Politik “Jargonisasi” Ajaran Bung Karno
Oleh: Hamdan Halil
Ketua Umum Pengurus Besar Forum Mahasiswa Maluku Utara (PB FORMMALUT) JABODETABEK
Sebuah poster Bung Karno bertuliskan kata-kata jenaka, “cari pasangan itu yang Soekarnois. Tidak pernah sekali-kali meninggalkan sejarah. Apalagi meninggalkan kamu”.
Untaian ini menggelitik muda-mudi yang lagi kasmaran. Lebih-lebih kawlah muda yang doyan ajaran Bung Karno. Sepertinya bisa jadi senjata meluluhkan si buah hati belahan jiwanya. Tapi bukan itu sebetulnya mengawali maksud tulisan ini.
Adalah kata-kata seperti Soekarnois, Ajaran Bung Karno, panflet-panfet, tensi opini bertendensi politis dalam diskursus publik, kerap berubah menjadi sesuatu yang serius dan menyumbang ketegangan dalam kongtingensi elit, baik nasional maupun tingkat lokal.
Bermula dari artikel “Anomali Soekarnois” oleh Ardiansyah Fauzi pada (05/2/2023) di sebuah media online. Ardianyah selaku Juru Bicara Wakil Walikota Tidore, secara spesifik mempersembahkan tulisan itu “menguliti” salah satu bakal calon Walikota Tidore Kepulauan, Syamsul Rizal Hasdy, saya tergelitik merespon dengan catatan sederhana dan acak ini.
Catatan singkat ini berisi tafsir subjektif saya sekaligus sebentuk sowan, bahwa mengenai pemikiran Bung Karno yang sudah jadi warisan pemikiran milik bangsa maupun dunia internasional, tidak sepatutnya diplintir semata untuk menyerang, memojokkan, pun mendelegitimasi lawan politik.
Kalau pun Bung Karno tahu, tentu ini adalah kesedihan akibat putra putri bangsa ini terseok dalam klaim soekarnois namun dalam laku dan tindakan justru menyempitkan ajaran Bung Karno yang progresif revolusioner itu. Kata Bung Karno, “manusia yang revolusioner adalah dia yang satunya kata dan tindakan”. Kita membuang energi untuk mendebatkan ikhwal ini bila tidak ada representasi indikator.
Betapapun, dalam level pradigmatik, ajaran Bung Karno harus diuji. Masih relevankah dalam praktik ekonomi politik kita hari ini, ataukah hanya berujung jargon apalagi pajangan yang hari ini makin ramai membuncah diruang publik?
Tak dapat disangkal, ajaran Bung Karno, lelaki berkeronganan menggeledek dan berpikiran revolusioner ini sebatas milik organisasi dan partai politik tertentu? Tentu tidak. Bung Karno milik Bangsa, milik dunia internasional, milik semua bangsa bernasib sedang dalam penghisapan satu bangsa terhadap satu bangsa yang lain, penjajahan satu bangsa dengan bangsa yang lain.
Bangsa manapun yang terjebak dalam kesenjangan kemakmuran dan keadilan berhak berdiri dan berduyun-duyun gegap gempita menggelorakan Ajaran Bung Karno. Di Venezuela, Chile, Bolivia, Kuba, dan beberapa negara lainya, ikut tersihir oleh angin revolusi ala Bung Karno. Konsepsi seperti berdikari, Manipol Usdek, Nasakom, Demokrasi Terpimpin berdimensi Sosialisme Indonesia, Nasionalisme humanis bukan chauvinis, dan konsepsi adiluhur lainya.
Tak kalah pelak, Pancasila sebagai tawaran konsepsi ideologi internasional kala dunia terbagi menjadi blok barat dan blok timur; Manifesto Komunis versus Deklarasi Kemerdekaan Amerika, komunis head to head kapitalis, Bung Karno menggemahkan Pancasila bagai mencusuar dihadapan sidang dunia internasional. Tentu ini sisi hebat dari Bung Karno yang belum tertandingi dalam sejarah presidensi di PBB. Kita wajib mendasari konsepsi semacam ini ditengah gempuran dan tantangan yang bergerak dialektik, dinamik, agar tak kehilangan esensi romantikanya sebuah pergerakan. Iya, menyetir Kata Bung Karno, “Revolusi itu ada dialektiknya, dinamiknya dan romantiknya”
Ajaran Bung Karno adalah warisan pemikiran dalam khazanah perubahan sosial, teramat sekali dalam perbincangan revolusi; gerakan perubahan mendasar ekonomi politik. Kata Bung dalam Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, “irama dari revolusi adalah menjebol dan membangun”. Kita kini hendak menjebol, lalu konsepsi macam apa untuk menatanya kembali kalau bukan pemikiran yang progresif berdimensi geopolitik strategis dan sosio kultural masyarakat lokal.
Menemukan kembali ajaran Bung Karno dewasa ini, publik harus berani terbebas dari klaim, baik kalian biologis maupun klaim ideologis. Bagimana dengan Syamsul Risal Hasdy, apakah sebuah kesalahan ia mendagu dirinya sebagai soekarnois yang juga bisa jadi berpeluang memikat hati Ibu Megawati Soekarnoputri, lantas mendapatkan rekomendasi partai PDI Perjuangan untuk ikut bertarung di Pemiihan Walikota Tidore? Waula hualam bissawab. Tentu memunculkan kerumitan tersendiri bagi para pengamat bila disandingkan dengan Muhammad Senen, Ketua Dewan Pengurus Wilayah PDI Perjuangan Provinsi Maluku Utara sebagai petahana. Biarlah itu menjadi urusan internal PDI Perjuangan baik kaders partai maupun partisan yang kualifite sebagai insan politik soekarnois. Partai punya mekanisme tersendiri untuk itu.
Namun, membincang ajaran Bung Karno sebetulnya adalah gugatan epistemologis sekaligus aksiologis bagi kita semua. Sejauh mana konsistensi laku kekuasan mewarnai tindak tanduk pemerintahan atas nama ajaran Bung Karno. Itu yang utama. Bila rakyat makin susah berdiri diatas kaki sendiri, dan tidak punya kemampuan untuk membeli sendiri kesejahteraannya, maka kita sedang dalam masalah konsepsi tercerabutnya ekonomi berdikari. Bila kedaulatan politik membendul elitis, maka kita bermasalah dalam konsepsi politik daulat penguasa, mendepak daulat rakyat. Dan, bila budaya kita tidak mengusung tatanan budaya yang bermartabat dan egaliter, maka kita sedang dalam terlena dalam kebudayaan semu dan “ogah” mengkonversi nilai luhur dalam semua lapangan praktek. Butuh keberanian membumikan Trisakti revolusi Indonesia di daerah di tengah kekalutan relasi timpang pemerintah pusat dan daerah beserta dimensi sinkretiknya.
Tak bermaksud membela, Pada level perspektif, Ada benarnya Bung Syam menyeru pentingnya Tidore dalam perspektif peradaban melalui konvensi nilai dan modernisasi ekonomi, terlepas dari plintir kontroversi ikutan nitizen dan warga, serta ada yang menyebut distartir dan dikonfrontir elit tertentu. Pun beragam perspektif lain dari para kompetitor yang bakalan muncul meramaikan Pilwali Tikep, baik petahana atau “penantang”.
Mengenai konvensi nilai, sebagai contoh, kita perlu menengok restorasi Meiji di Jepang, spirit samurai dikonvensi menjadi etos kerja dan keaslian jati diri orang Jepang di tengah modernisasi, Jepang tampil bersaing tanpa meninggalkan keadatanya sebagai orang Jepang. Spirit lain seperti Katana (Pedang) bukan untuk membunuh tapi untuk melindungi. Dapatlah kita memetik pelajaran sportififitas kompetesi sarat kompetensi sekaligus jadi cemeti bagi kita mendorong strategis kebudayaan dalam perencanaan pembangunan.
Kekuasaan manapun yang mendagu Soekarnois, bila birokrasinya dalam tekanan dan hegemoni kuasa, kepatutan pegawai dan pekerja pemerintahan seperti dalam belenggu, sebetulnya prinsip perikemanusiaan dan perikeadilan perlu dipertanyakan. Ada tanda bahaya yang harus dinyalakan, Corak kekuasaan berdasarkan anjuran seorang moralis Nicollo Machiavelli, seorang pemimpin harus ditakuti dan dicintai sekaligus untuk menerima semua kebijakannya. Bila terpaksa harus memilih, dia harus memilih ditakuti. Agar tak mendikte, rakyat dan para pegawai pemerintahan tentu punya standar penilaian tersendiri untuk menilai pemimpinnya.
Betapapun, bukan maksud membela Soekarno, Sukarno muda bercita-cita membangun tata dunia baru yang adil dan demokratis, namun kadang orang kebanyakan juga salah kaprah memahami Soekarno tua yang pro status quo dan anti demokrasi atau menyingkirkan lawan-lawan politik di level praktek, padahal semata demokrasi terpimpin menuju sosialisme itu memiliki konsekuensi ideologis ditengah ketegangan dan tarik menarik kutub-kutub kekuatan politik kala itu. Butuh analisa tajam menyelami latar sosio-historis politik era Soekarno.
Kita pun telah mengenal Putra Sang Fajar, Bung Karno dalam berbagai literatur dan pidato heroiknya, ia adalah Proklamator dan rekonsiliator perdamaian dunia berkarakter progresif revolusioner ini.
Menyedihkan kala gagasan politik dan dirinya hanya menjadi pajangan alat peraga kampanye di sudut kota hingga pelosok tanpa membumikan ajaran dan cita-citanya. Spirit Sosialisme Indonesia; Masyarakat Adil Makmur, Trisakti Revolusi Indonesia; Merdeka seutuhnya, rupa kehilangan marwa di podium dan catatan politisi apolitik dan ahistoris yang tampik sorai kesenangan di medan politik elektoral kini, dari waktu ke waktu.
Sebagi kritik untuk kita semua, sebagian besar Partai dan Ormas menjadikan Pancasila sebagai haluan organisasi, tapi tak satupun yang berani menyerukan wujud Sosialisme Indonesia. Sama seperti negara ini, mengkapitalisasi hajat hidup orang banyak atas nama Pancasila. Takut dilabeli komunis. Padahal tidak, sosialisme dan komunis itu dua hal yang berangkat dari termnya masing-masing. Sosialisme Indonesia kata Hatta, paduan dari sosialisme barat, Islam dan Adat Istiadat Nusantara.
Sosialisme Indonesia ialah tugas dan takdir kesejarahan kita sebagai bangsa yang merdeka. Kita telah mengikat perbedaan atas nama persatuan dan persamaan nasib bangsa terjajah tempo dulu. Bukan apa-apa, pancasila hanyalah perekat falsafah dan penyuluh pemikiran utk bangsa dan manusia yg merdeka seutuhnya. Ia berguna, ketika bangsa ini berani berjalan diatas pemikiran dan jiwa bangsa yang besar dan merdeka.
Pancasila, suatu ikhtiar inklusi sosial demokrasi kebangsaan, mensyaratkan keberagaman kultur dan identitas peradaban manusia Indonesia. Tak lain ialah Masyarakat Adat Nusantara, muasal Indonesia. Ia saling tali-temali. Bagaimana bisa merawat pluralitas kultur dan identitas yang harmoni, sementara melepaskan dimensi ekologis dari problem sosial. Apalagi mendorong laju perampasan ruang hidup secara sistematik, struktural dan masif.
Kalaulah kita baca Pancasila dalam pendekatan gerakan sosial, ia adalah titik singgung pendekatan gerakan sosial baru, tanpa menegasikan pendekatan proses politik, mobilitas sumber daya dan perilaku kolektif – tergantung ruang dan waktu.
Pancasila dalam term gerakan sosial baru ialah kiri yang religius, kiri yang populis, kiri yang kritis, kiri yang ekologis, kiri yang demokratis. Bung Karno juga bilang, Pancasila itu Kiri.
Inilah tugas gerakan mahasiswa, yang harus menggempa di kampus-kampus dan bergumuruh bersama rakyat di jalanan, juga di kampung-kampung. Mendepak samasekali politik populisme kanan yg mengkomoditasi Pancasila; agama, kultur, identitas dan sentimen primordial yang membajakan kesatuan kekuasaan untuk melayani dirinya sendiri.
Sebagai mahasiswa dan warga pada umumya, kita pun harus berani menggugat jargonisasi dan banalitas praktek politik kita dewasa ini. Pelaksanaan Pancasila dan sosialisme, bagian tak terpisahkan dari peran gerakan sosial intelektual bernyali. Siapapun itu di jalan panjang perjuangan politik memikul beban agar politik tidak dikuasai kelompok intelektual jargonis “membeo”. Semoga*