M Guntur Abd Rahman, SE.,ME
Peneliti Lembaga Kajian Strategi Pembangunan Daerah (eLKASPED)
Di atas kertas, pendidikan disebut sebagai prioritas. Anggaran 20 persen APBN konon dialokasikan untuk sektor ini. Namun, jika kita menengok ke Halmahera, jantung Maluku Utara, realitasnya berbeda: sekolah roboh, ruang kelas berdinding papan, guru honorer bergaji Rp300 ribu, dan anak-anak yang belajar sambil mengejar sinyal di bawah pohon kelapa. Ini bukan sekadar potret tragis, tapi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.
Infrastruktur Rapuh, Janji yang Kosong
Pertanyaannya sederhana: sampai kapan anak-anak Halmahera harus belajar di ruang kelas yang bocor setiap kali hujan? Bagaimana mungkin bicara tentang “Indonesia Emas 2045” jika bangku sekolah di desa pesisir masih seadanya, bahkan tanpa papan tulis yang layak?
Ironisnya, Halmahera bukan daerah miskin. Pulau ini adalah surga nikel yang dieksploitasi habis-habisan untuk menopang industri global. Setiap hari triliunan rupiah keluar dari tanah ini, tapi sekolah-sekolah di lingkar tambang masih berlantai tanah. Apakah ini bukan bentuk ketidakadilan struktural?
Guru dan Akses yang Dikorbankan
Ketimpangan distribusi guru adalah luka lama. Sekolah di desa hanya punya dua guru untuk enam kelas, sementara di kota jumlah guru menumpuk. Sementara itu, akses internet masih menjadi barang mewah. Anak-anak di Halmahera harus berjalan hingga ke bukit atau pesisir untuk sekadar mengikuti ujian daring.
Ini jelas memperdalam kesenjangan kualitas pendidikan. Ketika anak-anak di kota belajar coding, anak-anak di Halmahera bahkan tak bisa memastikan koneksi internet stabil selama satu jam. Apakah pemerintah pusat dan daerah benar-benar peduli, atau hanya sibuk meluncurkan jargon digitalisasi tanpa melihat realitas?
Kebijakan Setengah Hati dan CSR Kosmetik
Masalah lain adalah kebijakan setengah hati. Anggaran pendidikan di daerah lebih banyak habis untuk seminar, perjalanan dinas, dan proyek mercusuar di ibukota provinsi, ketimbang menyentuh sekolah-sekolah di pedalaman.
Perusahaan tambang? Jangan terlalu berharap. CSR mereka sering berhenti pada acara seremonial: membagi-bagikan tas, buku, atau beasiswa musiman. Padahal kewajiban moral (dan seharusnya hukum) mereka adalah membangun sekolah tahan bencana, laboratorium, dan akses digital berkelanjutan. Tapi siapa yang berani menagih? Pemerintah daerah terlalu sering tunduk pada kepentingan industri.
Solusi yang Harus Berani Dijalankan
- Dana afirmasi pendidikan kepulauan harus digulirkan, bukan sekadar wacana. Halmahera butuh alokasi khusus, sebagaimana Papua punya Otsus.
- Insentif guru yang nyata, bukan sekadar janji. Mereka yang bersedia mengajar di desa pesisir harus mendapat tunjangan besar, percepatan sertifikasi, bahkan prioritas ASN.
- Kurikulum kontekstual kepulauan perlu segera disusun. Anak-anak Halmahera harus belajar tentang laut, konservasi, pertanian lokal, dan kewirausahaan berbasis pulau, bukan hanya hafalan yang tak relevan.
- Keterlibatan industri tambang wajib diatur dengan tegas. CSR pendidikan tak boleh lagi kosmetik. Harus ada mekanisme audit publik agar setiap rupiah benar-benar menyentuh sekolah.
Jangan Biarkan Generasi Hilang
Kita sedang berada di persimpangan. Jika dibiarkan, Halmahera akan melahirkan “generasi hilang”, anak-anak yang kalah bersaing, bukan karena mereka kurang cerdas, tapi karena negara abai menyediakan hak dasar mereka.
Pendidikan bukan soal belas kasihan, melainkan hak konstitusional. Maka, jika pemerintah pusat dan daerah benar-benar serius membangun Maluku Utara, ukurannya sederhana: seberapa banyak sekolah di Halmahera yang berubah dari miris menjadi layak dalam lima tahun ke depan.
Jika tidak, semua jargon “Indonesia Emas” hanya akan menjadi emas palsu yang berkilau di atas penderitaan anak-anak kepulauan.












