Oleh: Rizki Fajli Jalal
Mahasiswa Universitas Khairun Ternate, Prodi Manajemen
Provinsi Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan dengan 1.647 pulau dan sekitar 82% dari wilayahnya berupa perairan. Keterpencilan geografis ini membuat transportasi laut menjadi urat nadi mobilitas masyarakat. Sekitar 85% aktivitas pergerakan orang dan barang bergantung pada moda transportasi laut lokal (BPS, 2023). Namun demikian, jalur laut lokal, termasuk rute penting Ternate–Morotai, menghadapi tantangan serius dari sisi keselamatan dan keberlanjutan operasional. Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT, 2023) menunjukkan bahwa lebih dari 60% kecelakaan laut di Indonesia Timur terjadi pada lintasan penyeberangan antar-pulau, dengan sebagian besar melibatkan kapal kayu tradisional tanpa standar keselamatan yang memadai.
Wilayah Morotai yang terletak di ujung utara Maluku Utara menghadapi tambahan risiko berupa paparan gelombang laut terbuka yang tinggi, khususnya saat musim angin timur. Rute laut Ternate–Morotai yang berjarak sekitar 190 km menghubungkan pusat administrasi provinsi dengan salah satu pulau strategis ekonomi dan pertahanan. Namun, wilayah ini memiliki kondisi laut yang sering tidak bersahabat, terutama di sekitar Laut Halmahera Utara. Menurut data Dinas Perhubungan Maluku Utara (2023), 65% kapal yang melayani rute ini adalah kapal kayu kecil dengan usia operasional lebih dari 25 tahun. Sebagian besar tidak memiliki sertifikat laik laut, dan hanya 20% dilengkapi perangkat navigasi modern. Selain itu, BMKG (2023) mencatat bahwa gelombang di Laut Halmahera dapat mencapai 2,5–3,5 meter selama musim angin timur (Mei–Agustus), memperbesar risiko kecelakaan laut. Operator kapal tradisional masih sangat bergantung pada prakiraan cuaca manual, dan tidak memiliki sistem komunikasi berbasis satelit.
Cuaca Ekstrem dan Perubahan Iklim Studi Santoso et al. (2021) dalam Journal of Marine Science menekankan bahwa badai dan gelombang tinggi berkontribusi besar pada keterlambatan pelayaran dan risiko kecelakaan. Di rute Ternate–Morotai, cuaca ekstrem sering terjadi mendadak tanpa sistem peringatan dini yang akurat. Kondisi Kapal dan Infrastruktur, Sebanyak 70% kapal tradisional yang beroperasi tidak dilengkapi dengan alat keselamatan seperti pelampung atau radar (Hasan et al., 2021). Fasilitas pelabuhan di Daruba (Morotai) juga belum sepenuhnya mampu menampung kapal besar pada kondisi pasang surut ekstrem. Nurhalimah et al. (2023) menunjukkan bahwa hanya 15% awak kapal di pelabuhan kecil Indonesia memiliki pelatihan keselamatan laut dan sertifikat kompetensi. Minimnya pelatihan meningkatkan risiko kesalahan operasional, khususnya dalam kondisi cuaca buruk.
kombinasi pengetahuan lokal tentang pola cuaca dan teknologi navigasi modern dapat meningkatkan ketahanan sistem transportasi laut. Namun, integrasi ini masih minim di wilayah Morotai. Rute Ternate–Morotai menjadi gambaran kompleksitas tantangan transportasi laut lokal di Maluku Utara. Dengan risiko dari cuaca ekstrem, kapal tua, keterbatasan SDM, dan infrastruktur yang belum optimal, diperlukan strategi mitigasi yang menyeluruh dan kontekstual. Implementasi teknologi, regulasi yang tegas, serta peningkatan kapasitas SDM adalah tiga pilar utama penguatan sistem keselamatan laut. Strategi ini bukan hanya demi keselamatan, tetapi juga untuk mendukung keberlanjutan sosial-ekonomi masyarakat kepulauan di Maluku Utara.









