Paradoks Desentralisasi Sentral dan Kemandirian Fiskal
(Sebuah Telaah Empirik)
Dr. Abdul Chalid Ahmad, SE., MSi
(Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Unkhair)
Otonomi daerah (Otoda) dan desentralisasi fiskal bukanlah sebuah konsep atau kebijakan baru dalam implementasi pembangunan nasional. Terlahir pada momentum pasca reformasi 1998. Tepatnya setelah peralihan rezim orde baru ke rezim reformasi, atau pergseran paradigma sentralisasi ke desentralisasi pemerintahan. Kemudian diintroduksi melalui Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 terkait Otoda dan UU No. 25 tahun 1999 menyangkut desentralisasi fiskal.
Kedua UU ini kemudian mengalami perubahan, merespon kebutuhan dan dinamika pembangunan di daerah. Hampir telah berlangsung 23 tahunan, UU Otoda telah mengalami dua kali perubahan, kini menjadi UU No. 23 tahun 2014. Begitu juga desentralisasi fiskal. Sempat lama perubahan pertama mejadi UU No. 33 tahun 2004, kini telah menjadi UU No. 1 tahun 2022.
Secara implementatif perubahan UU tersebut belum compatible dengan hakikat atau spirit Otoda dan desentralisasi fiskal. Pengurangan kesenjangan pembangunan akibat ketimpangan fiskal dan kemandirian daerah adalah esensi dari spirit tersebut. Semula spirit ini dilatari isu-isu separatisme kedaerahan (Papua dan Aceh) sebagai salah satu trigger-nya. Ironinya, fenomena ketimpangan belum juga pupus hingga saat ini.
Belakang, mengemuka isu tentang ketidakadilan transfer fiskal (dana perimbangan) antar wilayah. Isu ini bergulir sejak tahun 2017 hingga 2020. Khususnya antar daerah kepulauan dan non kepulauan. Lokusnya pada penentuan alokasi DAU berbasis formula. Dianggap masih timpang. Komponen luas wilayah sebagai salah satu kriteria fiscal need-nya hanya berbasis continental. Mengabaikan luas wilayah laut yang menjadi sumberdaya primadona daerah-daerah berciri kepulauan. Demikian kriteria kekhususan DAK juga dipertanyakan. Kriterinya belum memberi ruang prioritas yang berarti bagi daerah-daerah berciri kepulauan. Adapun DBH, share-nya dianggap belum proporsional dengan kontribusi sektor kelautan pada perekonomian nasional.
Mencuat isu ketimpangan transfer fiskal berbasis wilayah kepulauan dan non kepulauan ini dipelopori 8 provinsi yang mengklaim diri sebagai provinsi kepulauan, termasuk Maluku Utara. Lahirlah gagasan tentang perlu adanya alokasi Dana Khusus Kepulauan (DKK) yang terakomodir dalam RUU Daerah Kepulauan (RUU-DK) tahun 2017. Tujuannya tercipta keadilan antar daerah kepulauan dan non kepulauan. Urgensi DKK tidak kalah penting dibanding Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua dan Aceh. Begitu juga Dana Keistimewaan untuk Yogyakarta. Namun sejak masuk Prolegnas 2019 hingga 2020, nasib RUU ini seakan menjadi tidak jelas menjadi UU.
Bila ditelisik, transformasi paradigma sentralisasi ke desentralisasi fiskal, nampak tidak sesederhana mewujudkan ekspektasi munculnya kemandirian daerah. Implikasinya bisa sebaliknya. Justeru makin menguat ketergantungan fiskal daerah ke pusat. Problem utamanya mungkin di tataran implementatif. Ataukah mungkin ada pergeseran spirit-padigmatik dari gagasan Otoda dan desentralisasi fiskal semula. Pastinya, indikasi sejumlah kemungkinan telah memunculkan pragmatisme-egosentris antar pusat dan daerah. Terutama pada berbagai kebijakan dan tak terkelola anggaran.
Paradigma dan Telaah Empirik
Esensi desentralisasi fiskal dilaksanakan didasarkan pada argumentasi bahwa pemerintah daerah lebih dekat dengan penduduk dan geografinya, serta memiliki pengetahuan terhadap pilihan dan kondisi biaya dari masing-masing wilayahnya. Pemerintah daerah lebih tahu tentang apa yang dibutuhkan masyarakat di daerah daripada pemerintah pusat (Oates, 1997). Selain itu posisi pemerintah daerah dipandang lebih baik dari pemerintah pusat dalam memberikan layanan publik bagi masyarakat di daerah (Tiebout, 1956).
Implementasi desentralisasi dalam tataran prakstis berbasis paradigma efficiency and equity. Pengelolaan sumberdaya publik yang dibiayai anggaran negara harus berdaya guna (efficiency) untuk kemandirian daerah dan kepentingan masyarakat. Sisi lainnya, eksistensi masyarakat harus diperlakukan sama dalam dimensi welfare dan equity. Paradigma ini mewujud pada terbentuknya good governance tata pemerintahan di daerah. Sasaran praktisnya, terreduksinya disparitas pembangunan antar wilayah yang notabene selalu menjadi classical problem pembangunan kewilayahan.
Antara paradigma dan etape perjalanan desentralisasi fiskal, nampak tidak selalu simetris. Tak jarang menghasilkan keragaman capaian. Song (2013) dalam kontek ini mengungkap fenomena di Cina. Terutama merujuk pada dua indikator: 1) authority power, kemampuan daerah mengelola dan memanfaatkan penerimaan transfer fiskal dari pusat; 2) autonomy power: kekuatan kemandirian fiskal daerah dari sumber penerimaan asli daerah (PAD). Indikator pertama ternyata tidak mereduksi ketimpangan fiskal antar wilayah. Berbeda dengan indikator kedua, sangat reduktif. Hal ini terkonfirmasi dari empirical case versi Liu et al. (2017) di negara yang sama. Demikian juga Sepulveda & Martinez-Vazquez (2011); lessmann (2009), serta Kessler & Lessmann (2010) dalam studi kasus di Rusia dan negara OECD.
Hal kontras diungkap Amusa & Mabugu (2016) dan Zakaria (2013). Terutama di Afrika Selatan dan di Indonesia. Desentralisasi fiskal di kedua Negara tidak berdampak mereduksi ketimpangan antar wilayah. Bahkan Nurgrahanto & Muhyiddin (2008) sebelumnya mengintrodusir efeknya justeru memperburuk ketimpangan regional. Namun, desentralisasi fiskal di sebagian besar negara-negara maju, berperan mereduksi ketimpangan antar wilayah. Kecuali di sebagian Eropa Timur dan Tengah (Makreshanka-Mladenov & Petrevski, 2019). Artinya, efektivitasnya masih bias dari sisi pemerataan pembangunan regional. Bahkan akan lebih krusial bila ditelisik dari perbedaan antar wilayah kepulauan dan non kepulauan.
Sebuah Paradox
Kontroversi desentralisasi fiskal dan kemandirian daerah di Indonesia begitu kasat mata. Terlihat dari share realisasi PAD dan dana transfer fiskal terhadap total pendapatan daerah seluruh kabupaten/kota. Selama periode 2016-2020 (www.bps.go.id) realisasi pendapatan daerah seluruh kabupaten/kota tahun 2016 sebesar Rp. 728,20 triliun. Angka ini meningkat menjadi Rp. 831,96 triliun di tahun 2020, atau naik 12,47%. Sementara sumber penerimaan dari PAD tahun 2016 tercatat Rp. 96,26 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp. 132,78 triliun di tahun 2020, atau naik 27,51%. Secara keseluruhan share PAD hanya 14,77% per tahun.
Dibanding dana transfer fiskal (DAK, DAH dan DBH), kontribusi PAD jauh lebih kecil terhadap total penerimaan daerah seluruh kabupaten/kota. Tahun 2016 total penerimaan transfer fiskal sebesar Rp. 513,34 triliun dan naik menjadi Rp. 529,50 triliun di tahun 2020. Peningkatannya 3,05%, dengan share mencapai 75,89% per tahun. Fenomena yang sama terlihat provinsi Maluku Utara. Ketergantungan fiskal sepuluh kabupaten kota di wilayah ini nampak sangat mencolok dalam lima tahun terakhir.
Hasil olahan data periode 2016-2020 (www.malut.bps.go.id) menungkap realisasi pendapatan daerah sepuluh kabupaten/kota tahun 2016 sebesar Rp. 8,09 triliun. Angka ini naik menjadi Rp. 8,45 triliun, atau meningkat 4,28% pada tahun 2020. Sementara penerimaan dari PAD hanya Rp. 305,51 milyar di tahun 2016. Kemudian tahun 2020 meningkat menjadi Rp. 517,34 milyar. Peningkatannya 43,10%, namun share pada pendapatan daerah hanya 5,60% per tahun. Jauh di bawah penerimaan dana transfer fiskal, dimana tahun 2016 sebesar Rp. 6,83 triliun dan Rp. 6,88 triliun pada tahun 2020. Meski hanya naik 0,67%, tapi share-nya 81,26% per tahun.
Deskripsi ini mengekspresikan potret ketergantungan fiskal daerah, baik nasional maupun lokal, khususnya di Maluku Utara. Mungkinkah realitasnya masih terus berjalan? Yang pasti efek ketergantungan ini terus berlanjut terhadap indikator ekonomi lainnya. Seperti efek DAK terhadap pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan beberapa indikator ekonomi lainnya yang belum memenuhi kondisi yang diinginkan (Wibowo et al., 2011). Meskipun DAU dan DAK infrastruktur jalan berpotensi menjadi trigger redistribusi ketimpangan regional (Wardana et al., 2013).
Penutup
Ketergantungan fiskal daerah tidak selalu diakibatkan karena ketidakmampuan daerah dari sisi fiskal. Tergantung perilaku dan kemampuan pemerintah daerah mengelola anggaran. Namun patut dikhawatirkan adanya “option” bahwa lebih mudah menikmati ketergantungan dibanding membangun kemandirian fiskal daerah. Artinya pemerintah daerah cenderungan mempertahankan transfer fiskal dari pusat ke daerah secara periodik karena terasa lebih simple daripada menciptakan terobosan kreatif-inovatif bagi kemandirian daerah. Shah (2006) mengkonstantir fenomena ini sebagai flypaper effects. Yang pasti, situasi ini menjadi paradox antara membangun kemandirian fiskal daerah, namun yang terjadi sebalikny?