Desa Dan Problem Korupsi Keuangan Desa Di Halmahera Tengah

Opini194 Dilihat

Oleh : Rusli Sadek
(Penulis Adalah Warga Desa Peniti Kec. Patani Timur)

Pengantar

Tulisan ini merupakan refleksi penulis atas beberapa peristiwa korupasi Keuangan Desa yang terjadi di Halmahera Tengah yang telah menjalani proses hukum dan dipublis oleh Kejaksaan Negeri Weda. Awalnya timbul rasa sungkan mengangkat tema ini, lantaran sering terjadi jika ada tokoh masyarakat ataupun warga yang mengkritisi kebijakan pengelolaan Keuangan Desa yang terkesan tertutup dan menyalahi aturan, maka dengan mudah dijadikan lawan atau “musuh” bersama oleh aparatur desa atau kelompok lainnya yang berbeda pandangan. Namun dorongan untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa yang menjerat aparat desa, menguatkan tekad penulis menepis rasa sungkan tersebut. Apalagi sebagai warga desa, penulis intens terlibat aktif dalam setiap kegiatan di desa, sehingga cukup meraskan atmosfir dan implikasi dari kasus penyelewengan Keuangan Desa ini. Naluri untuk ikut melakukan pengawasan terhadap pengelolaan Keuangan Desa diperkuat dengan jaminan peraturan perundang-undangan atas hak warga desa untuk turut serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Pasal 68 ayat (1) huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menjamin bahwa “Masyarakat Desa berhak: a. meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; b. memperoleh pelayanan yang sama dan adil; c. menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;”

Media ini menjadi pilihan penulis untuk mempublikasikan tulisan ini karena menurut penulis cukup objektif dalam menyajikan informasi publik.

Eksisitensi Desa

Sebagai elemen terkecil dari sistem penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kedudukan desa dan fungsinya merupakan representasi dari fungsi negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat. Didukung dengan fakta historis sosiologis bahwasanya komunitas masyarakat yang terhimpun dalam hubungan kekerabatan tradisional dan mendiami wilayah-wilayah di Nusantara telah berkembang jauh sebelum para pendiri negara menghimpun komunitas masyarakat tersebut dalam sebuah wadah yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nampak para pendiri negara menyadari sepenuhnya akan fakta ini sehingga dalam rumusan Pasal 18 UUD 1945 mencantumkan bahwa; “Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahnnya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sisitem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Demikian pula pasca reformasi 1998, yang mana kaum reformis menghendaki adanya perubahan yang mendasar dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Baik aspek politik dan pemerintahan, aspek hukum, aspek sosial budaya dan juga aspek ekonomi, eksistensi desa tetap mendapat tempat terhormat dalam konstistusi.Tercatat telah terjadi emapat kali perubahan UUD 1945 melalui Amandemen. Perubahan Pertama disahkan 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua disahkan 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga disahkan 10 November 2001, dan Perubahan Keempat disahkan 10 Agustus 2002. Pada Perubahan Amendemen Kedua UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal ini kemudian dijadikan rujukan dalam konsederan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa).

Meskipun bunyi Pasal 18B ayat (2) diatas tidak terdapat frasa “Desa”, namun pengakuan dan penghormatan negara atas eksistensi Desa tertuang dalam UU Desa. Pasal 1 angka (1) UU Desa menyatakan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat diselenggarakan oleh Pemerintahan Desa. Ketentuan dalam Pasal 24 UU Desa menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan pada sebelas asas, yaitu;

a). Kepastian Hukum;

b). Tertib penyelenggaraan pemerintahan;

c). Tertib kepentingan umum;

d). Keterbukaan;

e). Proporsionalitas;

f). Profesionalitas;

g). Akuntabilitas,

h). Efektivitas dan efisiensi;

i). Kearifan lokal;

J). Keberagaman; dan

k). Partisipatif.

Pengelolaan Keuangan Desa

Kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan desa sebagaimana diamanatkan UU Desa, didalamnya termasuk pengelolaan Keuangan Desa. Pengelolaan Keuangan Desa berdasrkan pada Pasal 71 UU Desa, yang menjelaskan; “ (1) Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. (2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa”. Untuk menyelenggarakan hak dan kewajiban tersebut Pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menyusun dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes). APBDes merupakan dokumen yang memuat program-program penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk pengelolaan Keuangan Desa dalam masa 1 (satu) tahun anggaran mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember yang ditetapkan dengan Peraturan Desa (PERDES). Karena ditetapkan dengan Perdes, maka APBDes merupakan produk hukum yang mengikat atas pengelolaan Keuangan Desa dan juga menjadi landasan bagi pengelola manajemen desa untuk memberikan informasi tentang segala aktifitas dan kegiatan desa kepada masyarakat desa dan pemerintah atas pengelolaan anggaran desa dan pelaksanaan anggaran tersebut berupa rencanarencana program yang dibiayai.

Keuangan Desa sebagaimana dijelaskan dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa. Keuangan Desa dikelola berdasarkan asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran sesuai aturan yang berlaku. Menurut BPKP (2015), transparan yaitu prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapat akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan desa. Akuntabel yaitu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Partisipatif yaitu penyelenggaraan pemerintahan desa yang mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat desa. Tertib dan disiplin anggaran yaitu pengelolaan keuangan desa harus mengacu pada aturan atau pedoman yang melandasinya. Asas-asas tersebut diatas memberikan gambaran secara gamblang bahwa Pengelolaan keuangan desa merupakan simpul yang memerlukan perhatian khusus dari semua pemangku kepentingan (steakholder. Sehingga partisipasi masyarakat setempat harus intens dilakukan sejak tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban agar pengelolaan keuangan desa dapat memberikan manfaat maksimal dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.

Konflik dan Kasus Korupsi Keuangan Desa di Halmahera Tengah

Sebagai warga salah satu desa di Halmahera Tengah yang mengamati secara langsung pengelolaan anggaran di desa tempat domisili maupun beberapa desa sekitar, penulis menyaksikan berbagai masalah yang sering terjadi. Konflik antar kelompok masyarkat, konflik antar kelompok masyarakat dengan Pemerintah Desa, konflik antara BPD dengan Pemerintah Desa, konflik antara kelompok pemuda/mahasiswa dengan Pemerintah Desa, bahkan konflik antara Kepala Desa dengan apartur desanya sendiri juga terjadi. Konflik-konflik ini berakibat timbulnya disharmonisasi sosial di tengah masyarakat desa. Potensi konflik yang terjadi umumnya dipicu karena tiga hal, yaitu:

a. Minimnya pengetahuan atau sumber daya manusia pengelola keuangan desa yang lemah,

b. Kecurigaan masyarakat meningkat akibat kurangnya transparansi pengelolaan keuangan desa, dan

c. Moralitas pengelola keuangan yang rendah. Efek yang timbul kemudian tidak sekedar pada konflik sosial, tetapi juga terbukanya ruang korupsi di desa dengan berbagai modus.

Berdasarkan data yang dihimpun penulis, pada tahun 2019 Kejaksaan Negeri (Kejari) Weda merilis ke publik beberapa kasus korupsi keuangan desa (DD dan ADD) yang ditangani. Kasus dimaksud yaitu korupsi DD dan ADD Desa Masure Kecamatan Patani Timur tahun 2015-2017, kasus korupsi DD dan ADD di Desa Lelilef Waibulan Kecamatan Weda Tengah, dan kasus korupsi DD dan ADD di Desa Palo Kecamatan Patani Timur tahun 2016. Sementara di tahun 2021 Kejari Halmahera Tengah juga melakukan penyidikan atas kasus dugaan korupsi DD dan ADD di Desa Sosowomo Kecamatan Weda Selatan, tahun anggaran 2018 dan 2019. Selain kasus korupsi keuangan desa yang dirilis ke publik oleh aparat penegak hukum tersebut, terdapat juga kasus di beberapa desa yang terindikasi merugikan keuangan desa berdasarkan hasil pemeriksaan inspektorat, namun oknum kepala desa diberikan kelonggaran waktu untuk mengembalikan dana yang disalah gunakannya. Sejumlah kasus korupsi yang menyeret oknum aparatur desa hendaknya membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pengawasan pengelolaan keuangan desa. Pengawasan oleh Masyarakat Desa merupakan salah satu bentuk partisipasi yang dapat dilaksanakan melalui pemantauan terhadap pengelolaan keuangan desa, yang mana masyarakat Desa berhak meminta dan.mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa. Informasi tersebut meliputi dokumen APBDes, pelaksana kegiatan anggaran dan tim yang melaksankan kegiatan, realisasi APBDes, realisasi kegiatan, kegiatan yang belum selesai dan/atau tidak terlaksana, dan sisa anggaran. Pengawasan pengelolaan keuangan desa oleh masyarakat desa setempat dijamin oleh hukum karena diatur dalam Pasal 68 UU Desa yang menguraikan hak masyarakat Desa dalam pemyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Permendagri Nomor 73 Tahun 2020 Tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa.

Modus dan Faktor Penyebab Korupsi Keuangan Desa

Untuk memaksimalkan peran masyarakat dalam pengawasan pengelolaan Keuangan Desa sebagaimana penulis sebutkan diatas, masyarakat setidaknya harus memahami pola atau modus dan penyebab yang memungkinkan terjadinya korupsi Keuangan Desa.

a. Modus

Berdasarkan pengamatan penulis dalam keseharian hidup bersama masyarakat Desa,  termasuk berinteraksi dengan para pengelola Keuangan Desa maupun saat mengikuti proses persidangan di pengadilan atas kasus korupsi Keuangan Desa yang terjadi di Halmahera Tengah, penulisan menyimpulkan ada beberapa modus korupsi Keuangan Desa, antara lain;

❖ Membuat rancangan anggaran diatas harga pasar. Modus ini umunya dilakukan oleh aparatur desa urusan keuangan atau karena pengetahuan dan kemampuan yang minim biasanya meminta bantuan orang lain untuk menyusun rancangan anggaran itu atas arahan dan keinganannya dengan imbalan tetentu. Modus seperti ini sebenarnya dapat diantisipasi jika pengadaan dilakukan secara terbuka dan menggunakan potensi lokal di desa. Misalnya toko bangunan yang ada di desa setempat maupun desa sekitar diberikan akses untuk berpartisipasi dalam pengadaan bahan bangunan yang dibutuhkan dalam setiap proyek yang dibiayai dari Keuangan Desa, sehingga dapat dilakukan pengecekan bersama mengenai patokan besaran biaya atau harga barang sampai ke lokasi proyek.

❖ Membuat laporan pertanggungjawaban pembiayaan bangunan fisik dengan pendanaan Keuangan Desa, padahal proyek tersebut dibiayai dengan dana dari sumber lain yang tidak tercatat sebagai item pandapatan desa. Modus ini sering terjadi bila bersamaan dengan pelaksanaan proyek fisik desa ada kegiatan pihak lain dalam wilayah desa yang memanfaatkan potensi di desa setempat. Misalnya, ada pihak kontraktor besar yang sedang mengerjakan proyek APBN atau APBD seperti jalan, jembatan, atau bangunan fisik lainnya yang memnfaatkan potensi material pasir dan kerikil (galian C) di desa setempat dan mendapat hambatan dari masyarakat, maka seringkali terjadi kesepakatan antara pemerintah desa dan pihak kontraktor dalam peggunaan alat beratnya untuk membantu pelaksanaan proyek desa atau memberikan bantuan material bahan bangunan dengan jumlah tetentu. Modus seperti ini relatif tersembunyi dan dianggap biasa, lantaran ada semacam prinsip “yang penting proyek desa tuntas”, padahal jika volume pekerjaannya dilaporkan tetap sesuai dengan RABnya maka semestinya terjadi kelebihan anggaran yang cukup signifikan karena banyak item pekerjaan yang dilaksankan atas partisipasi pihak lain ataupun bahan material yang bersumber dari sumbangan pihak lain yang bisa dikonversikan dengan nila nominal harga materian galian C yang digunakan. Disinilah pentingnya keberadaan Perdes tentang retribusi desa agar aktifitas berbagai pihak yang memanfaatkan potensi desa setempat dapat dipungut secara legal dan tercatat dalam neraca Keuangan Desa.

❖ Memungut pajak berupa PPn dan PPh atas proyek yang dibiayai dari Keuangan Desa  namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak. Modus ini tergolong nekat, sebab dalam pemeriksaan oleh inspektorat ataupun BPKP pasti terjadi temuan.

❖ Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa. Modus yang ini sering terjadi di Desa misalnya dana hibah untuk kegiatan pemuda, kegiatan PKK dan pemberdayaan perempuan, dana darurat bencana dan lainnya. Untuk mengantisipasi modus seperti ini masarakat desa harus tahu alokasi pendanaan kegiatan yang bersumber dari Keuangan Desa dengan jelas dan pasti, baik dari sisi peruntukkannya maupun nilai nominalnya.

❖ Pengelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor. Modus yang dilakukan biasanya menciptakan toko ATK fiktif dengan jalan membuat dan mencetak nota toko, stempel toko yang mana sesungguhnya toko yang tertera dalam nota dan stempelnya itu tidak ada. Aparat desa melakukan pembelian ATK ke agen atau distributor dengan harga rendah kemudian menggelembungkan untuk mendapatkan selisih harga yang signifikan dengan membuat nota dan stempel sendiri. Ada juga modus yang lebih fatal adalah tidak melakukan belanja pengadaan ATK tetapi memanfaatkan sisa ATK tahun sebelumnya untuk kegiatan operasional namun membuat laporan pertanggungjawaban pengadaan ATK pada tahun anggaran berjalan. Dan item anggaran kegiatan tersebut dipergunakan untuk kepentingan pribadi.

❖ Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa. Modus seperti ini sering terjadi misalnya proyek ataupaun kegiatan yang telah dituangkan dalam dokumen Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) dilakukan pencairan dananya, proyek atau kegiatan itu tidak dilaksanakan dan dananya digunakan untuk keperluan aparat desa atau pihak lain. Kemudian mengumpulkan dokumentasi proyek atau kegiatan sejenis di tempat lain untuk dijadikan lampiran dalam rekayasa laporan pertanggungjawabannya. Pada kasus seperti ini cara sederhana untuk mencegah manipulasi dokumentasi laporan kegiatan adalah mensyaratkan setiap dokumentasi yang diambil harus memunculkan dan tercetak secara digital waktu (jam dan tanggal) pengambilan dokumentasi.

❖ Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajarannya. Banyak kasus terjadi perjalanan kepala desa ataupun jajarannya untuk keperluan yang tidak berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa tetapi diterbitkan SPPD yang pembiayaannya dibebankan pada Keuangan Desa.

❖ Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan lain yang bersifat pribadi namun tidak dikembalikan. Misalnya yang terjadi pada periode pemerintahan yang lalu ada oknum kepala desa di Halmahera Tengah yang tetap aktif menjalankan profesi sebagai kontraktor meskipun telah menjabat Kepala Desa. Dalam mengurus proyeknya sering meminjam darai anggaran dana.desa , namun tiba waktunya pinjaman tersebut tak dapat dikembalikan yang mengakibatkan persoalan dalam penyusunan laporang pertanggungjawabannya.

b. Faktor Terjadinya Korupsi Keuangan Desa

Kasus korupsi Keuangan Desa yang terjadi di Halmahera Tengah pada kurun waktu 2015-2019, sungguh memprihatinkan. Betapa tidak, mereka yang terjerat kasus ini semestinya menjadi panutan di masyarakat. Dari berbagai forum diskusi formal maupun obrolan lepas dengan tokoh masyarakat, pemuda, LSM, mahasiswa dan masyarakat desa umumnya, penulisan mengidentifakas beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya korupsi Keuangan Desa, antara lain:

❖ Moralitas yang rendah. Alokasi dana desa yang besar dikucurkan untuk dikelolah paratur desa membawa konsekwensi terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki integritas moral rendah. Kecurangan sering dilakukan oleh seorang aparatur desa atau beberapa orang aparatur desa untuk memperoleh keuntungan secara ilegal yang berakibat terjadinya tersendatnya program-program pembangunan yang merugikan masyarakat desa.

❖ Minimnya kapasitas aparatur desa pengelola Keuangan Desa. Kemampuan dan ketrampilan aparatur desa sebagai pelaksana kebijakan merupakan dasar dari penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang pengelolaan Keungan Desa. Beberapa kasus terjadinya ketidaksempurnaan laporan pertanggungjawaban Keuangan Desa disebabkan karena aparatur pengelola yang minim pemahaman, sehingga tak mampu mampu membuat dokumen laporan yang sinkron antara realisasi kegiatan dan pembiayaannya.

❖ Fungsi Pengawasan BPD yang lemah. BPD merupakan salah satu lembaga desa yang menjadi mitra pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Sebagai mitra pemerintah desa BPD menjalankan tiga fungsi, yaitu; legislasi, perwakilan dan pengawasan. Khusus dalam menjalankan fungsi pengawasan, BPD dapat melakukan pengawasan kinerja kepala desa, yang mana bila terdapat perbuatan melawan hukum atas pengelolaan Keuangan Desa maka BPD berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimliki. Di beberapa desa di Halmahera Tengah, terjadi kecenderungan BPD seolah-seolah lembaga yang berada di bawah kendali kepala desa sehingga lemah dalam menjalankan fungsinya. Kondisi seperti ini semakin membuka peluang terjadinya penyalahgunaan Keuangan Desa.

❖ Pengawasan masyarakat yang lemah. Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab terbuka pelung korupsi Keuangan Desa. Budaya feodalistik yang masih mengakar di kalangan masyarakat desa turut berpengaruh terhadap lemahnya pengawasan. Sering terjadi jika ada tokoh masyarakat dan warga yang kritis dalam melakukan pengawasan, maka dengan mudah dijadikan lawan atau “musuh” bersama oleh aparatur desa atau kelompok lainnya yang berseberangan dalam kepentingan politik. Akhirnya warga bersikap pesimis dan tidak aktif melakukan kontrol yang semestinya dilakukan. Sehingga penerapan Pasal 68 UU No.6 Tahun 2014 yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan perlu dilibatkan dalam pembangunan desa tidak berjalan maksimal.

Penutup

Berbagai upaya pencegahan korupsi Keuangan Desa perlu diupayakan oleh berbagai pihak. Warga desa harus diberikan pemahaman akan pentingnya pengawasan agar lebih proaktif terlibat mengawasi setiap tahapan pengelolaan Keungan Desa. Juga perlu adanya edukasi publik secara masif agar masyarakat memahami kewenangannya dalam pengawasan sesuai peraturan yang ada.  Termasuk peningkatan kapasitas kepada BPD atau lembaga pemberdayaan yang ada di desa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *