Diatas lereng gunung yang sepi, embun diguyup cahaya matahari, rumput hijau mulai menebarkan senyum, saat sinar matahari menyapa dengan hangat.
Langit biru telah tiada, pekat malam yang gelap dan awan melingkari ujung gunung, hijau nan lebat pepohonan raksasa, seperti mata air kesejukan yang hening, cahaya emas berdenyut didalamnya.
Lebih tinggi lagi, dalam lanskap ujung gunung Gamalama penuh gemuruh magma dan lahar sedang menari. Pada Kie Matubu tersimpan air jernih kehidupan yang begitu lembut.
Mengucap tabik pada bintang malam, yang kini mengambil alih cakrawala samudera raya,
Manusia membangun surga pikiran sendiri, suatu, keinginan baru setiap waktu, berjalan dengan langkah kaki yang panjang, detail dan begitu tinggi mimpi indahnya.
Menyapa membawa kawan pada harapan jumpa bersama. Ngopi, merokok dan berbagai bahasa satu sama lain yang bisa di mengerti.
Kepada kawan “Muskapi”, kita bercakap-cakap sebelum Januari berakhir. Tentang pacar, cinta dan hubungan yang serius, tapi mau belajar serta berjuang. Banyak hal dibicarakan, sebagai seorang yang menempuh jalan panjang, ia mahasiswa juga sedang mengemban tugas seorang jurnalis.
Suka menulis, merekam, mengedit, dan suatu bagian yang penting adalah sebagai wartawan ikut terlibat aksi, aliansi, dan peduli karena peka untuk memajukan semangat kawan-kawan menulis. Sekarang semkin jernih langkah kakinya, melewati tangga menciptakan arah, menuju bintang.
Jarinya rinci, detail, karena dikuatkan dengan bacaan, dedikasi yang kuat memberi harapan agar maju mengasah otaknya, hati, yang penuh kasih sayang.
Canda, tawa, dan obrolan bersama nya mengalir bagai mata air–lembut angun–indah dan menakjubkan.
Seperti itulah harapan bertemu bercakap-cakap dengan indah dan penuh manusiawi!
Teruslah berkarya, karena kutuliskan catatan pendek ini kepada kau, dengan harapan masih bisa kubacakan tulisan yang kau kirim kepadaku, juga keinginan mendengarkan, terus kau bicara.
(2024 || Victor Zapata)
