunia kala itu yang bersumber dari belahan bumi timur yaitu Moloku Kie Raha “Maluku Utara saat ini” yang merupakan simbol kemakmuran dan kejayaan, sehingga menggerakan bangsa asing untuk datang langsung dengan tujuan memonopoli jalur perdagangan dan meraih kekayaan yang berlimpah.
Cengkeh : Nilai Spiritual dan Sejarah
Cengkeh dalam bahasa lokal Ternate disebut sebagai Gaumedi atau Gomode di dataran Halmahera. Gaumedi bersama Gosora (Cengkeh dan Pala) merupakan salah satu simbolisasi pemaknaan nilai keseimbangan dalam kehidupan keseharian masyarakat “Moloku Kie Raha” khususnya Ternate (Maluku Utara). Gaumedi atau Cengkeh menjadi simbolisasi lelaki = ayah dan Gosora atau Pala menjadi simbolisasi perempuan = ibu, simbolisasi kebersamaan juga kasih sayang, yang mana keduanya secara bersama silih berganti menjadi sumber penghidupan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat sejak berabad-abad lalu hingga kini.
Topatimasang (2013) menyebutkan bahwa jika saja tak pernah ada cengkah dan pala, mungkin sejarah kepulauan nusantara akan berbeda sama sekali. Pernyataan ini bukanlah tanpa alasan, ketika kita melihat ke belakang perubahan sejarah dan peradaban dunia, ada komoditi cengkeh yang menjadi pemicu dan bagian dari proses itu. Brierly (1994, dalam Topatimasang, 2013) menjelaskan bahwa jauh sebelum bangsa Eropa mengenal cengkeh, telah dikenal oleh bangsa Cina dengan sebutan tkeng-his atau xi’jia yakni rempah berbentuk mirip paku. Ribuan tahun sebelum masehi (SM) melalui para saudagar Arab dan pedagang Cina, cengkeh dibawa dan diperkenalkan ke Eropa melalui bandar-bandar besar Tyre di Yunani dan Venesia di Italia. Peradaban Eropa yang untuk pertama kalinya dapat mengawetkan dan menyimpan makanan selama beberapa waktu, karena adanya cengkeh dan pala yang menjadi bahan utama pengawet saat itu. Betapa berharganya cengkeh dalam peradaban Eropa dan dunia tergambar dalam kalimat Blair & Blair (2010, dalam Topatimasang, 2013) bahwa “Kemampuan menyimpan makanan lebih dari yang kami makan sekaligus berarti kemampuan menjual dan membelinya dalam jumlah besar –dan kota-kota dagang pun mekar. Perekonomian yang dihasilkannya mengarahkan kami ke zaman Pencerahan dan kemudian Revolusi Industri. Tak lama setelah kami menghirup aroma yang sangat kuat dari Timur itu dan mengubah kimiawi makanan kami, maka kami pun mampu melakukan lompatan besar dalam bidang budaya dan seni.
Melalui cengkeh bersama pala, lahirlah pembelajaran menuju loncatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta revolusi industri. Bahkan, kolonialisasi Eropa atas negeri-negeri di Asia termasuk Indonesia, sebagai salah satu babak dalam sejarah dunia, dipicu oleh keinginan Eropa dalam menguasai sumber utama cengkeh dikarenakan harganya yang melebih harga emas, yang oleh Topatimasang (2013); Suparman, dkk (2017); Santoso (2018) mengungkapkan bahwa daerah sumber utama cengkeh berada di Kepulauan Maluku tepatnya di Ternate, Tidore, Moti dan Makian.
Cengkeh merupakan rempah purbakala yang digunakan ribuan tahun sebelum masehi. Catatan-catatan para biarawan Fransiskan –yang disalin dan dikutip oleh van Frassen– bahkan menyebut cengkeh sebagai salah satu bahan utama pengawet mumi para Fir’aun, penguasa Mesir Kuno. Beberapa pakar sejarah dan arkeologi menyatakan bahwa rempah-rempah Maluku bahkan sudah ditemukan artefaknya di Lembah Mesopotomia (wilayah Iraq dan sekitarnya sekarang) pada 3.000 tahun Sebelum Masehi (Brierly, 1994 dalam Topatimasang, 2013). Di abad ke-10 Sebelum Masehi, terkisahkan dalam sejarah Alkitab bahwa saat Ratu Sheba mengunjungi Raja Solomon (Sulaiman) di Yerusalem dihadiahkan pula emas, rempah-rempah meliputi cengkeh, kayu cendana, dan kayu gaharu dan batu permata (Czarra, 2009).
Sumber lain oleh Habib Abdurrahman bin Kamil Assagaf, mengungkapkan bahwa Ternate banyak tertulis dalam kitab-kitab para ulama yang berada di Jazirah Arab sejak dahulu, diantaranya adalah kosakata “cengkeh” yang dalam bahasa arab disebut sebagai “Al-Qoronfulu”. Al-Habib mengungkapkan bahwa dalam kitab Wasail al-Wusul Ila Shamail al-Rasul, dinyatakan Sayyidina Hasan ketika berkunjung ke rumah Ummu Salamah, Sayyidina Hasan dan beberapa sahabat meminta Ummu Salamah memasak makanan yang biasa beliau masak untuk dimakan Nabi Muhammad SAW, maka disajikan makanan tersebut. Selesai makan, Sayyidina Hasan mengatakan ini makanan yang enak, bahan-bahannya apa makanan ini? maka oleh Ummu Salamah disebutkan bahan-bahannya diantaranya adalah rempah-rempah cengkeh dan pala.
Tidak dapat dipungkiri oleh sejarah, bahwa daerah Maluku Utara nan indah lagi mungil, awalnya merupakan gudang raksasa menyimpan dan menghasilkan rempah-rempah cengkeh sebagai bahan komoditi utama kala itu yang tidak terdapat di wilayah dunia lainnya, apakah di Utara, Selatan, Barat dan Timur, hanya satu-satunya di daerah Maluku Utara “Ternate, Tidore, Moti, Makian”. Namun bagaimana dengan saat ini, apakah cengkeh masih menjadi primadona dan komoditas utama? Masihkah Maluku Utara “dalam sejarahnya” menjadi produsen utama cengkeh?
Masihkah Menjadi Primadona dan Komoditas Utama?
Indonesia sebagai negara agraris, di bidang tanaman perkebunan saat ini teridentifikasi memiliki 15 komoditas yang diunggulkan diantaranya yaitu kelapa sawit, karet, kelapa, tebu, kopi, kakao, sagu, tembakau, jambu mete, teh, cengkeh, lada, pala, nilam, dan kapas. Untuk Provinsi Maluku Utara, terdapat 7 komoditas tanaman perkebunan dengan kapasitas produksi yang berdaya saing yaitu komoditas kakao, cengkeh, kopi, kelapa, jambu mete, pala, dan sagu (Dirjen Perkebunan Kementan RI, 2021). Dalam catatan data statistik yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), cengkeh merupakan salah satu komoditas pertanian di subsektor tanaman perkebunan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Tingginya nilai ekonomis ini dikarenakan besarnya manfaat cengkeh diantaranya adalah menjadi input (bahan baku) bagi sektor-sektor produksi seperti industri rokok, industri kosmetik, industri makanan dan minuman hingga industri obat-obatan.
Khusus di bidang perkebunan, apakah cengkeh merupakan komoditas utama?. Data statistik menunjukkan bahwa, cengkeh berada pada ranking ke-4 dalam skala produksinya dibandingkan dengan 6 komoditas perkebunan lainnya di Maluku Utara. Cengkeh merupakan komoditas perkebunan dengan kapasitas produksi terus meningkat dari 4,061 ton pada tahun 2017 menjadi 5,101 ton pada tahun 2021. Selain cengkeh, pertanian Maluku Utara di bidang perkebunan memiliki kapasitas produksi terbesar pada tanaman kelapa sepanjang tahun 2017 s.d. 2021, dimana pada tahun 2017 volume produksi kelapa mencapai 234,153 ton tetapi kemudian menurun pada tahun 2021 menjadi sebesar 206,356 ton. Komoditas kakao menempati posisi kedua dalam produksinya dengan volume 8,527 ton pada tahun 2017 dan meningkat menjadi 8,734 ton pada tahun 2021. Komoditas pala berada di posisi ketiga dalam produksinya di Maluku Utara dengan volume produksi yang bergeser dari 7,030 ton menjadi 5,604 ton antara tahun 2017 dan 2021. Sama halnya, Komoditas perkebunan lainnya yang berperan hingga tahun 2021 di Provinsi Maluku Utara adalah komoditas jambu mete dengan volume produksi 1,091 ton, komoditas sagu sebesar 967 ton dan komoditas kopi sebesar 8 ton (Dirjen Perkebunan Kementan RI, 2021).
Tidak hanya pada tingkat lokal Maluku Utara, secara nasional meskipun cengkeh merupakan salah satu komoditas ekspor, namun dalam skala produksi masih berada pada rangking ke- 11 dibandingkan dengan 14 komoditas lainnya. Indonesia saat ini menghasilkan komoditas perkebunan terbesar pada tanaman kelapa sawit, karet, kelapa dan tebu dengan kapasitas produksi di atas 2 juta ton per tahun. Sedangkan cengkeh, data tahun 2017 s.d. 2021 hanya mampu berproduksi di bawah 150 ribu ton per tahun. Meskipun demikian, dibandingkan tahun 2017, terjadi peningkatan volume produksi dari 113,17 ribu ton menjadi 140,99 ribu ton di tahun 2021.
Tabel 1. Produksi Komoditas Perkebunan di Indonesia, Tahun 2017 – 2021.Melalui data statistik di atas, menjadi salah satu jawaban bahwa cengkeh bukanlah satu-satunya bahkan bukan lagi sebagai komoditas utama dalam skala produksinya di Maluku Utara dan Indonesia. Apa penyebabnya? Tentunya butuh kajian lebih jauh tentang ini. Hipotesa dalam masalah ini diantaranya: 1). dipengaruhi oleh luas areal pengusahaan, 2). harga beli di tingkat petani yang terlalu rendah dibandingkan dengan biaya produksinya sehingga mempengaruhi psikologis petani dalam mengusahakan produksi cengkeh, atau 3). permintaan pasar atas cengkeh yang tidak lagi tinggi.
Masihkah Maluku Utara dan Indonesia “Sejarahnya” Menjadi Produsen Utama?
Komoditas perkebunan Provinsi Maluku Utara memiliki keunggulan komparatif yang tinggi dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Kontributor perkebunan terbesar Maluku Utara dalam produksi perkebunan nasional adalah komoditas pala dengan kontribusi rata-rata tahun 2017 s.d. 2021 sebesar 15.57 % atas produksi pala nasional. Meskipun demikian, peranan komoditas pala Maluku Utara secara nasional mengalami penurunan. Di tahun 2017 Maluku Utara berada pada peringkat ke-1 produksi pala, namun di tahun 2021 berada pada peringkat ke-4. Demikian juga dengan komoditas kelapa, Maluku Utara merupakan produsen ke-4 nasional dengan kontribusi 7.59 % selama 5 tahun terakhir.
Khusus komoditas cengkeh, dalam periode 2017 s.d. 2021 Provinsi Maluku Utara secara nasional mampu berkontribusi 3.41 % dalam produksi perkebunan cengkeh di Indonesia dan berada pada peringkat ke-10 dari 34 provinsi sebagai produsen cengkeh nasional. Data menunjukkan bahwa saat ini Maluku Utara bukanlah produsen utama dalam produksi cengkeh nasional. Daerah penghasil terbesar cengkeh di Indonesia adalah Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, dan Aceh.
Meskipun Maluku Utara bukanlah produsen utama produksi cengkeh di Indonesia, namun melalui akumulasi produksi cengkeh secara keseluruhan dari berbagai wilayah, hingga saat ini masih menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar cengkeh dalam pemenuhan permintaan pasar global. Dalam pasar global, Indonesia berkontribusi 74.5 % dengan volume produksi yang terus meningkat hingga sebesar 134,7 ribu ton pada tahun 2019 (www.tridge.com). Selain Indonesia, saat ini cengkeh juga dihasilkan oleh beberapa negara lain seperti Madagascar, Tanzania, Comoros dan lainnya. Berdasarkan data tridge.com, nilai ekspor cengkeh Indonesia ke pasar global mencapai $ 173.81 M pada tahun 2020, yang jauh lebih tinggi dibanding tahun 2013 dengan nilai ekspor $ 24.24 M.
Kapasitas produksi cengkeh di Maluku Utara dan persebarannya di berbagai belahan bumi lainnya tidak terlepas dari peristiwa masa lalu. Silih bergantinya penaklukan atas daerah sumber rempah yang pada akhirnya menjadikan Belanda sebagai pemenang, maka melalui Perusahaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang dibentuk pada awal abad-17 (tepatnya tahun 1609), Belanda melancarkan ekspedisi Pelayaran Hongi (Hongie Tochten), untuk memusnahkan semua tanaman cengkeh di Ternate, Tidore, Moti, dan Makian, lalu membatasi ketat penanamnya hanya di Pulau-pulau Ambon dan Lease –yang lebih dekat ke Banda sebagai pusat pemerintahan mereka sebelum akhirnya dipindahkan ke Batavia. Praktis, sejak akhir abad-16, Belanda pun menguasai penuh perdagangan rempah-rempah Maluku dengan jumlah produksi rerata 2.500 sampai 4.500 ton per tahun (Topatimasang, 2013). Sampai abad ke-18 monopoli atas cengkeh dan pala di Kepulauan Rempah-Rempah sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Sampai, akhirnya, seorang berkebangsaan Prancis, Pierre Poivre, dibantu oleh juru tulisnya, M. Provost, berhasil menembus blokade pertahanan Belanda. Pada 6 April 1770, Provost mendarat di Pulau Gebe. Dia berhasil memikat hati kepala suku setempat yang memerintahkan warganya mendatangkan bibit cengkeh dan pala dari daerah Patani di daratan besar Halmahaera. Bibit cengkeh curian itu diselundupkan, kemudian ditanam dan berkembang biak dengan baik di koloni-koloni Perancis di Zanzibar, Madagaskar, dan Martinique. Adapun bibit pala curian Provost berhasil ditanam dan berbuah pula di Granada. Peristiwa lainnya yang mempengaruhi keberadaan komoditas cengkeh yakni di masa orde baru, yang mana terjadinya monopoli perdagangan cengkeh melalui pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) sehingga sangat merugikan petani dikarenakan anjloknya harga hingga Rp 2,000 per kilogram, yang kemudian menyebabkan banyak petani yang menebang atau membiarkan tanaman cengkeh tak terurus dan mati (Puthut EA, dkk, 2013).
Tulisan ini hanyalah sedikit rangkuman catatan atas kejayaan cengkeh dan kemampuannya dalam mengubah peradaban nusantara dan tatanan dunia. Banyak catatan yang menjelaskan bahwa cengkeh telah melahirkan banyak kota-kota dagang di dunia. Tingginya geliat perekonomian dan perdagangan telah membawa pencerahan dan revolusi industri di Eropa. Bahkan, ditemukannya Benua Amerika oleh penjelajah Eropa, tak lain dan tak bukan dikarenakan tingginya keinginan untuk menemukan sumber utama rempah cengkeh yang oleh pedagang Arab, Cina, dan India, disebut berada di Timur Jauh. Sejarah adalah refleksi untuk selalu bangkit, berdiri kokoh dan melangkah ke depan. Walaupun saat ini Maluku Utara bukanlah produsen utama cengkeh, namun cengkeh telah mampu menuliskan tinta emas dalam peradaban dunia sejak zaman sebelum masehi. Cengkeh merupakan komoditas bernilai yang tak ternilai bagi petani, Maluku Utara, dan Indonesia.
Untuk saat ini, perbedaan karakteristik geografis dan topografi wilayah sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas komodtas perkebunan seperti rasa, aroma, dan kadar komoditas yang diinginkan dalam pasar ekspor. Provinsi Maluku Utara sangat berdaya saing dalam menghasilkan komoditas perkebunan yang bernilai tinggi dalam pasar perdagangan internasional dan telah menjadi bagian dari sejarah panjang perdagangan rempah dan komoditas lainnya sejak era perdagangan klasik. Kekhasan komoditas perkebunan Provinsi Maluku Utara harus selalu diupayakan untuk dikembangkan dengan berbagai pendekatan pengelolaan terpadu baik tradisional maupun modern dan sesuai dengan permintaan pasar ekspor. Tentunya dukungan kebijakan pemerintah baik lokal maupun nasional khususnya di bidang produksi dan perdagangan serta dukungan dari berbagai sektor, kelembagaan dan teknologi menjadi penting untuk secara holistik menggerakkan budidaya, industrialiasi, maupun perdagangan dari komoditas perkebunan Provinsi Maluku Utara sehingga diharapkan dapat menciptakan nilai tambah dan kesejahteraan bagi petani dan masyarakat.