Indonesia merupakan Negara demokrasi sebagai dasar dari platfrom Negara. Meski begitu, kebanyakan rakyat Indonesia mengalami Represif saat menuntut hak serta kewajibanya, serupa di bungkam ruang demokrasi Masyarakat. Kita bisa belajar dan mebacanya dalam etape perjalanan sejarah bangsa ini, dari zaman Orde Baru (Orba) kebebasan rakyat di kebiri. Tak heran karena represi rezim orba selama 32 tahun terus terjadi.
Represifitas itu, terbukti ketika Wiji Tukul, Udin dan sebagian aktivis 98 dintagkap hingga di hilangkan karena menentang kebijakan rezim orba, Jasad mereka tidak di temukan sampai saat ini. Sementara itu, marsina yang menuntut haknya, ditangkap, diperkosa serta di bunuh.
Akibat dari praktek kejam itu lah menimbulkan pembungkaman ruang demokrasi, memukul mundur nilai demokrasi sebagai asas kehidupan bernegara. Dari praktek bejat orba, justru muncul gelombang pergerakan besar-besaran pada masa itu yakni tahun 1998 dari mahasiswa dan rakyat Indonesia.
Gerakan tersebut, menuntut agar kiranya soeharto turun dari jabatan sebagai presiden. Setelah turun dari jabatan reformasi hukum dilakukan, mulai dari amandemen Undang-Undang, sehingga melahirkan dwi fungsi abri dihapuskan dll. Menurut coen husain pontoh, “bahwa gerekan 1998 membuka jalan demokrasi secara meluas dan kebebasan sipil terlaksana, walaupun hanya seberapa”. (Baca ; Malapetaka demokrasi pasar)
selain itu, gerakan tersebut memiliki dampak positif dan negatifnya. Dampak positifinya ialah orang-orang bebas berserikat dan menyampaikan pendapat di depan Umum. Dampak negatifnya ialah membuka jalan bagi pemodal. Sehingga memasuki babak baru bagi sistem demokrasi kita.
Dampak negatif itu, melalui dari partai politik (parpol) yang menjadi pengontrol sistem demokrasi kita, membebaskan berbagai macam paket liberalisasi untuk memuluskan modal. Untuk mengetahui hal diatas tak terlepas dari posisi parpol dalam menjemput momentum pemilu pada febuari mendatang.
Kepentingan parpol pada pemilu 2024
Tentu bukan lagi hal baru, Februari mendatang pemilu dilaksankan. Pemilu ini tak terlepas dari kepentingan modal, karena pemilu 2024 hanya lah ajang pertarungan politik demi mendapatkan kekuasan politik. Taktik parpol mengunakan skema busuk serta menghalalkan segala cara guna mendapt kan suara.
Hal ini terbukti ketika dalam beberpa waktu belakangan partai politik berbondong-bondong mengampanyekan tentang pemimpin ideal untuk bangsa.
Tetapi kampanye pemimpin ideal justru hanya ilusi belaka. Misalnya, pemilu 2009, 2014, dan 2019 posisi parpol tetap sama hingga kampanye-kampenya mereka tak jauh berbedah.
Bakal calon, semuanya bagian dari titipan kapitalisme Nasional dan internasional, mereka ikut bertarung pada pemilu nanti hanya akan memuluskan kepentingan akumulasi kapital mereka. Sehingga pemilu nanti, siapa pun presidenya tetap Noeliberal penguasanya.
Akibatnya, kandidat-kandidat itu ketika menang serta berkuasa mereka hanya mementingkan kepentingan modal, misalnya, jokowi yang menang karena di dorong oleh kerja modal, ia menerbitkan paket uandang-undang mulai dari Omnibus law, Minerba dll. Yang bagian dari memuluskan kerja-kerja kapitalisme,
ekstrimnya pada akhir jabatanya ia bepidato menyampaikan bahwa “kalau ada kapolda dan kapolres yang menghadang-hadang investasi maka akan digantikan kopolda dan kapolres”. Setelah pidato itu, represif terhadap masyarakat rempang karena menghadang kerja investasi secara brutal oleh aparat Negara.
Karena represif itu, indeks demokrasi kita menurun sacara drastis. Kompas merilis bahwa kualitas demokrasi indonesia berada di bawah filipina dengan skor 54 dari 167 Negara. Sepanjang tahun 2021 Indonesia berada dalam peringkat 52, kemudian pada tahun 2023 menjadi 54, dalam waktu yang singkat penurunan indeks demokrasi sanggat cepat. Hal ini membuktikan bahwa demokrasi Indonesia cacat sedari awal hingga kini.
Sehingga pemilu ialah salah satu faktor pendorong kemajuan demokrasi malah berbelok, biarpun begitu, pemaknaan demokrasi tak hanya sebatas kontestasi pemilu dan rakyat bisa menyoblos pada kotak suara lalu pergi, tentu tak sesempit itu pemaknaan demokrasi. Lebih lanjut memaknai itu ialah kebebasan sipil terjamin, setiap pengambilan keputusan politik harus melibatkan rakyat, pluraliseme dan budaya politik perlu ditingkatkan.
Penulis : Sukriyanto Safar