Belanja Per Kapita Tinggi di Maluku Utara: Antara Angka dan Kenyataan

Dr. Nurul Hidayah, SE,M.Si

(Dosen Senior FEB Unkhair)

Data Kementerian Keuangan per Agustus 2025 menunjukkan bahwa wilayah Maluku–Papua menerima belanja negara per kapita tertinggi di Indonesia, rata-rata Rp 8 juta per orang. Angka ini jauh di atas Jawa yang hanya Rp 3,5 juta per kapita. Bagi Maluku Utara, ini seolah pertanda bahwa negara memberi perhatian lebih.

Meski sering disebut rata-rata belanja negara per kapita di kawasan Maluku–Papua sekitar Rp8 juta per orang, data resmi menunjukkan bahwa Maluku Utara justru lebih tinggi. Dengan total belanja negara Rp19,56 triliun pada 2023 dan jumlah penduduk sekitar 1,35 juta jiwa, estimasi belanja per kapita mencapai Rp14,4 juta per orang per tahun.

Untuk 2024, realisasi hingga November sudah Rp16,46 triliun atau setara Rp12,1 juta per kapita, sementara pagu tahunan mencapai Rp17,86 triliun atau sekitar Rp13,2 juta per orang. Sedangkan pada 2025, realisasi hingga April baru Rp4,48 triliun atau sekitar Rp3,3 juta per orang, yang wajar karena periode tahun berjalan belum selesai.

Angka ini menegaskan bahwa Maluku Utara menerima belanja negara per kapita di atas rata-rata nasional. Namun, seperti biasa, belanja per kapita bukanlah uang tunai yang diterima tiap warga, melainkan rata-rata alokasi APBN untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, subsidi, dan belanja lainnya. Tantangan utamanya bukan sekadar besarannya, melainkan bagaimana memastikan setiap rupiah benar-benar berubah menjadi layanan publik yang dirasakan masyarakat di Ternate, Tidore, Halmahera, Morotai, hingga pulau-pulau kecil.

Mengapa Tinggi?

Belanja per kapita Maluku Utara tinggi karena beberapa hal. Pertama, faktor geografi kepulauan. Dengan penduduk hanya sekitar 1,35 juta jiwa tersebar di banyak pulau, setiap sekolah, puskesmas, dan jalan tetap harus dibangun. Biaya tetap ini menjadi mahal bila dibagi dengan jumlah penduduk yang sedikit.

Kedua, biaya logistik. Semua orang di Maluku Utara tahu betapa mahalnya membawa semen atau besi ke Halmahera atau Morotai. Indeks kemahalan konstruksi di sini jauh lebih tinggi daripada di Jawa.

Ketiga, adanya kebijakan afirmatif. Dana Otonomi Khusus, transfer ke daerah, subsidi tol laut, hingga BBM satu harga semuanya menaikkan alokasi per orang. Ditambah belanja kementerian untuk proyek infrastruktur strategis, wajar jika angka per kapita melonjak.

Realita di Lapangan

Namun, belanja besar tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas layanan publik. Mari kita lihat beberapa data:

  • Stunting masih tinggi. Tahun 2022 prevalensi stunting 26,1 %, turun menjadi 23,7 % pada 2023. Meski menurun, angka ini masih jauh dari target nasional 14 %. Bahkan Maluku Utara masuk 20 provinsi dengan stunting tertinggi. Pemerintah menetapkan 167 desa prioritas stunting untuk intervensi.
  • Kemiskinan pada Maret 2024 tercatat 6,32 % atau sekitar 83 ribu jiwa. Angka ini memang di bawah rata-rata nasional, tetapi ironis mengingat potensi sumber daya alam besar seperti nikel, ikan, dan rempah.
  • Pertumbuhan ekonomi luar biasa tinggi, 11,88 % di kuartal I 2024 dan 10,76 % di kuartal II. Namun, pertumbuhan ini didorong hilirisasi nikel dan ekspor, sehingga belum merata dirasakan masyarakat desa nelayan dan petani.
  • Listrik masih menjadi masalah klasik. Meski banyak desa sudah “terlistriki,” pasokan tidak stabil. Beberapa pulau hanya menikmati 12–18 jam listrik per hari. Padahal, potensi energi surya di Maluku Utara diperkirakan mencapai 721 GW, tapi belum digarap serius.

Risiko Belanja Tinggi

Belanja per kapita Rp 12,1 juta bisa menimbulkan ilusi kesejahteraan. Publik mengira masyarakat Maluku Utara sudah sejahtera, padahal data stunting dan kemiskinan menunjukkan masih banyak masalah. Belanja besar juga berisiko menciptakan ketergantungan fiskal. Jika aliran dana pusat berkurang, layanan publik terancam berhenti karena PAD masih kecil.

Selain itu, aset mangkrak sering terjadi. Jalan dibangun tanpa dana perawatan, puskesmas berdiri tanpa dokter tetap, BTS dipasang tapi sinyal sering mati karena solar habis. Belanja besar tanpa operasi dan pemeliharaan (O&M) justru menambah beban.

Strategi Agar Bermakna

Untuk menjadikan belanja besar benar-benar membawa perubahan, ada beberapa langkah penting:

  1. Ikatan pada outcome. Dana harus dikaitkan dengan capaian nyata: stunting turun ke 15 %, listrik desa stabil 20 jam per hari, dan sinyal aktif di 95 % desa.
  2. Kontrak design–build–maintain. Infrastruktur dibangun sekaligus dirawat minimal 3–5 tahun. Kontraktor wajib menjaga fungsi aset, bukan hanya membangun.
  3. Dorong energi terbarukan. Dengan potensi surya besar, Maluku Utara bisa menjadi pionir PLTS komunal untuk pulau kecil.
  4. Fokus SDM lokal. Proyek harus menyerap tenaga kerja lokal dan melibatkan UMKM, agar belanja tidak hanya keluar kembali ke luar daerah.
  5. Integrasi logistik. Tol laut, kapal perintis, dan distribusi proyek harus disinergikan agar biaya turun.

Penutup

Belanja per kapita Rp 12,1 juta di Maluku Utara adalah peluang sekaligus ujian. Jika dikelola dengan fokus pada outcome, belanja besar ini bisa memperbaiki layanan kesehatan, pendidikan, listrik, dan akses dasar. Tetapi jika hanya berhenti di angka, ia akan menjadi statistik cantik di tabel APBN tanpa arti bagi warga Sofifi, Morotai, Halmahera, Ternate, atau Tidore.

Yang lebih penting dari jumlah rupiah adalah jawaban atas pertanyaan sederhana: apakah hidup masyarakat Maluku Utara benar-benar membaik? Jika ya, belanja besar adalah berkah. Jika tidak, ia hanyalah ilusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *