Oleh: Dea Clarisa Haris A.R
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Khairun Ternate
Maluku Utara adalah provinsi kepulauan dengan potensi yang sangat besar, tetapi juga tantangan yang tak kalah kompleks. Terbentuk sejak tahun 1999, provinsi ini terdiri dari lebih dari seribu pulau, namun hanya sebagian kecil yang berpenghuni. Ketimpangan pembangunan, konektivitas wilayah yang lemah, serta rendahnya nilai tambah sumber daya alam menjadi problem klasik yang terus berulang. Sayangnya, perencanaan pembangunan wilayah belum sepenuhnya merespons kompleksitas geografis dan sosial-ekonomi daerah kepulauan seperti Maluku Utara.
Masalah terbesar adalah ketimpangan spasial. Kota seperti Ternate dan Sofifi menjadi pusat konsentrasi infrastruktur, layanan publik, dan aktivitas ekonomi. Sementara pulau-pulau kecil nyaris terisolasi dari perhatian pemerintah. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) memang rutin digelar, tetapi partisipasi masyarakat seringkali bersifat simbolis, bukan substantif. Di sisi lain, dokumen penting seperti RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) justru belum terintegrasi secara nyata, padahal keduanya adalah kunci dasar untuk mewujudkan pembangunan yang terarah.
Sayangnya, RPJMD Maluku Utara masih didesain seolah provinsi ini sepenuhnya berbasis daratan. Zonasi gugus pulau yang menjadi ciri utama wilayah ini belum diakomodasi secara serius. Skema anggaran afirmatif, pembangunan infrastruktur berbasis pulau, serta kebijakan pemerataan sosial dan gender masih sangat lemah. Akibatnya, pulau-pulau kecil tetap tertinggal, akses terhadap layanan dasar masih terbatas, dan jurang ketimpangan semakin menganga.
Lebih jauh, struktur ekonomi Maluku Utara masih sangat bergantung pada sektor ekstraktif seperti tambang nikel dan emas. Hilirisasi? Masih jadi wacana. Padahal, tanpa pengolahan lokal dan distribusi manfaat ekonomi yang merata, pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi angka di atas kertas. Ironisnya, meskipun pertumbuhan ekonomi mencapai dua digit, angka kemiskinan justru meningkat di daerah pertambangan. Ini menandakan bahwa pembangunan yang tidak berkeadilan justru menciptakan ketimpangan baru.
Perencanaan wilayah yang berorientasi pada keberlanjutan harus mampu menyatukan banyak aspek—geografis, sosial, ekonomi, lingkungan, dan tata kelola. Teknologi seperti Sistem Informasi Geografis (SIG) semestinya sudah menjadi alat bantu utama untuk menyusun zonasi spasial dan memantau proyek pembangunan secara transparan. Digitalisasi data sangat penting agar kebijakan pembangunan berbasis pada bukti (evidence-based), bukan sekadar asumsi dan kepentingan sektoral.
Aspek lain yang juga terlupakan adalah inklusivitas. Perempuan pesisir, komunitas adat, dan kelompok rentan lainnya belum diberi ruang berarti dalam perencanaan. Padahal, pembangunan tanpa keterlibatan mereka tidak akan pernah benar-benar adil. Pemerintah perlu lebih progresif dalam memasukkan pendekatan keadilan sosial dan kultural ke dalam kebijakan.
Kesimpulannya, Maluku Utara membutuhkan perencanaan wilayah yang betul-betul memahami jati dirinya sebagai provinsi kepulauan. Dokumen RPJMD harus menyatu dengan RTRW dalam satu narasi besar yang menekankan zonasi gugus pulau, pembangunan berkelanjutan, serta hilirisasi ekonomi. Di atas semuanya, pembangunan harus dilandasi partisipasi aktif masyarakat, transparansi data, dan tata kelola yang inklusif. Tanpa semua itu, visi “Bangkit, Maju, Sejahtera, Berkeadilan, dan Berkelanjutan” akan tetap menjadi slogan yang tak pernah menyentuh realitas di lapangan.









