Oleh: Sahib Munawar.S.Pd,I.M.Pd
Pemilihan kepala daerah secara langsung sejatinya merupakan ruang kompetisi bebas atau terbuka, bagi setiap warganegara untuk tampil mengisi ruang kepemimpinan publik. Karena PILKADA di negara Demokrasi adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan setiap 5 tahun sebagai wadah. Km
rekruitmen kepemimpinan politik di negara negara demokrasi seleksi kepemimpinan merupakan agenda pokok kekuasaan yang didesain secara khusus dan ketat oleh negara melalui konstitusi, karena pemilihan kepala daerah secara langsung dapat menjadi salah satu indikator yang menentukan kualitas pembangunan demokrasi diatas politik lokal.
Pemilihan kepala daerah sebelum Reformasi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat ( DPRD), sebagai representasi rakyat daerah, sehingga kepala daerah bertanggung jawab langsung kepada DPRD yang memilikinya bukan kepada rakyat, tetapi setelah berlakunya undang undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah kepada daerah-daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga pertanggungjawaban kepada daerah, bukan kepada DPRD lagi, tetapi kepada rakyat melalui DPRD.
Pergeseran Reformasi kekuasaan dalam hal pemilihan langsung kepala daerah berimplikasi secara sosio yuridis kepada jawaban kepala daerah, jika kepala daerah dianggap kurang serius, memajukan pembangunan di daerah, maka secara otomatis persepsi, publik menjadi kurang baik, sehingga berdampak pada citra figur kepala daerah yang akan maju kembali di pemilihan berikutnya.
Begitupun sebaliknya jika kepala daerah dianggap serius memajukan daerah, maka akan memberikan citra positif bagi pertahanan untuk dipilih kembali oleh konstituen, karena publik dapat memberikan hukuman secara politik untuk tidak memilih kembali kepala daerah innocent, begitupun sebaliknya anggota DPRD jika dianggap tidak serius bekerja untuk kepentingan publik, maka hal yang sama publik dapat memberikan sanksi politik dengan tidak memilih kembali mereka sebagai anggota DPRD.Pemilihan kepala daerah pertama diselenggarakan berdasarkan undang-undang PILKADA DKI jakarta 2007 pada tahun 2011 terbit undang undang baru tentang penyelenggara pemilihan umum yakni undang undang nomor 15 tahun 2011 didalam undang undang ini istilah yang digunakan yaitu ” Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Pemilihan kepala daerah dimata kaum intelektual, identik dengan kontestasi ide dan ide merupakan penuntun bagi jalan keluar dari segala persoalan yang dihadapi oleh daerah,seperti ketertinggalan pembangunan dan keterbelakangan kesejahteraan masyarakat di daerah dan masih banyak lagi persoalan lain yang menghantui, misalnya kemiskinan, pengangguran dan tingkat kriminalisasi makin tinggi.
Sehingga membutuhkan strong leader yang tangguh dan tanggap dengan persoalan kebutuhan daerah, karena kepemimpinan yang tanpa didukung dengan ide ide dan gagasan adalah kepemimpinan yang mati,mustahil membawa perubahan dan kemajuan dengan kata lain berjalan ditempat.
Pillkada secara langsung atau serentak pada prinsipnya disesuaikan dengan dinamika politik di tingkat lokal, dimana daerah-daerah selama ini merasa kurang diberi kebebasan dalam partisipasi politik menentukan pemimpin di daerah diakibatkan kuatnya cengkraman oligarki atau Dinasti Politik . Sehingga proses demokratisasi politik di daerah terhambat dalam kungkungan elite politik lokal.
Tren politik kekerabatan sebagai gejala Neopatrimonalistik benihnya sudah lama berakar, yakni berupa sistem patrimonal yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan geneologis ketimbang merit sistem politik dalam menimbang prestasi .
Dulu pewaris ditunjuk atau diangkat langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural anak atau para elite politik masuk dalam institusi yang sudah dipersiapkan yaitu partai politik. Oleh sebabnya itu patrimonalistik ini terselubung oleh jalur prosedural sebagimana yang ada di Maluku Utara .
Secara geografis daerah provinsi Maluku Utara tidak terlepas dari sejarah empat kerajaan, Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo dan kerajaan Bacan. Maluku Utara menjadi provinsi pada tahun 1959 sejak itu Maluku Utara terpisah dari administrasi provinsi Maluku menjadi Maluku Utara, namun ditengah tumbuhnya demokrasi Maluku Utara yang usianya 64 tahun kini masih terbayang dengan masa lalu yakni sistem kerajaan dan sampai sekarang masih mendarah daging di tubuh para elite politik yang haus dengan kekuasaan Dinasti. Tidak lama lagi masyarakat Maluku Utara pada umumnya akan diperhadapkan dengan momentum Pemilihan kepala daerah ( Pilkada) serentak pada tanggal 27 November 2024 mendatang , masing-masing orang siap untuk ikut berkompetisi bebas dalam pemilihan kepala daerah, baik Gubernur, Walikota dan Bupati,masing-masing kandidat bakal calon mempersiapkan diri untuk mendaftar, calon gubernur Figur seperti Muhammad Kasuba berpasangan dengan Basri Salama dari partai Hanura, Muhammad Kasuba adalah anggota DPRD Provinsi tiga periode dan mantan Bupati Halmahera selatan dua periode, Husen Altin Sultan tidore anggota DPD RI 2019/ 2024, Ahmad Hidayat Mus dari partai Golkar mantan Bupati kepulauan Sula dua periode, dan Aliong Mus dari partai yang sama golkar mantan Bupati taliabu dua periode, Taufik Madjid, Edy angkara mantan Bupati Halmahera tengah sejak tahun 2017/2022, Benny Laos mantan Bupati Pulau Morotai sejak 2017/2022, berpasangan dengan H Sarbin Sehe KAKANWIL Provinsi Maluku Utara.
Ditengah pertarungan bakal calon Pilkada, gubernur, bupati dan walikota, terjadi polemik dan perseteruan diantara beberapa kandidat bakal calon gubernur Maluku Utara, dengan isu isu miring, SARA,( suku, agama dan budaya dll) seperti pernyataan dari lawan politik atau tim pendukung yang ingin menghalangi figur Benny Laos dengan nada sinis ” Bahwa Maluku Utara adalah daerah wilayah Kesultanan, maka jangan memberanikan diri untuk berkompetisi bebas dalam pemilihan kepala daerah gubernur pada November 2024 mendatang, pernyataan lain untuk Benny Laos bahwa perbedaan antara Ahmad hidayat Mus dan Benny Laos” Ahmad hidayat Mus seorang muslim tapi diakhir masa jabatannya terjerat kasus suap ( korupsi) sedangkan Benny Laos non -muslim tapi jujur dan bersi dari korupsi diakhir masa jabatannya.
Dari pernyataan seperti diatas sebenarnya mencederai hakikat dari demokrasi itu sendiri,dinasty politik membuat lingkungan demokrasi menjadi tidak bersih karena dengan adanya fanatik, kesukuan, ras dan agama dibawa bawa dalam berpolitik, sehingga kasus seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi “artinya memilih seseorang karena dia adalah kerabat dekat dan bukan karena kapabilitas, integritas dan intelektualitas sebagai syarat menjadi pemimpin.
Membaca konteks antropologi di Maluku Utara sangat heterogen dan kosmopolitan atau dengan kata lain monokultur, baik dilihat dari segi kebudayaan, adat istiadat, suku dan agama, keanekaragaman, sejuk dan membawa kedamaian itulah provinsi Maluku Utara di negara Indonesia bagian timur yang terikat dengan bhineka tunggal ika yang berdasarkan pada Pancasila dan NKRI.
Oleh sebabnya itu ditengah tengah kesejukan dan kedamaian maka jangan ada lagi perseteruan serta konflik karena dari perbedaan pilihan dalam politik dengan membawa isu SARA.
Dari latar belakang diatas mendorong saya untuk menulis tentang Polemik pro kontra calon pemimpin non- muslim dalam kontestasi PILKADA serentak ” Perspektif Ibnu Taimiyyah ” Pemikir Islam kontemporer Timur Tengah dalam melihat Antropologi Maluku Utara.
Polemik pro kontra calon pemimpin dan non-muslim perspektif Ibnu Taimiyyah” Polemik seputar hukum mengangkat pemimpin non-muslim dikalangan Ummat Islam merupakan isu kontroversial yang senantiasa memancing perdebatan dikalangan para ahli dari sejak dahulu hingga kini.
Perbedaan interpretasi para ulama mengenai dalil-dalil yang seolah bertentangan atau membolehkan sehingga apakah ini masih berlaku atau tidak dalam memilih pemimpin non- muslim dimasa kontemporer saat ini, tentu saja melahirkan pendapat yang beragam.
Keberagaman penafsiran ini yang mengharamkan dan yang membolehkan non-muslim menjadi pemimpin negara yang mayoritas penduduk beragama Islam baik dalam konsep maupun penerapannya masih terus berlangsung sampai saat ini. Dari pendapat para ulama yang membolehkan dan tidak seorang pemimpin non-muslim muslim untuk menjadi pemimpin.!. Penulis lebih tertarik kepada seorang ulama dan pemikir Islam kontemporer dari timur Tengah, Syiria kota Al Harran Damaskus, seorang ulama yang sangat disegani dari segi intelektualnya julukan titisan intelektual Imam Besar Ahmad bin Hambal, dari keluarga seorang ulama Syiria yang setia menganut ajaran agama puritan bermazhab Imam Hambali lahir pada tanggal 22 Januari tahun 1263 ia lahir setelah jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Tartar berselang waktu lima tahun, pada masa kekuasaan dinasty Abbasiyah telah berakhir.
Nama besar seorang Ibnu Taimiyyah di bidang intelektual tidak bisa terbantahkan oleh siapapun. Menurut Atho Mudzhar, lahirnya suatu pemikiran tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial sebagai faktor yang melatarbelakanginya, buah pemikiran yang lahir setelah mengalami proses dialektika sosial yang panjang, karena itu tidak dapat memisahkan dari realitas sosial. Dalam rangka memahami seorang pemikir secara objektif ada dua hal, yaitu perkembangan intelektualnya dan kedua realitas objektif yang mengitari hidupnya.
Ibnu Taimiyyah selalu menjadikan Al Qur’an sebagai landasan utama berpikir yang merupakan ciri khas pemikirannya, demikian pandangannya tentang kosmopolitan, untuk gagasan kosmopolitan Ibnu Taimiyyah tetap berpatokan pada ajaran Islam bahwa Islam sebagai ajaran kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam atau “Rahmatan lil Alimin” Seperti diamanatkan alquran” Baginya nilai terpenting yang harus dipelihara dalam pemerintahan adalah keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah kemungkaran ( Amar makruf nahi mungkar), dalam aspek politik dan kenegaraan, Ibnu Taimiyyah lebih memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan dengan segala-galanya,termasuk keimanan Agama seseorang.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah” Menyatakan pendapatnya yang terkenal yang kemudian menjadi inti dari tulisan saya ini adalah ” Lebih baik dipimpin oleh pemimpin non-muslim yang adil, dari pada dipimpin oleh pemimpin Muslim yang dzalim”. Kosmopolitan Ibnu Taimiyyah ini dalam konteks kepemimpinan dan kewarganegaraan senantiasa memandang manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, suku, asal negara dan ikatan ikatan tradisional lainnya. Berawal dari pendapat yang mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan dengan keimanan, Ibnu Taimiyyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan negara dalam proyek kosmopolitanisme nya. Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa tugas utama negara adalah tegaknya keadilan secara universal, dengan demikian syariat dan keadilan universal adalah saudara kembar yang pararel dan harus berjalan seiring.
Pemikiran kosmopolitan Ibnu Taimiyyah sangatlah mengejutkan, sebab Ibnu Taimiyyah sendiri hidup dilingkungan masyarakat yang bhinneka, beranekaragam dan heterogen , heterogen menyangkut hal yang sangat kompleks, baik dalam hal kebangsaan, status sosial dan agama, aliran, budaya dan hukum.
Bagi Ibnu Taimiyyah keragaman adalah rahmat Tuhan, sekaligus laknat, jika itu tidak terorganisir dengan baik, maka heterogenitas tersebut akan menjadi bumerang yang menimbulkan konflik dan sumber Kerawanan bagi kehidupan bernegara. Dalam situasi demikian sukar untuk menciptakan stabilitas politik, keserasian sosial dan pemupukan moral serta akhlak.
Selain pandangannya tentang kosmopolitan, doktrin kekhalifahan ditangan suku quraish di tolak dan di anggap oleh Ibnu Taimiyyah tidak lagi relevan atau tidak urgensinya di zaman sekarang dan untuk diyakini apalagi di terapkan di tengah-tengah masyarakat yang kosmopolitan dan heterogen seperti di tempat ia hidup. Begitu juga di Indonesia bagian timur ,provinsi Maluku Utara yang menurut hemat penulis di Maluku Utara masyarakatnya sangat heterogen dan kosmopolitan jadi untuk sistem kerajaan atau Kesultanan sangatlah tidak relevan lagi untuk dibawa ke dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Dalam masyarakat yang heterogen, baginya semua elemen masyarakat punya hak dan kewajiban yang sama untuk memimpin dan dipimpin tanpa ada diskriminasi atau pengkultusan berlebihan terhadap suatu golongan tertentu . Slogan Sentral yang dikumandangkan oleh Taimiyyah adalah kembali kepada Al quran dan As-Sunnah dengan membuang jauh jauh perbuatan syirik, Khorofat dan bid’ah pengkultusan seseorang dan lain-lain.
Realitas sosial masyarakat seperti itulah kemudian mendorong Ibnu Taimiyyah untuk menolak kehujjahan hadist” Bahwa pemimpin harus berasal dari suku dan bangsa quraish, karena dalam hadits tersebut menurutnya adalah menyuruh kepada pengkultusan suatu bangsa atau golongan. Padahal menurut Al Qur’an adalah dengan tegas memuliakan manusia bukan dilihat dari keturunan dan kebangsaan namun yang dilihat adalah dasar ketaqwaan. ( QS Al Hujjurat ayat 13). Dalam rangka melanjutkan proyek kosmopolitanisme dalam pemerintahan, Ibnu Taimiyyah terkenal dengan gagasannya organis dalam memandang institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan.
Menurut Ibnu Taimiyyah manusia pada dasarnya berwatak “Madaniy”( suka membangun) itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatan kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mengatasi persoalan. Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah dan anggota masyarakat.
Sebelum penulis mengakhiri tulisan ini bagi Ibnu Taimiyyah bahwa keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan “
Terakhir dari penulis ingin mengutip sebuah untaian kosmopolitanisme dari Gusdur seorang tokoh pluralisme di Indonesia mantan presiden RI ke empat ” Bahwa tidak penting apapun agama dan sukumu ” Jika engkau melakukan kebaikan untuk semua manusia ” Maka orang tidak akan tanya apa agama mu”.
Editor: teluk
Admin: