Pendidikan yang Tertinggal: Analisis Rendahnya IPM Halmahera Selatan Akibat Tren Kerja di Tambang

Opini61 Dilihat

Oleh: Khumairah Jaria

Mahasiswa Universitas Khairun Ternate, Prodi Manajemen 

Sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi asal Halmahera Selatan, saya melihat langsung bagaimana perkembangan pendidikan dan ekonomi di daerah saya berjalan. Isu rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Halsel bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan realita sehari-hari yang kami hadapi. IPM yang masih rendah ini sangat erat kaitannya dengan rendahnya tingkat pendidikan, terutama karena banyak anak muda yang lebih memilih bekerja di sektor pertambangan setelah lulus SMA daripada melanjutkan kuliah.

Sebetulnya, dari tahun ke tahun, pemerintah daerah sudah berusaha memperbaiki infrastruktur pendidikan. Saat ini Halsel memiliki beberapa kampus lokal, di antaranya: Universitas Nurul Hasan (UNSAN) Bacan Didirikan tahun 2023, hasil penggabungan STP Labuha dan Politeknik Halmahera. UNSAN membuka 8 program studi baru untuk menunjang pembangunan SDM lokal. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Khairaat Halmahera Selatan, Fokus pada bidang pendidikan keislaman, dan sudah terakreditasi “Baik” oleh BAN-PT.

Sekolah Tinggi Pertanian (STP) Labuha, Sebelum bergabung dengan UNSAN, kampus ini cukup dikenal untuk bidang pertanian. Selain itu, Pemkab Halsel juga menyediakan beasiswa sekitar Rp 3 miliar untuk mahasiswa kurang mampu (Haliyora.id, 2024). Namun, kenyataannya, kampus-kampus ini belum sepenuhnya menjadi pilihan utama lulusan SMA.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, perkembangan IPM Halsel dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren meningkat, namun masih jauh tertinggal dibandingkan rata-rata provinsi dan nasional. Kendati ada kenaikan sekitar 2 poin dalam lima tahun, IPM Halsel tetap jauh di bawah angka provinsi maupun nasional, menunjukkan masalah struktural di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Penyebab Rendahnya Minat Melanjutkan Pendidikan :

  1. Faktor Ekonomi: Sebagian besar masyarakat Halsel, termasuk keluarga saya sendiri, menggantungkan hidup dari hasil kebun, nelayan, atau kerja serabutan. Biaya kuliah, meskipun ada beasiswa, tetap terasa berat karena mencakup biaya hidup, transportasi, dan kebutuhan kuliah lainnya.  Bekerja di tambang — baik tambang legal maupun tambang rakyat — menawarkan penghasilan cepat tanpa harus menunggu bertahun-tahun seperti kuliah.
  1. Persepsi terhadap Mutu Pendidikan Lokal: Ada anggapan di tengah masyarakat bahwa kuliah di kampus lokal itu percuma. “Lebih baik langsung kerja tambang, daripada kuliah di Halsel, kampus juga tidak keren,” begitu kata sebagian teman saya saat lulus SMA.  Minimnya program studi favorit, fasilitas kampus yang masih terbatas, dan sedikitnya alumni sukses dari kampus lokal memperkuat stigma ini.
  1. Budaya dan Cara Pandang: Budaya pragmatis juga berperan besar. Banyak keluarga lebih bangga kalau anaknya sudah bisa menghasilkan uang cepat, dibandingkan harus kuliah lama dan menghabiskan biaya tambahan. Apalagi di banyak desa, kerja di tambang dianggap sebagai jalan hidup yang “pasti”.
  1. Keterbatasan Akses dan Infrastruktur: Halsel merupakan wilayahnya luas — dari Pulau Bacan, Pulau Obi, Gane, sampai Makian-Kayoa.

Akses jalan yang belum sepenuhnya bagus, ongkos transportasi mahal, dan kampus hanya ada di Bacan membuat tidak semua lulusan SMA mudah menjangkau pendidikan tinggi. Data ini menunjukkan hampir separuh lulusan SMA langsung memilih bekerja di tambang, memperkuat tren rendahnya partisipasi pendidikan tinggi di Halsel.

Dampak Terhadap Kualitas Penduduk dan Ekonomi

Sebagai mahasiswa Ekonomi, saya memahami bahwa rendahnya partisipasi pendidikan tinggi membawa konsekuensi besar:

  1. Kualitas SDM yang Rendah: Dengan tingkat pendidikan rendah, SDM Halsel terbatas pada sektor-sektor berbasis tenaga b kasar, minim inovasi, dan sulit beradaptasi dengan perubahan global. Ini mempersempit pilihan ekonomi masyarakat hanya pada sektor primer.
  2. Ketimpangan Ekonomi: Pekerjaan tambang cenderung tidak berkelanjutan. Saat tambang tutup atau menurun produksinya, banyak penduduk kehilangan sumber pendapatan tanpa skill alternatif. Ketimpangan ekonomi pun melebar.
  1. Dampak ke Sektor Kesehatan: Pendidikan rendah berkorelasi dengan rendahnya kesadaran kesehatan masyarakat. Hal ini meningkatkan risiko penyakit menular, gizi buruk, dan keterlambatan pengobatan yang pada akhirnya memperberat beban sistem kesehatan daerah.
  2. Hambatan Pembangunan Berkelanjutan: Investasi luar masuk ke daerah yang SDM-nya terampil. Rendahnya IPM membuat Halsel kurang menarik bagi investor non-tambang, menghambat diversifikasi ekonomi dan pembangunan jangka panjang.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Sebagai anak Halsel, saya percaya bahwa meningkatkan IPM melalui pendidikan akan membuka jalan bagi kemajuan ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat kita. Jika tidak segera dibenahi, ketertinggalan ini akan terus memperlebar jurang ketidaksetaraan dan menghambat mimpi Halsel untuk tumbuh menjadi daerah maju di Maluku Utara. Saya berharap ke depan, lebih banyak anak muda Halsel yang memilih kuliah, bukan hanya karena ada beasiswa, tapi karena mereka percaya pendidikan adalah jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *