Toxic Parenting: Orang Tua Durhaka, Jeratan Pola Asuh dalam Rumah Tangga

Opini620 Dilihat

Oleh: Ibnu Furqan, S.Hum

“Anak durhaka” adalah frasa yang sering digunakan masyarakat untuk menandai perilaku seorang anak yang dianggap melanggar batas atau norma keluarga. Ungkapan ini tak hanya berakar pada kebiasaan sosial, tetapi juga pada doktrin agama yang kerap mengalami pergeseran makna karena penafsiran sepihak. Akibatnya, anak selalu ditempatkan pada posisi “tunduk”, “patuh”, dan “berbakti” secara absolut.

Fenomena ini masih sering terjadi. Seorang anak yang melawan, membantah, atau sekadar memiliki pilihan berbeda dari orang tuanya, kerap langsung dilabeli “durhaka”. Tak jarang, label itu disertai ancaman bernada religius seperti “Surga tidak akan kau dapatkan jika melawan orang tua.”

Namun, jarang disadari bahwa orang tua pun bisa durhaka kepada anaknya. Di sekitar kita, masih ada orang tua yang bersikap toksik secara sadar atau tidak dan menjadi sumber luka, trauma, serta penderitaan jangka panjang bagi anak-anaknya.

Bayangkan sosok Rina (nama samaran), lulusan S1 yang sudah sembilan bulan mencari pekerjaan tanpa hasil. Alih-alih mendapat dukungan, setiap hari ia menerima cibiran dari orang tuanya: “Ngana lia sana orang pe ana so jadi PNS, ngana bolom-bolom lagi” atau “Sarjana tapi tidak kerja, mau jadi apa?”
Tak pernah sekali pun orang tuanya mencoba memahami perjuangannya. Dalam pandangan mereka, Rina adalah “produk gagal”, seolah anak hanyalah instrumen ambisi komersial keluarga.

Baca Juga:

Merawat Budaya di Ujung Negeri: Kolaborasi KKN Unkhair dan Pemuda Makaeling di HUT RI ke-80

PMII Ternate Soroti Mangkirnya Pemkot dan BPN di Dialog Publik Sengketa Lahan

Kisah serupa banyak terjadi di sekitar kita. Anak diminta serius bersekolah, tapi kesehatan mentalnya diabaikan. Saat anak malas sekolah atau tak mengerjakan PR, respons yang keluar adalah bentakan, bukan pertanyaan penuh empati. Padahal, pendidikan rumah tangga sejatinya dibangun dari pendekatan emosional yang sehat, bukan sekadar mengejar nilai.

Setidaknya ada empat bentuk utama kedurhakaan orang tua terhadap anak:

1. Durhaka Verbal
Ucapan yang merendahkan, membandingkan dengan anak orang lain, atau mencaci maki, perlahan mematikan harga diri anak.

2. Durhaka Emosional
Anak dijadikan pelampiasan emosi, dipaksa tunduk melalui ancaman religius atau jasa melahirkan, bahkan diabaikan (silent treatment) saat perasaannya terluka.

3. Durhaka Impian/Cita-Cita
Orang tua memaksakan pilihan karier atau masa depan anak tanpa mempertimbangkan potensi dan minatnya.

4. Durhaka Amanah
Menelantarkan kebutuhan dasar anak makan, pakaian, pendidikan, kesehatan serta menjadikannya aset atau “pelayan” keluarga.

Fenomena ini tak lepas dari tingginya angka kecemasan dan depresi pada anak-anak Indonesia, termasuk di Maluku Utara. Gaya asuh yang toksik menjadi salah satu pemicunya.

Pola ini sering disebut transgenerational trauma, luka pengasuhan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Banyak orang tua mewarisi sikap keras dan otoriter dari pendahulunya, menganggapnya sebagai “pendidikan terbaik”, padahal justru mengabaikan pentingnya kesehatan mental anak.

Dalam masyarakat komunal, tekanan kekerabatan dan kewajiban sosial sering mengekang ekspresi anak. Hasilnya, anak tumbuh dengan keterbatasan, lebih memilih manut pada hegemoni daripada mengembangkan diri.

Agama, khususnya Islam, sebenarnya memandang anak sebagai amanah, bukan aset. Rasulullah SAW bersabda:

“Hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya ada tiga: memilihkan nama yang baik, mengajarkan Al-Qur’an (kebenaran) ketika mulai berakal, dan menikahkannya ketika sudah dewasa.” (HR. Ad-Dailami)

Dalam hadits lain beliau bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…” (HR. Bukhari & Muslim)

Pesan ini jelas: tanggung jawab orang tua bukan sekadar memberi makan dan pakaian, tetapi juga membentuk karakter, moral, dan masa depan anak. Bagaimana mungkin mempertanggungjawabkan amanah di hadapan Tuhan jika yang lebih sering keluar adalah bentakan, bukan pelukan; hardikan, bukan didikan?

Islam bahkan mengharamkan segala bentuk kezaliman:

“Sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim)

Frasa “Orang Tua Durhaka” bukanlah ajakan agar anak membangkang, tetapi sebuah seruan kesadaran bahwa hubungan orang tua–anak harus dibangun dua arah. Orang tua perlu bertanya: Apakah kita membesarkan anak sebagai manusia merdeka, atau hanya mencetak mereka menjadi versi dari ambisi kita yang gagal?

Memutus rantai luka pengasuhan adalah bentuk birrul walidain tertinggi menghadirkan generasi yang tumbuh sehat secara fisik dan mental. Keluarga seharusnya menjadi tempat pulang yang menenangkan, bukan medan perang yang menguras kewarasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *