Abdul Chalid Ahmad
(Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Unkhair)
Kutukan sumberdaya alam (natural resource cure) bukan sebuah istilah baru. Istilah ini telah menjadi sebuah terminologi dari fenomena parakdoksal antara kondisi keberlimpahan sumberdaya alam (SDA) dan minimnya efek manfaat (benefit effect) yang diterima. Terutama di negara-negara sedang dan kurang berkembang (NSKB)—yang notabene kaya SDA. Indikasinya terlihat dari rendahnya kemajuan ekonomi dan tinggginya tingkat kemiskinan di sebagian besar NSKB. Diskursus tentang hal ini telah mengemuka sejak dekade 1980-an. Kebanyakan ekonom dunia terlibat dalam sejumlah kontroversi argumentatif—antara menjustifikasi fenomena ini sebagai kondisi umum yang terjadi, atau sebaliknya.
Berbagai riset empiris lintas negara telah banyak dilakukan—untuk memastikan kebenaran antara dua kutub ekstrim perdebatan tersebut. Jauh sebelumnya, sebuah tesis dan riset awal yang mempolerkan istilah “kutukan SDA” sebagai diksi metafora dari ironi kerbelimpahan SDA vs Kemiskinan. Tesis ini dicetuskan oleh R.M Auty di tahun 1993—dengan bukunya bertitel.”Sustaining development in mineral economies: The resource curse thesis”. Kemudian disusul dengan publikasi empirisnya dalam jurnal Ecological Economics pada tahun 2007, berjudul “Natural resources, capital accumulation and the resource curse”. Namun dua peneliti lain, yaitu Sachs & Warner di tahun 1995 yang pertama kali secara empiris membuktikan fenomena ini. Keduanya mengungkap adanya pengaruh negatif antara ketergantungan SDA dan pertumbuhan ekonomi. Kemudian disusul sejumlah peneliti lain yang menghubungkannya dengan tingkat kemiskinan.
Berdasarkan tesisnya Auty di tahun 1993 dan beberapa fakta riset lain dari Karabegovic serta Hermela & Gregow pada tahun 2009 dan 2011, juga mengungkap secara empiris kasus di negara-negara Afrika dan Amerika Latin, yang juga berlimpah SDA. Mereka akhirnya menyimpulkan hal yang sama, bahwa negara-negara yang kaya SDA tidak mampu berkontribusi mendorong perekonomiannya. Akibat dari hal itu, pertumbuhan ekonomi berjalan sangat lambat dibanding negara-negara yang tidak unggul SDA. Bahkan kemiskinan pun jadi makin tinggi.
Temuan ini secara eksplisit seakan tidak bisa menganulir indikasi adanya fenomena kutukan SDA. Sebutan yang disematkan pada situasi paradoks keberlimpahan SDA (natural paradox of plenty). Lalu apakah fenomena ini juga berlaku di Indonesia sebagai negara yang juga kaya SDA? Mungkinkah juga terjadi di Maluku Utara? Salah satu provinsi dengan potensi SDA tambang emas dan nikel yang cukup besar? Tulisan ini mencoba menelisik problemaktika yang melatari argumentasi adanya fenomena tersebut.
Potret dan Agenda Global Kemiskinan
Dua agenda pembangunan global sebagai prakarsa PBB yang telah menempatan “kemiskinan” sebagai isu utama, yaitu Millennium Development Goals (MDGs) dan (Sustainable Development Goals (SDGs). MDGs menargetkan pengurangan “kemiskinan dan kelaparan” terhadap 189 negara (termasuk Indonesia), hingga separuh dari jumlah penduduk miskin di tahun 2005. Target ini telah berakhir di tahun 2015 lalu. Sedangkan SDGs sebagai agenda lanjutan MDGs pasca 2015 (kesepakatan 193 negara), menargetkan penurunan “kemiskian” (no poverty) hingga 0% pada tahun 2030.
Pencapaian 8 tujuan MDGs termasuk “kemiskinan” hingga tahun 2015 relatif bervariasi di berbagai negara. Sebagian dianggap gagal karena satu atau dua dari banyaknya target tidak terpenuhi dalam limit waktu tersebut. Sebaliknya, sebagian negara dianggap sukses, termasuk Indonesia. Spirit ini kemudian menjadikan pemerintah optimis menargetkan hingga tahun 2024 tingkat kemiskinan ekstrim di Indonesia akan diturunkan hingga 0%. Target ini sebagai follow-up dari SDGs targeting hingga tahun 2030.
Optimisme sekaligus ambisi pemerintah ini cukup beralasan, bila dicermati dari trend persentase penurunan kemiskinan sejak 2014-2018. Berbeda jika dilihat dari trend peningkatannya pada periode 2021 hingga sekarang. Hasil publikasi Susenas (BPS), sejak tahun 2014 tingkat kemiskinan berada di level 7,9%, kemudian menurun secara gradual hingga 3,7% di tahun 2019. Angka ini kemudian naik kembali mencapai level 4,0% pada 2021. Persentase penduduk miskin secara umum juga menampakkan jejak yang sama. Angkanya jauh lebih tinggi. Sejak tahun 2014 mencapai 11,25%, kemudian menurun gradual hingga 9,31% di tahun 2019, dan meningkat kembali hingga level 10,14% pada tahun 2021. Salah satu peyebabnya diduga sebagai efek pandemi COVID-19.
Dugaan ini seperti ini logis kalau dilihat dari perspektif dampak kemiskinan akibat efek struktural. Namun penyebab kemiskinan secara general bersifat multidimensi. Faktor natural, kultural, atau perbedaan geografis juga menjadi trigger yang tidak bisa dinafikan. Apalagi jika terjadi deviasi pengelolaan SDA yang kontrapoduktif dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal ini bisa memperparah tingkat kemiskinan. Claim ambisius pemerintah untuk menurunkan kemiskinan nasional hingga “zero persen” di tahun 2024 nampak bisa pupus. Meskipun melalui sejumlah program pengentasan kemiskinan yang anggap efektif. Limit waktu yang tersisa sangat pendek, hanya tinggal dua tahun. Sementara karakteristik kemiskinan antar daerah beragam, atau tidak identik penyebabnya.
Ekspektasi ini merujuk pada hasil simulasi TNP2K dan Badan Pembangunan Nasional (https://tirto.id/). Disimpulkan bahwa, masih perlu kolaborasi dan kerja extraordinary untuk menghapus kemiskinan ekstrem hingga zero persen di tahun 2024 nanti. Selain karena rata-rata angka kemiskinan ekstrem pada 2024 diperkirakan hanya berkisar antara 2,6 dan 3,1% (setara 7,2 – 8,6 juta jiwa), juga angkanya hanya dapat turun hingga 0,8%. Itu pun jika ada upaya percepatan dan intervensi pemerintah.
Paradoks Kemiskinan Daerah Tambang
Kutukan SDA merupakan sebuah fenomena paradoksal yang nyaris tidak bisa dinafikan secara faktual. Dua daerah penghasil sumberdaya tambang terkemuka di Indonesia, yakni Papua dan Papua Barat adalah provinsi yang termasuk dalam zona 7 provinsi berkategori miskin ekstrim. Lima provinsi lainnya adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Maluku dan NTT (https://nasional.sindonews.com/). Hasil perhitungan dari data BPS periode 2014-2021 juga memperkuat kenyataan itu. Rata-rata tingkat kemiskinan per tahun antar 34 provinsi menunjukkan kedua provinsi tambang ini menempati skor tertinggi, masing-masing 27,57% dan 23,46%. Angkanya jauh melebihi level kemiskinan rata-rata per tahun nasional.
Lalu bagaimana dengan Maluku Utara (Malut)? Meskipun termasuk salah satu provinsi penghasil tambang Emas dan Nikel cukup besar di Indonesia, ternyata tidak termasuk kategori zona kemiskinan ektrim. Hasil perhitungan sejak 2014-2021 (www.bps.go.id) provinsi ini menempati urutan ke-25, dengan rata-rata kemiskinan per tahun 6,67%. Namun distribusi tingkat kemiskinan pada skala lokal antar kabupaten/kota, dua kabupaten penghasil tambang Nikel terbesar—Halmahera Timur (Haltim) dan Halmahera Tengah (Halteng) ternyata menempati rekor kemiskinan tertinggi. Tingkat kemiskinan rata-rata per tahun keduanya mencapai level dua digit. Haltim di urutan pertama dengan tingkat kemiskinan rata-rata per tahun 15,23%, sedangkan Halteng mencapai 13,23% (https://malut.bps.go.id/). Angka ini melebihi tingkat kemiskinan provinsi Maluku Utara.
Antar Papua-Papua Barat dengan Haltim-Halteng menunjukkan kemiripan, jika ditelisik keunggulan SDA tambang yang dimiliki. Apakah kemiripan ini menandakan adanya paradoks keberlimpahan SDA tambang? Sebutan lain dari fenomena kutukan SDA yang secara potensial terjadi di dua provinsi dan dua kabupaten tersebut? Berbagai kajian empiris secara umum bisa memperkuat dugaan tersebut. Sebut saja penelitian di berbagai negara, seperti dilakukan Torvik pada tahun 2002; Pessoa pada tahun 2008; Zhan pada tahun 2011; dan Wang et al., pada tahun 2018, salah satunya telah mengungkap kemiripan dengan realitas ini. Khususnya di negara-negara yang berlimpah SDA, ternyata menghadapi tingkat kemiskinan yang lebih tinggi daripada negara yang minim SDA. Bahkan Komarulzaman & Alisjahbana pada tahun 2006 mengungkap hasil riset bahwa keberlimpahan sumber daya tambang mineral secara signifikan justeru memperburuk pertumbuhan ekonomi daerah di indonesia. Tentu saja hal ini akan membawa efek lanjutan pada peningkatan kemiskinan di daerah.
Temuan terbaru dari fenomena kutukan SDA juga diungkap dari penelitian Rahma dkk pada tahun 2021. Khsusunya di level 34 provinsi, termasuk Maluku Utara. Hasil riset ini memyimpulkan: 1) Ketergantungan yang besar terhadap SDA tambang, dalam nilai PDRB maupun DBH SDA tidak menjamin suatu daerah mampu menciptakan kinerja pembangunan berkelanjutan yang tinggi; 2) fenomena kutukan SDA lebih rentan terjadi pada provinsi dengan ketergantungan SDA tambang yang lebih besar; 3) provinsi penghasil minyak dan gas bumi mengalami fenomena kutukan SDA lebih besar dibandingkan hanya mengandalkan mineral dan batu bara; 4) provinsi yang tingkat keberlanjutan pembangunan lebih tinggi cenderungan lebih besar terhindar fenomena kutukan SDA.
Terkonfirmasikah kesimpulan ini dengan kabupaten Haltim-Halteng? Berbasis perhitungan nilai share sektor pertambangan terhadap PDRB dan analisis Location Quotien (LQ) (indiator keunggulan sektoral) periode 2017-2021 (https://malut.bps.go.id/), rata-rata share sektor pertambangan dan penggalian kabupaten Haltim sebesar 29,88% per tahun. Melebihi share sektor pertanian, 20,81%. Namun share industri pengolahan hanya 4,43% per tahun. Sedangkan, rata-rata share sektor pertambangan dan penggalian kabupaten Halteng hanya 17,56% per tahun, lebih rendah dari sektor pertanian, 19,46% per tahun. Namun share industri pengolahan mencapai 19,09% per tahun. Adapun di kabupaten Haltim sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor konstruksi merupakan sektor unggulan. Sedangkan Halteng yaitu: sektor pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; konstruksi; dan sektor administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib. Singkatnya, indikasi ketergantungan kedua kabupaten pada SDA pertambangan masih cukup tinggi.
Penutup
Empat kesimpulan tentang fenomena kutukan SDA di atas bisa mengkonfirmasi bahwa ketergantungan kedua kabupaten pada SDA pertambangan masih cukup tinggi. Potensi ketergantungan ini mengindikasi adanya fenomena kutukan SDA. Namun apakah kondisi ini bisa menjustifikasi sebagai biang utama tingginya tingkat kemiskinan di dua kabupaten tersebut? Hal ini tentu saja masih perlu pengkajian mendalam secara empiris. Yang pasti, penyebab dari fenomena kutukan SDA di negara-negara atau daerah-daerah yang kaya SDA telah terindikasi secara langsung berdampak pada tingginya tingkat kemiskinan. Hal ini telah banyak diungkap oleh sejumlah hasil riset empiris. Termasuk akibat dari fenomena ini pada tingginya tingkat kemiskinan berbagai daerah di Indonesia. Wallahu’alam bissawab.