
POSTTIMUR.COM, Maba_ M. Asrul, menyayangkan sikap lamban dan terkesan pasif dari pihak kepolisian, DPRD, Pemda Halmahera Timur, dan bahkan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ia menduga ada ketakutan institusional dalam menangani kasus ini secara tegas dan adil, karena adanya dugaan keterlibatan anak Kapolri yang disebut-sebut menempati posisi strategis di perusahaan tambang tersebut.
“Jangan-jangan karena ada anak Kapolri yang duduk di jajaran petinggi PT. Position, semua pihak jadi takut mengambil langkah tegas untuk membebaskan 11 masyarakat adat yang ditahan tanpa kejelasan hukum,” ungkap Asrul dalam pernyataan tertulisnya.
Asrul menekankan bahwa langkah hukum terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas tanah kelahirannya sendiri merupakan bentuk diskriminalisasi. Ia menilai, pemerintah daerah seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan justru membiarkan mereka menjadi korban konflik agraria.
Kritik juga diarahkan kepada Bupati Halmahera Timur, Ubaid Anjas, yang menurut Asrul belum menunjukkan upaya nyata dalam menyelamatkan masyarakatnya. “Sebagai pemimpin daerah, Ubaid seharusnya berdiri di barisan depan membela masyarakatnya yang dizalimi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, beliau seolah tidak berdaya,” tambahnya.
Asrul mendesak agar DPRD, Pemda Halmahera Timur, Pemprov Maluku Utara, serta aparat kepolisian segera duduk bersama mencari jalan alternatif tanpa harus menggunakan jalur represif. Ia menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas tanah leluhur dan tidak seharusnya dikriminalisasi karena memperjuangkan hak itu.
“Ini bukan sekadar konflik lahan biasa. Ini menyangkut hak hidup dan identitas masyarakat adat. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan perusahaan, apalagi jika ada indikasi intervensi kekuasaan di baliknya,” tutupnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT. Position maupun kepolisian belum memberikan keterangan resmi terkait penangkapan tersebut maupun dugaan keterlibatan anak Kapolri dalam struktur perusahaan.*Red