Oleh: Salma Febrianti Rumatoras
(Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan Kohati PB HMI 2024-2026)
Dies Natalis Korps HMI-Wati (Kohati) yang ke-59 tahun adalah momentum penting untuk menegaskan kembali misi keumatan dan kebangsaan melalui perempuan Indonesia. Sejak berdiri pada 17 September 1966, Kohati membawa mandat sejarah: melahirkan kader perempuan muslim yang unggul, mandiri, dan berdaya dalam membangun bangsa untuk tercapainya tujuan HMI. Namun, di tengah berbagai capaian itu, ada satu isu besar yang harus terus menjadi perhatian, yakni pendidikan perempuan dan anak.
Pendidikan adalah akar dari segala peradaban. Tidak ada bangsa yang maju tanpa menjadikan pendidikan sebagai prioritas. Namun hingga kini, masih banyak anak perempuan yang tertinggal akses untuk mendapatkan pendidikan bermutu, khususnya di wilayah pelosok dan 3T. Keterbatasan fasilitas, pernikahan usia dini, serta pemahaman budaya patriarki di beberapa wilayah masih menjadi tembok penghalang bagi perempuan untuk menggapai mimpi.
Data BPS tahun 2024 mencatat, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia baru mencapai 9,22 tahun, setara dengan tamat SMP. Sementara itu, data SIGA KemenPPPA 2022 menunjukkan rata-rata lama sekolah perempuan hanya 8,87 tahun. Artinya, sebagian besar perempuan Indonesia masih berhenti menempuh pendidikan di jenjang SMP hingga awal SMA. Situasi ini berimplikasi langsung pada tingginya angka kemiskinan, terbatasnya akses perempuan pada ekonomi dan politik, serta berkontribusi pada masalah kesehatan ibu dan anak hingga stunting yang masih menghantui masa depan bangsa. Dengan kata lain, pendidikan perempuan bukan sekadar isu sektoral, melainkan jantung dari pembangunan nasional.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, posisi Indonesia masih tertinggal. Bank Dunia mencatat rata-rata lama sekolah perempuan di Singapura sudah mencapai lebih dari 12 tahun, setara tamat SMA, bahkan sebagian besar menempuh perguruan tinggi. Sementara di Korea Selatan, angka rata-rata lama sekolah bahkan di atas 13 tahun, mencerminkan hampir seluruh perempuan menempuh pendidikan hingga jenjang universitas. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan di negara maju memiliki kesempatan lebih besar untuk mengenyam pendidikan tinggi, dan itu berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia, tingkat kesehatan masyarakat, hingga pertumbuhan ekonomi mereka. Indonesia, dengan potensi besar bonus demografi, berisiko tertinggal jika pendidikan perempuan tidak dijadikan prioritas utama. Investasi pendidikan, terutama pendidikan perempuan, selalu ditempatkan sebagai fondasi pembangunan bagi negara maju.
Kita juga bisa belajar dari negara mayoritas Muslim seperti Uni Emirat Arab (UEA) yang dalam dua dekade terakhir menjadikan pendidikan, khususnya bagi perempuan, sebagai prioritas utama pembangunan nasional. Investasi besar pada kualitas sekolah, beasiswa internasional, serta dukungan penuh terhadap partisipasi perempuan di perguruan tinggi membuat tingkat literasi dan keterlibatan perempuan dalam pembangunan meningkat signifikan. Bahkan, lebih dari 70% mahasiswa perguruan tinggi di UEA adalah perempuan, dan mereka kini memegang peran penting di berbagai sektor profesional maupun pemerintahan. Fakta ini membuktikan bahwa ketika pendidikan perempuan ditempatkan sebagai agenda strategis, negara mayoritas Muslim pun mampu melompat menjadi bangsa maju, tanpa meninggalkan budaya dan identitas Islamnya.
Indonesia memiliki peluang serupa, dan di sinilah Kohati harus mengambil peran. Kohati tidak cukup hanya menjadi wadah kaderisasi, tetapi harus tampil sebagai pelopor gerakan pendidikan perempuan. Itu bisa diwujudkan melalui advokasi kebijakan, pemberdayaan masyarakat, hingga program konkret. Kohati memiliki modal sosial yang besar, seperti jaringan kader yang tersebar di 268 cabang dan 23 badan koordinasi yang terintegrasi dari pusat hingga daerah, memiliki energi muda yang progresif, serta identitas keislaman dan kebangsaan yang melekat kuat dalam diri setiap kader HMI-Wati se-Indonesia. Hari ini, tantangan perempuan Indonesia tidak hanya soal akses pendidikan formal, tetapi juga keterampilan abad 21: literasi digital, kemampuan berpikir kritis, komunikasi, dan kepemimpinan. Kohati harus merumuskan program kaderisasi yang menjawab tantangan globalisasi sekaligus mengakar pada nilai Islam dan kebangsaan, serta menyinergikan gerakan intelektual HMI-Wati dengan agenda pembangunan nasional dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Sejarah membuktikan, gerakan perempuan selalu menjadi katalis perubahan besar bagi bangsa. Jika hari ini Kohati mampu memusatkan perhatian pada pendidikan perempuan dan anak, maka efeknya akan melampaui sekadar peningkatan angka partisipasi sekolah. Penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa setiap tambahan satu tahun pendidikan pada perempuan dapat meningkatkan pendapatan individu hingga 10%, sekaligus menurunkan risiko kemiskinan antar-generasi. Artinya, fokus pada pendidikan perempuan bukan hanya melahirkan individu yang lebih cerdas, tetapi juga keluarga yang lebih sejahtera dan masyarakat yang lebih sehat. Dengan jaringan luas yang dimiliki Kohati dan dukungan sinergis dengan pemerintah, program pendidikan yang terarah dapat mempercepat penurunan angka putus sekolah, memperkuat literasi dasar, serta memastikan anak-anak perempuan di pelosok mendapatkan kesempatan yang sama untuk menggapai cita-cita.
Tentu, isu perempuan lain seperti kekerasan berbasis gender, ketidaksetaraan ekonomi, minimnya keterwakilan perempuan, serta kesehatan ibu dan anak tetap relevan. Namun, pendidikan dapat menjadi solusi dari seluruh problem itu. Perempuan yang terdidik akan lebih mampu melawan kekerasan, membangun kemandirian ekonomi, menuntut representasi politik, hingga menjaga generasi dari ancaman gizi buruk dan stunting. Dengan demikian, pendidikan perempuan adalah investasi paling strategis bagi keberlanjutan bangsa.
Keberhasilan gerakan ini juga sangat bergantung pada kesadaran individu setiap perempuan untuk berani bermimpi, berpendidikan setinggi mungkin, dan terus meningkatkan kapasitas diri. Tidak cukup menunggu dorongan dari negara atau organisasi; perempuan harus hadir sebagai subjek perubahan bagi dirinya sendiri. Perempuan yang haus akan ilmu akan melahirkan keluarga yang berdaya, komunitas yang tangguh, dan pada akhirnya bangsa yang lebih maju. Karena itu, komitmen pendidikan bukan hanya agenda struktural, melainkan juga tanggung jawab pribadi yang melekat pada setiap perempuan Indonesia.
Memasuki usia ke-59, Kohati perlu menjadikan pendidikan perempuan sebagai panggilan sejarah, untuk kembali menentukan satu gerakan nasional yang masif dan terfokus pada pendidikan perempuan dan anak. Inilah komitmen kebangsaan yang harus dijawab bersama: bagaimana memastikan tidak ada lagi anak perempuan Indonesia yang kehilangan hak pendidikannya, dan bagaimana memastikan setiap ibu di negeri ini memiliki kapasitas untuk melahirkan generasi unggul. Sebab ketika satu perempuan tertinggal dari pendidikan, maka satu generasi berisiko kehilangan masa depannya.
Selamat Dies Natalis ke-59 Kohati.
17 September bukan sekadar perayaan, melainkan momentum penegasan komitmen gerakan Kohati. Kohati hadir bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk bangsa. Dari ruang-ruang belajar hingga ruang-ruang kebijakan, HMI-Wati akan terus mengabdi, mendidik, dan membangun peradaban untuk Indonesia Maju demi terwujudnya masyarakat adil, makmur yang diridhoi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.












