FAGOGORU SEBAGAI BASIS EKOLOGI
Oleh : M. Sadruk Musa
Fagogoru memiliki kedudukan yang sangat luar biasa sebagai pandangan hidup bagi masyarakat Tiga Negeri Bersaudara (Gam Range) baik itu Masyarakat Maba, Masyarakat Patani, dan Masyarakat Weda. Dalam budaya fagogoru mempunyai karakteristik yang jauh berbeda dengan budaya di daerah lain. Karena fagogoru sendiri mengandung nilai-nilai mulia di warisi leluhur yang melekat dalam jiwa generasi ke genersi.
Fagogoru dipandang sebagai sistem pengetahuan dan sistem nilai yang bersumber dari Ngaku Rasai, Budi re Bahasa, Sopan re Hormat, Mitat re Miymoy yang semestinya diimplementasikan dalam hidup bermasyarakat. Dalam sistem pengetahuan dan sistem nilai tersebutlah dijadikan sepenuhnya falsafah hidup bagi masyarakat fagogoru yang sepatutnya diwujudkan dalam sistem budaya pemikiran atau ide untuk membangun suatu daerah yang berkemajuan.
Ngaku Rasai diterjamahkan dalam bahasa daerah Gam range artinya “mengaku bersaudara”. Maksud dari pada mengaku bersaudara ini, merupakan satu sistem budaya pemikiran yang melekat dan menjadi satu kebiasaan masyarakat negeri gam range. Singkat cerita; ada sebua kisah yang sangat bermakna, pada suatu hari perjalanan menuju kebun, sesampainya disuatu tempat yang memiliki pohon kelapa dan pohon pisang yang cukup banyak. Lalu secara tidak langsung si pria yang berusia tua itu sedikit menceritakan dibalik pohon kelapa dan pohon pisang yang tumbuh subur dengan dedaunan yang segar itu, ada sekolompok orang yang cara hidupnya masih nomaden mempertaruhkan seluruh waktu dan tenaganya untuk menanam disepenggal lahan tani atas pemberian atau hadiah persaudaraan dari masyarakat negeri gam range. Lanjutnya, walaupun sekolompok orang yang cara hidupnya masih nomaden itu beda keyakinan dengan kita, namun tidak meghalangi ikatan persaudaraan antara sesama. Karena falsafah fagogoru sangat menjunjung tinggi budaya persaudaraan yang diwarisi oleh luhur negeri Tfaifie.
Nilai “Ngaku Rasai” terbentuk dan terawat dalam jiwa masyarakat Fagogoru melalui relasi-relasi sosial yang dibangun terus-menurus dalam kehidupan bermasyarakat. Ngaku rasai yang melekat dalam jiwa masyarakat negeri tfaifie, ini suda menjadi identitas dan ikatan geneologis atau hubungan emosional yang menghidupkan anatar sesama dalam aktifitas susah maupun senang namun prinsip dasarnya tetap satu rasa semua dapat. Hal tersebut senada dengan peryataan (Eviatar Zerubavel) mengatakan bahwa geneologis bukanlah persoalan biologis dan budaya saja, akan tetapi adanya suatu kepentingan yaitu sebuah narasi yang menunjukkan kemampuan daya mencipta, manusia dalam membangun atau menghasilkan suatu identitas, garis keturunan, dan komunitas lewat proses eliminasi dan seleksi. Di sisi lain juga mendorong kita untuk menguji lebih jauh mengenai perihal dalam konsep “Keterhubungan”. Selain itu juga mengangkat tentang realitas manusia mengenai imigrasi dan pernikahan lintas budaya yang suda banyak terjadi, setiap manusia dapat berhubungan dengan banyak orang yang berasal dari kemajemukan latarbelakangnya. Karena itu, identitas, garis keturunan dan komunitas terjadi lebih kompleks dari pada sekadar hubungan biologis. Sejalan dengan statatement Zerubavel tersebut, maka ngaku rasai (mengaku bersaudara) merupakan kekuatan persaudaran dalam mewujudkan peradamaian anatar sesama.
Ngaku Rasai dapat di artikan juga sebagai kesaksian kita terhadap Allah Swt. Tuhan yang Maha Esa. Jika kita suda bersaksi bahwa kekuasaan hanya milik Allah Swt, maka yang ditegaskan adalah para pejabat yang ada di parlemen di Kabupaten Halmahera Tengah. Baik itu pejabat DPRD, Bupati, sampai tingkat Kecamatan bahkan Desa, karena sebelum kebijakan itu diimplementasikan. Meraka-mereka (Pejabat) itu, berikrar di atas kitab suci yang di yakini hanya untuk memperoleh keridhoan Allah Swt, Tuhan yang Maha Esa untuk menjaga dan menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.
Tetapi setelah mereka (Pejabat) berikrar dengan berpakaian jaz hitam, beridiri tegak, bergaya tunduk dan patuh atas perintah dan larangan yang sesuai dengan ajaran Islam bagi muslim hanya selesai pada acara serimony belaka. Lalu yang dimaksud dengan falsafah fagogoru yang diadopsi sebagai lambang dan motto Kabupaten Hamahera Tengah lebih-lebihnya para pejabat itu implementasinya mana…? mungkinkah nilai fagogoru yang dimaksud hanyalah semboyang yang dijadikan simbol berjubah hitam dalam selimut berpolitik untuk mencapai hasrat kekuasaannya…? sungguh!!! Sangat disayangkan jika esensi dan makna falsafah Fagogoru tidak dapat di praktekkan dalam keputusan kebijakan para pejabat di Kabupaten Halmahera Tengah.
“Budi re Bahasa” (Kebaikan dan Berbicara). Lagi-lagi para pejabat di kedua kabupaten kota Hal-teng dan Hal-tim semestinya memaknai nilai budi re bahasa dan Sopan re Hormat (Menghargai dan Menghormati) sebagai basis nilai untuk menjaga dan merawat Alam dari kerusakan lingkungan akibat industri ekstraktif yang suda terjadi dan tidak mampuh dibendung oleh pihak manapun. Tidak cukup memaknai nilai budi re bahasa dan sopan re hormat antara sesama manusia. Sebab falsafa fagogoru yang dimaksud memiliki nilai yang sangat universal sehingga hubungan antara hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal alam dapat di praktekkan dalam kehidupan berperintahan bahkan kehidupan sehari-hari dengan landasan Mitat re Miymoy (Takut dan Malu). Takut dan malu dalam artian segala perbuatan yang dilakukan di dunia akan dipertanggungjwabkan pada hari di mana manusia di minta pertanggungjwabannya selama hidup di bumi yang fanah ini. Atau sederhannya kembali pada hak dan kewajiban kita sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
Jika para pejabat di Kabupaten Hal-Teng yang di maksud oleh penulis suda memaknai betul falsafah fagogoru yang diperjuangkan oleh para moyang negeri gam range, maka segala keputusan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah tidak akan mengalami ketimpangan sosial.
Refleksi Kembali beberapa Industri ekstaktif dan kejahatannya di Kabupaten Halmahera Tengah
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kepada Publik lebih khususnya kepeda Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah yang selanjutnya disingkat (HAL-TENG). Untuk menonton kembali siaran TV yang terjadi di Kecamatan Pulau Gebe. Berjalan-jalan di Kecamatan Pulau gebe yang di dalamnya secara administratif terdapat kurang lebih empat desa yakni; Desa Sanafi Kacepi, Umera, dan Omnial di pulai Yoi. Secara Geografis Pulau gebe memiliki Luas 224 Km2. Pulau Gebe ini relatif berada di ujung dan berbatasan langsung dengan Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Sebagai anak negeri Fagogoru yang tahu betul sebagian besar masyarakat Fagogoru bermata pencahariannya nelayan dan petani kopra, sisanya berdagang dan pegawai. Sederhananya saya ingin memberikan pemahaman kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah bahwa kami akan tetap hidup tanpa ada industri ekstraktif. Karena nenek moyang kami bisa bertahan hidup seratus tahun dengan tradisi multikulturnya dengan berprofesi sebagai petani dan nelayan. Itu artinya, PEMDA harus membaca aktivitas dan kebutuhan masyarakat fagogoru bahwa yang harus di dorong adalah komuditi lokal baik hasil nelayan maupun pertanian. Bukan sebaliknya, memberikan ruang besar-besaran terhadap investor asing untuk menggarap lahan petani masyarakat fagogoru dengan bayaran yang tidak sesuai.
Pulau Gebe dengan hasil kekayan sumber daya alamnya, kini mempunyai kisah buruk akibat bercokolnya PT. Aneka Tambang (ANTAM) yang beroperasi selama tahun 1979-2004 yang bergerak di bidang nikel. Ketika izin produksinya berjalan ANTAM memberikan dampak positif terhadap warga Pulau Gebe, baik akses listrik yang memadai dan mendapat air bersih secara gratis. Bukan hanya itu, dari acara serimonial seperti merayakan upacara 17 Agustus bahkan memperingati hari jadi ANTAM selalu mendatangkan artis-artis nasional untuk memeriahkan pulau kecil tersebut. Tetapi sungguh di sayangkan ketika ANTAM telah mengangkat kaki dari pulau kecil itu pada tahun 2004. Pulua kecil itu dengan serentak kondisinya kembali gelap gulita, dan krisis air bersih kemudian tanah mereka yang diagung-agungkan suda terlanjur di eksploitasi habis-habisan. Singkat untuk menjelaskan kondisi pulau kecil tersebut seperti “Nasi suda menjadi Bubur”.
Kejahatan tersebut belum berakhir. Setelah ANTAM pergi dan melambaikan tangan meninggalkan bekas-bekas lubang dan lahan yang digunduli. Muncullah sosok baru yakni PT. Gebe Karya Mandiri (GKM) sekitar tahun 2006 yang mendapat izin dari Pemerintah daerah kabupaten Halmahera Tengah. Setelah menambang bekas operasi ANTAM, aktivitas (GKM) belum banyak mengeksploitasi nikel di Pulau Gebe. PEMDA kembali mengundang sosok yang terbaru dengan dalil akan mengobati penyakit yang di alami pulai kecil itu, sebut saja PT. Fajar Bhakti Lintas Nusantara (FBLN) pada tahun 2012. Lalu (FBLN) berkampanye dengan janji manisnya kepada Warga Gebe, misalnya BBM untuk mesin listrik, akses lampu yang tinggal dikontak langsung dan air bersih. Namun lagi-lagi, fakta membuktikan bahwa warga Gebe hanya di pekerjakan sebagai buruh yang tidak memiliki posisi tawar-menawar. Bahkan lebih ironisnya, janji manis yang diberikan hanyalah ilusi yang tidak dapat terealisasi.
Penyakit pulua kecil itu kembali kumat akibat janji manis (FBLN) dengan segalah kebohongannya. Pada akhirnya, warga Gebe murka dan melahirkan satu gerakan menyatu dengan kelompok mahasiswa membawa gelombang aksi masa demonstrasi pada tahun 2016 lalu. Namun sangat di sayangkan, aksi tersebut berakhir pada kekerasan yang mengakibatkan empat warga menjadi korban dan empat belas warga Gebe lainnya di tangkap (https://islambergerak.com 2021).
Berangkat dari kisah pulau kecil yang saya ceritakan pada paragraf sebelumnya. Sengaja saya mencungkil kembali luka lama yang sangat pedih dirasakan oleh warga Gebe. Bahwa sekian kejahatan yang dilakukan oleh PT. ANTAM pada tahun 1979, tapi sebelum ANTAM, ada juga perusahan asal Jepang yakni PT. Indonesia Nickel Development atau disingkat (INDECO) hingga hadirnya GKM dan FBLN. Kejahatan-kejahatan tersebut seharusnya di catat dan diingat oleh masyarakat fagogoru lebih-lebihnya Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah. Bahwa tidak ada eksperimen yang membuktikan Pertmabangan Industri Ekstaraktif dapat mensejahterakan masyarakat. Sekali lagi saya mengajak kepada publik dan PEMDA untuk menonton TV dengan kisah Pulau Gebe, bahwa Pulau Gebe suda cukup menjadi gambaran kerusakan ekologi, krisis kesehatan, pendidikan bahkan merusak rahim peredaban milik perempuan.
Dengan kisah Pulau Gebe yang saya ceritakan, apakah sudah cukup memberikan kita pelajaran untuk menolak industri ekstraktif….?
Ternyata tidak cukup. Faktanya, lagi-lagi PEMDA memberikan ruang untuk investor asing yang akan menggarap lahan petani di wilaya Kabupaten Halmahera Tengah. Indonesia Weda Industrial Park (IWIP) yang berdiri pada 30 Agustus 2018, merupakan kawasan industri terpadu untuk pengelolaan di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Proyek prioritas nasional berdasarkan PERPRES No. 18 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2020-2024, yang berstatus sebagai obyek vital nasional berdasarkan KEPPRES No. 63 tahun 2004. Salah satu proyek strategis nasional dari Presiden Joko Widodo melalui pengesahan Peraturan presiden (PEPPRES) Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas peraturan presiden nomor 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Namun sering berjalannya operasi PT. IWIP, ternyata Proyek ini terbukti bermasalah dalam mensejahterahkan para pekerjanya. Disusul dengan masalah-masalah baru misalnya di beberapa tahun kebelakang, kabar duka kembali menimpah masyarakat fagogoru. Di Desa Lelilef tempat Beroperasinya PT. IWIP diguyur hujan selama dua hari sehingga terjadinya banjir dan mengakibatkan Smelter A-D terendam air dan beberapa warung milik warga di area perusahanpun terhanyut di bawa banjir. Bahkan banjir tersubut juga mengakibatkan jalan lintas Halmahera tidak dapat diakses. Sementara, di Desa Sagea Kecamatan Weda Utara ada sekitar Tuju Rumah Warga tergenang banjir.
Di susul dengan masalah-masalah lain, misalnya terjadinya pemerkosaan diusia dini, perampasan ruang hidup, krisis kesehatan, krisis pendidikan serta terjadinya pembunuhan yang tidak tahu motifnya. Bahkan merayakan Upacara 17 Agustus 2023 dan memeriahkan hari ulang tahun PT. IWIP yang ke V (Lima). Kado Istimewa yang diberikan PT. IWIP dan PEMDA Kabupaten Halmahera Tengah adalah fenomena kerusakan ekologis berupa banjir, tanah longsor serta tercemarnya sungai sagea atau Boki Maruru akibat limbah dari aktivitas industri ektraktif. Perihal tersebut akan mengulangi kembali kisah yang di rasakan warga pulau Gebe.
Mengakhiri tulisan ini, saya mengajak kembali kepada Masyarakat fagogoru khusunya Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah. Untuk merefleksi kembali Falsafah Fagogoru yang diperjuangkan mati-matian oleh para moyang untuk menyatuhkan tiga negeri bersaudara (Gam Range). Agar nilai Fagogoru tetap hidup dalam jiwa generasi untuk dapat di praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, bagi saya MUBES Fagogoru yang akan di laksanakan tidaklah penting dan tidak akan mampuh mengobati penderitaan masyarakat fagogoru. Apa lagi isu tentang pemekaran Provinsi baru tidak akan menjawab problem sosial yang terjadi, baik itu kerusakan ekologi, pembunuhan dan masalah lainnya. Sebab, pemaknaan falsafah fagogoru tidak harus di jadikan sebagai aliansi, karena falsafah fagogoro adalah spirit spritual yang harus direnungi untuk menjaga, menyangi dan menjalin hubungan baik antar sesama.
Untuk menggambarkan kondisi Masyarakat Fagogoru yang saya narasikan di atas mengutip sepenggal syair Lalayon “minyow taylama, minyow duka re balisa (Jika kau pandang lautan teduh maka di balik keteduhan itu tersimpan duka)”.
Seruan untuk semua pihak bahwa Boki Maruru dan Gunung Wato-wato harus diselamatkan dari hasrat oligarki dan kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang ini!!!.