Gubernur Quick Count, Politik Uang, dan Ancaman Disintegrasi Sosial di Maluku Utara

Opini260 Dilihat

Gubernur Quick Count, Politik Uang, dan Ancaman Disintegrasi Sosial di Maluku Utara

 Penulis: Nasrullah Kotu, Pemerhati Pemilu/ Pengurus KAHMI Halmahera Selatan

Pemilihan Gubernur Maluku Utara tahun 2024 telah memunculkan berbagai dinamika politik yang kompleks dan menarik untuk dikaji secara mendalam. Fenomena quick count yang menjadi sorotan publik tidak hanya sekadar menampilkan angka-angka statistik, tetapi juga mencerminkan realitas sosial politik yang lebih dalam di wilayah ini. 

Lembaga survey telah mengeluarkan hasil perhitungan cepat mereka, namun yang menjadi perhatian bukanlah sekadar angka-angka tersebut, melainkan implikasi sosial dan politik yang menyertainya. Pergerakan massa, mobilisasi dukungan, dan berbagai bentuk kampanye telah menciptakan dinamika tersendiri yang perlu ditelaah secara kritis untuk memahami peta politik Maluku Utara secara komprehensif.

Politik uang telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan dalam kontestasi politik di Maluku Utara. Praktik ini tidak hanya mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang sehat, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi generasi mendatang. Berbagai modus operandi politik uang telah berkembang, mulai dari pemberian langsung kepada pemilih hingga bentuk-bentuk yang lebih terselubung seperti bantuan sosial (Paket sembako), bagi-bagi amplop bagi pemuka agama serta bantuan rumah ibadah, dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Fenomena ini semakin mengkhawatirkan ketika praktik tersebut mulai dianggap sebagai hal yang lumrah oleh sebagian masyarakat, menciptakan kultur politik yang tidak sehat dan berpotensi merusak fondasi demokrasi yang sedang dibangun.

Ketegangan politik yang muncul pasca pengumuman hasil quick count telah menciptakan polarisasi di tengah masyarakat Maluku Utara. Berbagai kelompok pendukung mulai menunjukkan sikap yang saling berseberangan, menciptakan ketegangan sosial yang berpotensi mengganggu harmoni sosial.

Polarisasi ini tidak hanya terjadi di level elit politik, tetapi juga merambah hingga ke akar rumput, di mana masyarakat mulai terbelah berdasarkan preferensi politik mereka. Situasi ini semakin diperparah dengan munculnya berbagai narasi provokatif di media sosial yang semakin mempertajam perbedaan dan mengancam kohesi sosial masyarakat.

Keterlibatan aparatur negara dalam politik praktis juga menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Beberapa oknum aparatur sipil negara (ASN) terindikasi tidak netral dan memihak kandidat tertentu, mencederai prinsip netralitas birokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi. Penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye, mobilisasi PNS dalam kegiatan politik, dukungan oknum-oknum Kepala Desa (Kades) hingga penyalahgunaan program pemerintah untuk kepentingan elektoral menjadi praktik yang masih sering ditemui. Situasi ini tidak hanya mencederai profesionalisme birokrasi tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.

Fenomena politik uang telah menciptakan distorsi dalam proses demokratisasi di Maluku Utara. Praktik ini tidak hanya melanggar etika politik tetapi juga menciptakan ketimpangan dalam kompetisi politik. Kandidat dengan sumber daya finansial yang lebih besar memiliki keunggulan yang tidak fair dibandingkan kandidat lain yang mengandalkan program dan visi-misi. Lebih mengkhawatirkan lagi, praktik politik uang telah menciptakan ekspektasi di kalangan pemilih bahwa mereka harus mendapatkan kompensasi material untuk partisipasi politik mereka, menciptakan kultur politik transaksional yang sulit untuk diputus.

Ancaman disintegrasi sosial menjadi konsekuensi serius dari dinamika politik yang tidak sehat. Polarisasi masyarakat berdasarkan pilihan politik berpotensi menciptakan konflik sosial yang berkelanjutan. Degregasi sosial yang terbentuk tidak hanya mempengaruhi hubungan antarwarga tetapi juga berdampak pada efektivitas program pembangunan dan pelayanan publik.

Keterbelahan masyarakat terjadi sebagai akibat perbuatan curang (politik uang, netralitas ASN dsb), mestinya menjadi perhatian serius dalam penegakkan hukum pemilu. Jika tidak ada penegakkan hukum, maka sama halnya kita sedang mempertaruhkan demokrasi dan masyarakat kita dalam ancaman disintegrasi sosial yang serius.

Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam proses politik masih menjadi tantangan serius. Bawaslu dan aparat penegak hukum seringkali menghadapi berbagai kendala dalam menindak pelanggaran pemilu, mulai dari keterbatasan bukti hingga intervensi politik yang menghambat proses hukum.

Situasi ini menciptakan preseden buruk di mana pelaku pelanggaran pemilu merasa tidak jera karena lemahnya penegakan hukum. Diperlukan komitmen yang lebih kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan proses politik berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Diujung semua itu, kita berharap penyelenggara tegak dalam menegakkan keadilan pemilu sebagai perwujudan dari ketegasan sikap mengawal demokrasi.

Jika melihat berbagai bukti yang ada dan tersebar, hampir dapat dipastikan perbuatan politik uang yang dilakukan oleh salah satu calon Gubernur telah memenuhi unsur TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif) sebagaimana ketentuan Pasal 187A Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Bersandar pada ketentuan sebagaimana dimaksud, demi keadilan pemilu Bawaslu Maluku Utara sudah dapat mendiskualifikasi salah satu Calon Gubernur Maluku Utara, dan beberapa calon incubemen Bupati Walikota di kabupaten/kota di Maluku Utara yang terindikasi melakukan praktek politik yang merusak tatanan demokrasi, Keputusan diskualifikasi ini harus ditempuh untuk menjawab rasa keadilan publik di Maluku Utara, sekaligus sebagai pembelajaran yang sehat dalam demokrasi kita kedepannya. Semoga.

Penulis Nasrullah Kotu adalah Pemerhati Pemilu/ Pengurus KAHMI Halmahera Selatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *