78 Tahun, Keintelektualan Dan Masa Depan  HMI

Opini566 Dilihat

Oleh : Asyudin, Instruktur dan Kandidat Ketua Umum HMI Cabang Ternate

Posttimur.com–Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak keberadaannya sepasca dua tahun kemerdekaan, menjadikan keIslaman dan keIndonesiaan sebagai komitmen dalam setiap aktivitas organisasi, tentunya juga dalam pergulatan perubahan zaman. Sebagai kekuatan pembaharu, HMI memiliki tanggung jawab dalam hiruk pikuk kehidupan yang serba mengglobal, olehnya HMI dituntut dapat menyesuaikan diri di tengah perubahan zaman.

Di tengah gempuran globalisasi dan kapitalisme, menciptakan suatu tatanan masyarakat yang konsumtif sehingga pada akhirnya melahirkan sikap apatis. Tak heran peradaban intelektual sulit diwujudkan sebab regresi yang terjadi dalam budaya intelektual yang berakibat pada pudarnya kepekaan sosial. 

Globalisasi dengan segala kemajuan yang dicapai, potensial dan senantiasa perlahan mengikis nilai-nilai religiusitas juga kebangsaan karena menjamurnya watak hedonis, pragmatis dan oportunis dalam lingkup masyarakat bahkan juga dikalangan mahasiswa. Tak sampai disitu, globalisasi juga menghendaki penghisapan manusia atas manusia lewat sistem kapitalis. Jaminan ekonomi yang dijanjikan oleh sistem kapitalis menjadikan setiap orang potensial berada dalam ketertindasan oleh mereka mereka yang memiliki kuasa lebih, alhasil melahirkan ketimpangan dalam segala lini kehidupan masyarakat.

Secara global bahkan Indonesia sendiri telah terjebak dalam siklus perubahan dengan dalil pembangunan dan kesejahteraan namun justru sebaliknya yang terjadi. Cengkraman kapitalisme dalam skenario Neoliberalisme semakin menjadi-jadi dalam segala lini sektor, bahkan juga dalam dunia pendidikan. Kondisi bangsa yang seakan mempertontonkan keterjajahan dengan gaya baru ini, menjadi keharusan setiap elemen untuk sigap dalam merespon. 

Bagaimana anggota HMI menjawab persoalan demikian? Hemat penulis, kita perlu kembali menoleh kebelakang bagaimana Islam dengan segala capaian peradabannya. Apabila Ilmu pengetahuan adalah salah satu dari kemajuan dalam peradaban Islam, bagaimana kondisi keintelektualan anggota HMI dalam konteks keIndonesiaan hari ini?

Memahami sejarah berdirinya HMI, substansinya tak terlepas dari faktor yang melatarbelakangi diantaranya; situasi negara, situasi keumatan dan situasi perguruan tinggi. Fakta historis demikian seakan menemukan tempatnya di era sekarang. Olehnya itu, HMI sebagai organisasi yang selalu adaptif dalam perubahan dan selalu terlibat dalam dinamika kebangsaan melalui perkaderan sepatutnya mampu melahirkan individu-individu yang berpengetahuan dengan ide-ide progresif, memiliki nilai kritisisme serta mengambil peran kepeloporan. 

Banyak literatur menjelaskan dalam setiap fase dari sejarah perjuangan HMI berkaitan langsung dengan dinamika kebangsaan, itu artinya HMI tak memiliki alasan untuk mengambil jarak dari realitas kemasyarakatan dan kebangsaan. Namun seiring berjalan waktu dan berubahnya zaman, seakan HMI kehilangan peran dan orientasi dari keberadaannya. Jika ini adalah sebuah kebenaran, lantas apa yang bisa dilakukan para anggota HMI saat ini?

Perjalanan panjang Indonesia sejak dua tahun diproklamirkannya kemerdekaan hingga detik ini dengan segala dinamikanya, HMI terlibat langsung dalam pusaran sejarahnya. Revolusi bersenjata sebagai akibat Agresi Belanda I dan II, perlawanan melawan kekuatan besar Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948 dan 1965 adalah bukti nyata komitmen kebangsaan juga keumatan HMI. Tak heran sosok gerilyawan, Jendral Soedirman menyemayamkan nama lain pada organisasi ini bahwa HMI bukan saja Himpunan Mahasiswa Islam namun juga Harapan Masyarakat Indonesia. 

Refleksi historis patut dilakukan oleh setiap anggota, bukan bermaksud bernostalgia melainkan menemukan makna keberadaannya. HMI dengan tri-komitmennya yakni ke-Islam-an, ke-Indonesia-an dan keIntelektualan sepatutnya menjadi renungan dalam membangkitkan kesadaran sebagai kader umat dan kader bangsa dengan kualitas intelektualnya di mana sepenuhnya diarahkan sebagai ikhtiar melakukan perubahan sosial mencapai masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. 

Menjelang satu abad, 78 tahun sudah umur rahim dimana begitu banyak tokoh pemikir-pejuang yang dilahirkan. Beragam latar belakang dan profesi baik akademisi, politisi, bahkan juga tokoh agama telah dilahirkan himpunan ini, maka tak berlebihan bila dikata keberlangsungan bangsa ini adalah tanggung jawab moril Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). 

Sebagai generasi bangsa, anggota HMI memiliki dan patutnya mengambil peran sentral dalam setiap agenda membangun peradaban intelektual. HMI secara organisatoris menyadari itu dengan mengilhaminya lewat jalan perkaderan sebagaimana termuat dalam Anggaran Dasar (AD) pasal 9. Bagi HMI, perkaderan adalah jalan spiritualitas menuju jalan kebangsaan dalam bahasa Muhammad Jusrianto. Proses transfer dan transformasi pengetahuan dalam perkaderan dimaksudkan sebagai jalan menghadirkan Tuhan yang Esa dalam setiap diskursus keilmuan dan perjuangannya sebagai basis ideologi dari setiap nafas perjuangan HMI sebagaimana ditegaskan dalam pasal 8 Anggaran Dasar. 

Penghayatan akan tri-komitmen oleh anggota HMI adalah keharusan sebagai cerminan akan tanggung jawab setiap anggota dalam bermasyarakat. Olehnya itu adalah ideal apabila tri-komitmen harus dihidupkan tidak hanya terbatas dalam ruang kaderisasi namun pada setiap tindakan anggotanya. 

Mengilhami Islam sebagai azas adalah menjadikan tauhid sebagai orientasi perjuangan dalam mewujudkan tatanan adil makmur. Hal demikian penulis sampaikan sebab hemat penulis globalisasi adalah hambatan tersendiri bagi HMI dalam mewujudkan cita-cita ideal Islam dalam bernegara dan berbangsa. Sebagai ikhtiar, grand desain perkaderan mestinya diselaraskan dengan konteks perubahan dan perkembangan zaman tanpa harus dan tidak mengambil jarak dengan Islam sebagai azas. 

Perkaderan yang dilakukan sebagai usaha organisasi sepatutnya mampu menerjemahkan Islam sebagai azas menjadi etika profetik, sebab Islam lebih dari sekedar agama normatif-ritual. Dalam konstruksi pemikiran Kuntowijoyo, etika profetik islam memiliki tiga orientasi yakni humanisasi, liberasi dan transendensi. Dalam mewujudkan etika profetik membutuhkan perangkat yakni ilmu sosial profetik, di mana dimaksudkan sebagai upaya demistifikasi serta deideologisasi Islam. Olehnya, pengilmuan islam dan bukannya pengislaman ilmu adalah suatu keniscayaan bagi Kuntowijoyo. 

Baginya, Pengilmuan islam adalah proses bagaimana menjabarkan konsep dari normatif-subjektif muslim menjadi formulasi-formulasi empiris-objektif. Hal demikian dilakukan untuk melihat bagaimana Islam teramat relevan dalam memecahkan problem-problem kemasyarakatan. Artinya lewat pengilmuan islam, berlangsung aktivitas bagaimana mendekatkan teks pada konteks. Mengikuti alur berpikir Kuntowijoyo, ia menghendaki dengan ilmu sosial profetik dimaksudkan untuk mewujudkan misi profetik agama untuk transformasi sosial. 

Sudahkah perkaderan mencapai level demikian? Kiranya apa yang dikehendaki Kuntowijoyo bukanlah pekerjaan ringan namun juga bukan berarti tidak bisa untuk dilakukan. Merekayasa perubahan sosial yang sesuai dengan nilai-nilai islam cukuplah sulit dilakukan apalagi kondisi zaman yang terlegitimasi kekuasaan kapitalisme, ditambah lagi dengan pudarnya keintelektualan dikalangan mahasiswa islam, khususnya HMI. 

Intelektualitas sebagai nilai yang dimiliki oleh setiap anggota, menjadikan HMI menyatu dengan realitas sosial. Keberadaan baik individu maupun organisatoris dalam lingkungan masyarakat diharapkan mampu mewujudkan perubahan signifikan, olehnya budaya intelektual HMI seperti membaca, berdiskusi serta aksi tak mestilah pudar. Kalaupun itu terjadi, tak heran akan melahirkan generasi-generasi bangsa yang gagap akan fungsi sosialnya. Keintelektualan teramat penting bagi anggota HMI, karena transformasi sosial mensyaratkan adanya intelektual. Namun patut disadari, intelektual saja tak cukup tanpa kesadaran ideologis. 

Pada kondisi riilnya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) baik pada skala Pengurus Besar (PB), BADKO maupun Cabang seakan terjebak dalam mempertahankan warna juangnya yang autentik. Pada akhirnya, konteks zaman yang terus mengalami perubahan, gejala proses kapitalisasi nilai-nilai dalam organisasi tak dapat dielakkan yang berakibat pada bergesernya signifikan akan prinsip organisasi dari apa yang dicita-citakan. Dalam sejarahnya, HMI yang mengambil peran sebagai garda depan dengan militansi dan perjuangan idealisme berbasis Islam, kini terjebak dalam realitas konflik internal hingga melemahnya daya juang kader.

Pada idealnya, semangat juang HMI bersumber dan selaras dengan ajaran Islam dalam mewujudkan visi perubahan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, seakan mengalami disorientasi yang dilatarbelakangi oleh transformasi sosial dan politik. Akan tetapi dari semua gejala itu, HMI tetap memiliki potensi untuk kembali ke jati dirinya sebagai alat juang, dimana yang perlu dilakukan adalah menghidupkan kembali militansi yang berbasis pada nilai-nilai Islam, sehingga yang tampak adalah kuatnya visi kolektif dengan memperdalam literasi dan penghayatan akan nilai-nilai Islam, sehingga dapat mewujudkan transformasi sosial.

Maka sudah sepatutnya, HMI perlu melakukan reformulasi akan posisinya dalam perubahan sosial kontemporer ini. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), harus menyadari betul tantangan yang dihadapi, melakukan refleksi kritis guna ditemukannya format yang tepat dalam dinamika dan menjawab tantangan zaman. Keintelektualan dan kesadaran kader akan perannya, sudah sepatutnya mengilhami lahirnya sosok ideologi yang bukan sekedar simbol, melainkan mampu mewujudkan transformasi sosial yang bersumber dari nilai-nilai Islam.

Sebagai salah satu organisasi modern, HMI tak pernah absen dalam merespon kemajuan zamannya. Bahkan berselancar, tumbuh seirama dengan zaman yang membingkai eksistensinya. HMI memiliki komitmen pada perubahan zaman sebagai ikhtiar HMI dalam derap langkah peradaban terutama dalam memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Diantara perubahan-perubahan yang terjadi adalah dunia teknologi yang berimbas pada pergeseran paradigma sosial, maka sepatutnya HMI dalam keberadaanya tidaklah absen.

Seorang anggota HMI harus visi besar dan berpandangan jauh kedepan, refleksi historis adalah ikhtiar anggota HMI dalam memaknai keberadaannya di 78 tahun usia HMI. Konflik dengan segala motifnya harus disudahi, mengarahkan konsentrasi penuh bagaimana menciptakan dan menjadi seorang intelektual muslim profesional yang lahir dari proses panjang perkaderan. 

Maka sepatutnya HMI tidak sebatas dipahami sebagai organisasi gerakan, melainkan integralistik sebagai motor penggerak sejarah dan perubahan sosial yang ditimbulkan. Sebagai organisasi mahasiswa, keintelektualan adalah warna HMI dengan menonjolkan pembaharuan pemikiran yang berimplikasi pada pemberdayaan sosial. Dengan modal sumberdaya intelektual yang dimiliki, sepatutnya HMI mengambil peran vital dalam perubahan terutama dalam penyediaan Sumber Daya Manusia yang unggul dan berdaya saing dalam segala aspek. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *