Oleh: Fitriyati Helmi
Mahasiswa Program Studi Manajemen, Universitas Khairun Ternate
Hilirisasi sumber daya mineral menjadi strategi makro andalan pemerintah dalam upaya meningkatkan nilai tambah komoditas nasional. Salah satu bentuk implementasinya tampak jelas di Maluku Utara, melalui kehadiran PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) — sebuah kawasan industri terpadu yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020. IWIP kini memainkan peran penting sebagai lokomotif hilirisasi nikel di Indonesia bagian timur.
Kehadiran IWIP membawa berbagai dampak positif: pembangunan smelter, penyerapan ribuan tenaga kerja, hingga meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Maluku Utara menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar ditopang oleh sektor pertambangan dan industri pengolahan.
Namun, di balik prestasi makro tersebut, terdapat sejumlah tantangan struktural yang perlu dikritisi secara serius. Salah satunya adalah fenomena menurunnya minat melanjutkan pendidikan di kalangan pemuda lokal. Banyak lulusan SMA di sekitar kawasan industri yang lebih memilih menjadi buruh tambang demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hal ini diperparah oleh minimnya akses pendidikan tinggi dan kurangnya intervensi strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Padahal, keberhasilan hilirisasi tidak hanya ditentukan oleh pembangunan fisik dan ekspor mineral olahan, tetapi juga oleh kemampuan daerah dalam mencetak SDM yang unggul. Tanpa dukungan SDM yang mumpuni, pertumbuhan ekonomi yang dicapai hanya bersifat jangka pendek dan tidak berkelanjutan.
PT IWIP, sebagai perusahaan tambang besar, memiliki tanggung jawab sosial melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM). Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1824 Tahun 2018, sektor pendidikan bahkan ditetapkan sebagai klaster prioritas. Sayangnya, di lapangan, implementasi program CSR sering kali belum menyentuh akar masalah. Bantuan pendidikan masih bersifat seremonial dan jangka pendek, tanpa perencanaan yang mampu menjawab kebutuhan seperti peningkatan kapasitas guru, beasiswa berkelanjutan, dan infrastruktur pendidikan yang layak.
Oleh karena itu, hilirisasi nikel di Maluku Utara harus dibarengi dengan roadmap pembangunan SDM yang konkret dan terukur. Pemerintah daerah harus mengambil peran lebih aktif dalam mendorong perusahaan tambang untuk berkontribusi secara nyata dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan kerja. Keuntungan dari aktivitas industri harus benar-benar kembali ke rakyat, bukan hanya ke kantong investor.
Selain aspek sosial, dampak ekologis dari aktivitas tambang juga harus menjadi perhatian utama. Eksploitasi besar-besaran tanpa pengawasan berisiko merusak ekosistem laut dan darat yang selama ini menjadi penopang hidup masyarakat lokal. Hilirisasi seharusnya menjadi instrumen menuju kemakmuran berkelanjutan, bukan malah menyisakan krisis lingkungan yang diwariskan kepada generasi mendatang.
Dengan kekayaan alam berupa nikel, pariwisata, perikanan, dan sektor-sektor lainnya, Maluku Utara memiliki peluang menjadi provinsi yang tak hanya kaya mineral, tetapi juga kaya manusia unggul. Ketika tambang suatu hari nanti habis, hanya SDM tangguh yang akan mampu menjaga stabilitas ekonomi dan sosial daerah.
Membangun hilirisasi berarti membangun nilai tambah mineral dan nilai tambah manusia. Keduanya harus bergerak seiring dan seimbang. Jika tidak, Maluku Utara hanya akan menjadi catatan statistik ekonomi, bukan rumah sejahtera bagi masyarakatnya sendiri.











