Opini: Fagogoru Sebagai Arus Sejarah
Oleh: Bambang Idris
Penulis Adalah Kordinator Literasi Loga-loga Halmahera
Fagogoru merupakan pedoman kehidupan secara menyeluruh yang menentukan bagaimana kita mengaktualisasikan nilai-nilai dalam dunia kehidupan sehari-hari. Karena fagogoru sebagai sistem pengetahuan dan sistem nilai yang bersumber pada Ngakui rasai, Budi bahasa, Sopan santun, Mitat re miymoy yang harus diwujudkan dalam tindakan.
Dari sistem pengetahuan dan sistem nilai tersebut merupakan falsafah kehidupan bagi masyarakat fagogoru. Yang harus menjelma pada sistem pemikiran, nilai dan ide pembangunan dalam kehidupan masyarakat yang berkebudayaan. Namun masyarakat yang berkebudayaan itu dikonsepsikan pada dua hal. Yang pertama, adalah pembentukan nilai dan norma harus di edukasikan dilintas generasi.
Karena dilintas generasi saat ini, tidak lagi memiliki pengetahuan tentang kebudayaan fagogoru. Yang kedua, adalah pembangunan sumber daya manusia yang bersumber pada nilai fagogoru yang dapat membentuk moral dan karakter kepemimpinan kita untuk melayani kepentingan masyarakat. Dari dua aspek ini menjadi misi dan visi bersama untuk mewujudkan kemajuan pembangunan daerah.
Namun misi dan visi itu dilihat pada konteks kebijakan yang respon terhadap perubahan kita hari ini. Misalnya, bagaimana menghadapi perubahan masyarakat yang majemuk dilintas kebudayaan yang saat ini terjalin secara entitas sosial. Terjalinnya masyarakat yang majemuk itu sering terbentur pelbagian konflik, misalnya persoalan yang terjadi pada tanggal 25 desember 2022 di Desa Lelilef.
Untuk menghadapi persoalan tersebut, agar tidak terulang lagi, maka harus ada titik temu dialog lintas kebudayaan untuk saling memahami dan memaknai secara bersama. Dengan titik temu dialog itu, akan melahirkan rekonseliasi perdamaian untuk saling menerima secara kebudayaan yang inklusif. Yang dapat menghimpun semua kepentingan dari berbagai pihak pada endapan sosial untuk terjalin dan terintegrasi.
Arus Sejarah.
Dari mana arus sejarah fagogoru di arahkan? Disinilah kita harus sadar untuk belajar sejarah fagogoru secara tulus, cerdas dan kritis bahwa ketimpangan sosial masi menyelimuti kita bersama. Misalnya, kemiskinan dan ketidakadilan yang bertolak belakang dengan nilai fagogoru. Karena disebabkan fagogoru hanya sebatas pada ‘’slogan politik’’ yang beku dalam tindakan bersama.
Hal inilah, kita harus kembali pada nilai fagogoru sebagai daya peradaban yang menandai kesadaran terhadap memori kolektif tentang sejarah ‘’tiga negeri bersaudara’’ yaitu: Maba, Weda dan Patani. Kesadaran sejarah itu mengingatakan saya pada interpertasi historis Arnold Toynbee, di tahun 1950, tentang perubahan kultur tidak terlepas dari segala persoalan dilapangan kehidupan sosial.
Ironisnya, persoalan sosial tersebut karena fungsi nilai fagogoru telah vakum secara sosial. Fungsi sumber nilai Ngakui rasai, Budi Bahasa, Sopan santun dan Mitat re miymoy itu hanya berhenti pada ucapan, tapi tidak berlaku dalam ketulusan dan kesungguhan kita untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat. Untuk itu, ketulusan, kesungguhan dan kesadaran dilintas elit harus menjiwai penderitaan masyarakat.
Jika kita tidak menjiwai penderitaan masyarakat maka kita akan terpinggirkan dari kaki peradaban. Misalnya, persoalan pembunuhan yang terjadi pada tanggal 20 maret 2021 yang hari ini tidak ada keadilan. Namun persoalan pembunuhan semacam ini, di abaikanya tapi kita lebih sibuk konsolidasi fagogoru. Karena kita terperangkat pada kepentingan politik yang dapat menimbulkan klaim kebenaran dilintas kelompok yang berbedah politik. Untuk itu, kita harus keluar dari klaim kebenaran siapa yang lebih pantas untuk pemimpin di negeri ini. Jika tidak, kita akan selalu dikotomi dalam kepentingan politik.
Kepentingan politik itu disebabkan fagogoru sekedar dilebelkan pada politik. Tapi tidak membumikan dalam kehidupan sehari-hari, melainkan sebatas ambisi politik. Maka kita semua harus sadar bahwa kepentingan politik harus sejalan dan senafas dengan sumber nilai fagogoru untuk menumbuhkan daya hidup kita sehari-hari. Misalnya, kita harus saling merangkul antara sesama dalam hubungan sosial, karena itu sebagai penegasan jati diri kita bahwa fogogoru adalah dunia nilai dan makna, bukan dunia politik.
Dunia politik itu bertentangan dengan nilai fagogoru, sehingga itu menjadi landasan perilaku kita yang kuat untuk kritik terhadap kepentingan politik. Karena fagogoru selalu dijadikan legitimasi politik yang berdampak pada polarisasi politik dan dapat menimbulkan keretakan hubungan masyarakat. Hal ini berangkat pada pengalaman di setiap tahun politik bahwa kita sendiri yang mengkhianati nilai fagogoru, akibat dari perilaku politik kita yang tidak mencerminkan keadaban.
Membangun Mental Kita.
Membangun mental itu berangkat dari kesadaran kita terhadap dunia pendidikan kita hari ini. Terutama bagi pemimpinan kita yang harus memberikan perhatian besar pada pembangunan kualitas sumber daya manusia berkebudayaan. Karena perhatian besar ini berfungsi pada dunia pendidikan kita sebagai wahana utama. Berdasarkan pengalaman kita bersama bahwa pendidikan merupakan modal yang mereproduksi sumber daya manusia kreatif dan otonom.
Pendidikan baik tidak hanya belajar untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan, tapi harus juga karakter, keadaban dan etika yang dapat kita arahkan pada pencerdasan, pencerahkan di dunia kehidupan masyarakat. Dengan begitu, pendidikan akan dapat menumbuhkan kesadaran dan kearifan kita. Kesadaran semacam ini, kita harus tularkan dalam kehidupan masyarakat secara bersama, sehingga kita saling peduli dan bertindak atas dasar nilai-nilai fagogoru yang etis.
Oleh karena itu, membangun fagogoru adalah satu entitas sosial yang memiliki persamaan untuk hidup bersama. Dengan persamaan itu kita saling memilik bersama yang menjadi simpul persatuan dan kesatuan untuk mencapai kehidupan yang setara, sejahtera, serta terlibat dalam pergaulan perdamaian hidup. Untuk mencapai itu semua, maka kita memerlukan kesungguhan dan berbuat kebaikan terhadap sesama yang merupakan sikap yang tulus.
Dengan demikian, sikap yang tulus itu akan dapat tercermin pada kehidupan yang memanusiakan manusia yang bisah mengembangkan kecerdasan kongnitif, spritual dan kecerdasan emosial pada satu tarikan cita-cita bersama. Dan cita-cita bersama itu akan dapat diwujudkan, jika kita ‘’membumikan nilai fagogoru’’ dalam tindakan sehari-hari.