Kemelaratan Rakyat, Dibawah Iming-iming Janji Kandidat

Opini733 Dilihat

Pemilu 2024 tidak menjanjikan perubahan signifikan bagi kemakmuran rakyat meski siapapun pemenangnya.

Saya ingin mengajak kita semua untuk kembali melihat pada masa Orde baru (Orba), rezim yang dikendarai oleh Soeharto dengan kekuatan militernya mengekang demokrasi demi kepentingan mempertahankan status quo nya. Dimasa orba juga, merosotnya indeks demokrasi Indonesia disebabkan karena pengunaan kekutan militer yang menduduki serta mencampuri hal ihwal sipil.

“Sejarah bangsa ini telah memperlihatkan Kepada kita, betapa bahayanya bangsa ini dipimpin oleh militerisme, tentunya kita tidak ingin mengulangi kefatalan yang sama demi masa depan demokrasi yang baik”.

Selain beberapa hal diatas, di masa orba para ekonom mafia sepenuhnya tunduk pada anjuran kapitalis global yakni, menjalankan konsep pembangunan-isme. Tak heran Soeharto diangkat sebagai bapak pembangunan, meski rakyatnya melarat.

Berlanjut ke runtuhnya orba dan berlangsungnya reformasi pun mereka masih tetap setia pada pemikiran yang di pasokan oleh IMF, BANK DUNIA, WTO dan ADB. Para pendukung dan Pemuja ekonomi Neo-liberalisme mendapatkan penetrasi melalui jargon reformasi struktur, (Outputnya adalah diterbitkan kebijakan liberalisasi, cabut subsidi pangan dan energi, privatisasi dan swastanisasi). Hal itu bagi mereka dilakukan agar Indonesia bisa menjadi Negara kelas menengah keatas pada sektor pendapatan ekonomi, Pengganti Soeharto pun tidak mampu mengendarai bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Semua kebijakan, dikeluarkan pemerintah paska reformasi tentu konsisten dengan meliberalisasi kan berbagai macam sektor perekonomian makin meluas. Sederhananya, “kebijakan sistem ekonomi sekarang telah menjerat dan mengurung Indonesia”, maka harus lebih diperkuat lagi memenjarakan tanpa perlu peduli pada tegaknya kemakmuran rakyat sebagai amanat konstitusi.

Sejak era Megawati sebagai presiden hingga saat ini, Indonesia terus terlena dalam pangkuan kebijakan sistim ekonomi Neo-liberalisme. Situasi itu (sistim neoliberal) kemudian semakin diperkokoh melalui berbagai macam regulasi yang menguntungkan kelompok investor/pemodal, mulai dari disahkannya UU 10/98 tentang perbankan, UU 11/2003 tentang perbankan, UU 25/07 tentang penanaman modal, UU Cipta kerja dan berbagai macam UU lainya yang membuka muara bagi kepentingan monopoli para kapitalis.

Ditengah ketidakpastian situasi ekonomi politik dan hukum saat ini, ditandai dengan tergadai nya amanat konstitusi, terjadi tawar-menawar dalam penegakan hukum atau terbelinya penegakan hukum. Kondisi semacam ini mengindikasikan bahwa pemimpin yang lahir dari partai politik borjuis saat ini tidak lebih sebagai penambah beban untuk rakyatnya.

Demikianlah sistem yang berlaku sampai saat ini, sistem tersebut kemudian makin diperkokoh melalui dari terdiktenya partai politik borjuis sebagai pemegang kekuasan kedaulatan rakyat. Partai politik borjuis tersebut yang nantinya akan mengirim kandidat-kandidatnya untuk berebut berkuasa melalui desain pemilu yang manipulatif dan timpang.

Pada pemilu semacam ini, sesungguhnya rakyat bukanlah pemilih mandiri, melainkan rakyat hanya disuruh memilih pemimpin yang disuguhkan/disiapkan oleh partai politik borjuis tanpa tahu biografi para kandidat yang dipilihnya, apakah kandidat tersebut seorang pelanggar HAM berat, ataukah seorang yang melegalkan/mengijinkan penggusuran paksa serta perampasan lahan milik rakyat.

Ntah lah, begitu mekanisme pemilu saat ini, dimana Partai politik borjuis adalah pemegang kekuasan atas demokrasi yang tunduk sepenuhnya pada sistem Kapitalis, Neo-liberalisme.

Pemilu serentak akan digelar pada 14 Februari 2024 mendatang, pasalnya beberapa Universitas di Maluku Utara telah selesai menjalankan Ujian Akhir Semester (UAS), itu artinya tak lama lagi para mahasiswa/i wajib membayar lunas biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang kian bertambah semester kian bertambah Mahal biayanya. Beberapa Universitas bahkan telah meliburkan mahasiswanya.

Mahasiswa/mahasiswi yang mayoritas adalah anak petani, anak buruh, anak nelayan dan anak pedagang kaki lima ini akan melanjutkan aktifitasnya (memanfaatkan momentum libur) untuk membantu orangtuanya bekerja.

Rakyat kelas bawah/akar rumput, bekerja dengan mengandalkan tenaganya ditengah meriahnya pesta kampanye kandidat yang menghujani telinga rakyat dengan janji-janji. Namun, tak satupun kandidat, menjanjikan kesehatan gratis yang layak bagi rakyat serta pendidikan gratis dan bermutu bagi rakyat.

Mungkin, ditengah situasi semacam ini, hal yang tak dapat relakan atas dasar kebutuhan terdesak, pendidikan mahal, kesehatan mahal, angka pengganguran meningkat, kemiskinan merajalela dan sulitnya mendapatkan pekerjaan. maka, sebagian rakyat akan memilih berdasarkan kandidat mana yang memberi mereka “many/uang” lebih banyak maka akan dipilih.

Sederhananya suara rakyat telah dibeli, tentunya ketika kandidat itu telah terpilih maka skema seperti uraian diatas akan dijalankan. Tidak akan ada kesungguhan dalam merealisasikan janjinya dan memperjuangkan kepentingan kemakmuran rakyat.

Dampak lainya adalah rakyat yang tidak mengerti politik dipaksa harus main politik tanpa diberi bimbingan tentang hak berdemokrasi yang dimilikinya. Hasilnya adalah terputusnya jalinan persaudaraan sesama rakyat hanya karena beda pilihan.

Mereka tidak tahu bagimana kandidat-kandidat itu meraup keuntungan dengan cara menebar janji, nyanyian lama diulang Kembali. “Jika saya terpilih saudara akan sya beri ini, akan sya beri itu, dan seterusnya” Begitulah ungkapan janji kandidat. Karenanya, bagi saya kedepannya rakyat akan terus dibuat melarat.

Merujuk pada uraian singkat diatas, mungkinkah kandidat-kandidat yang ber’kontestasi di pemilu 2024 yang menghabiskan miliyaran bahkan triliunan uangnya untuk kebutuhan kampanye demi berebut berkuasa, akan menyelesaikan sistem yang mendikte amanat konstitusi?

Jika kita menjawab iya, maka mestinya telah tercipta syarat-syarat menuju ke arah itu, sayangnya syarat-syarat menuju ke arah itu belum tercipta, sebab kita masih menentukan pemimpin di 2024 dengan sistim yang sama seperti penjelasan diatas. Itu artinya rakyat tidak boleh berharap banyak apalagi menitipkan nasibnya kepada para kandidat-kandidat yang ada.

Jika suara rakyat adalah suara tuhan maka pastikan suara tuhan itu tidak terbeli, Jika suara rakyat adalah suara tuhan maka gelorakan suara itu untuk kepentingan persatuan kekuatan alternatif rakyat sendiri.

BERSATU DAN BERJUANG UNTUK MEMBANGUN KEKUASAN RAKYAT

Penulis : Nando

(Ketua Wilayah Pusat Perjuangan Mahasiswa Untuk Pembebasan Nasional Kolektif Maluku Utara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *