‎Kekuasaan yang Menambang: Peta Konflik Kepentingan Gubernur Maluku Utara

POSTTIMUR.COM, MALUT_ Laporan tahunan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) tahun 2025 mengungkap peta besar konflik kepentingan yang menjerat lingkar kekuasaan di Maluku Utara. Dalam laporan bertajuk “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara”, JATAM menelusuri keterkaitan antara jabatan politik dan kepemilikan bisnis tambang yang beroperasi di sejumlah wilayah strategis provinsi itu.

‎Laporan itu menyoroti hubungan langsung Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, dengan sejumlah perusahaan tambang nikel, emas, dan pasir besi. Berdasarkan penelusuran data kepemilikan perusahaan, Sherly disebut memiliki saham mayoritas hingga 71 persen di PT Karya Wijaya, salah satu perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Pulau Gebe dan Halmahera.

‎Selain itu, laporan tersebut juga mencantumkan jaringan perusahaan lain yang berafiliasi dengan keluarga Tjoanda, antara lain PT Bela Sarana Permai di Pulau Obi (pasir besi), PT Amazing Tabara (tambang emas), PT Indonesia Mas Mulia (emas dan tembaga di Halmahera Selatan), serta PT Bela Kencana (nikel). Keseluruhan entitas bisnis ini disebut saling terhubung melalui jejaring kepemilikan keluarga dan afiliasi politik di tingkat provinsi.

‎JATAM mencatat bahwa pada Januari 2025, izin konsesi baru diterbitkan untuk PT Karya Wijaya seluas 1.145 hektare di Halmahera Timur. Waktu penerbitan izin ini bertepatan dengan masa aktif jabatan gubernur, yang menurut laporan tersebut menunjukkan indikasi kuat konflik kepentingan antara kekuasaan publik dan kepentingan pribadi.

‎Ekspansi tambang di bawah perusahaan-perusahaan itu juga berdampak pada kerusakan lingkungan di sejumlah wilayah. Laporan menyoroti deforestasi di Pulau Obi, pencemaran air di Halmahera Selatan, dan tumpang tindih wilayah tambang dengan kawasan hutan di Pulau Gebe. Di beberapa lokasi, aktivitas tambang bahkan disebut menabrak kawasan lindung dan wilayah kelola masyarakat adat.

‎Selain kerusakan ekologis, laporan tersebut juga menguraikan ketegangan sosial yang meningkat di sekitar wilayah konsesi. Sejumlah kasus penolakan tambang oleh warga, kriminalisasi terhadap tokoh adat, serta konflik agraria disebut terjadi sepanjang 2024 hingga 2025.

‎JATAM menilai bahwa benturan antara kepentingan politik dan bisnis dalam lingkar kekuasaan Maluku Utara telah mengaburkan batas etika pemerintahan. Struktur birokrasi di daerah disebut terjebak dalam praktik patronase yang menguntungkan perusahaan keluarga dan investor tertentu.

‎Di bagian akhir, laporan itu menyerukan dilakukannya moratorium izin tambang baru di Maluku Utara hingga seluruh konflik lahan dan pelanggaran lingkungan terselesaikan. JATAM juga mendorong transparansi penuh terhadap kepemilikan perusahaan tambang oleh pejabat publik serta penegakan hukum atas pelanggaran etika dan regulasi yang mengatur konflik kepentingan jabatan.

‎“Maluku Utara berada di persimpangan antara kekayaan sumber daya alam dan krisis tata kelola. Tanpa pembenahan struktural, kekuasaan akan terus berpihak pada modal dan meninggalkan rakyat dalam lingkaran kerusakan,” tulis laporan tersebut.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *