Pemilu 2024: Malaise Partai Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Opini401 Dilihat

Pertengkaran terjadi antara kuda dan Rusa, jadi kuda mendatangi pemburu untuk meminta bantuan membalas dendam kepada Rusa. Pemburu setuju tapi berkata: “kalau kamu mau mengalahkan rusa, kamu harus memperbolehkan aku menaruh pelana di punggungmu supaya aku bisa duduk disana selagi kita mengejar musuh. Kuda setuju dengan permintaan itu, dan pemburu kemudian memasang kekang serta pelana. Lalu dengan bantuan pemburu, Kuda mengalahkan Rusa dan berkata pada Pemburu. Sekarang turunlah dan lepaskan benda-benda ini dari mulut dan punggungku. Jangan buru-buru kawan, kata Pemburu. Aku sekarang sudah mengendalikanmu dan lebih suka mempertahankanmu seperti sekarang”. (Dongeng Aesob: Persekutuan Penentu Nasib, How Democracies Die).

Tepat 10 April 2022, kita bersama mengetahui bahwa Presiden RI, Jokowidodo, telah menyampaikan Pemilu 2024 akan berlangsung pada 14 Februari 2024 dan tahapan Pemilu akan berjalan pada pertengahan Juni 2022 lalu. Sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 167 Ayat 6 Undang-Undang No.7/2017 Tentang Pemilu yang menyebut bahwa tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.

Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya, publik menaruh harapan yang besar terutama bagi Komisioner KPU dan BAWASLU 2022-2027 agar dapat bekerja, bersinergi secara professional dan berintegritas. Dalam proses ini, akan ada banyak tantangan, peluang dan hambatan dalam mewujudkan pemilu yang adil dan demokratis. Belajar dari pemilu sebelumnya yang menghebohkan jagat nasional bahkan internasional dan penting untuk digaris bawahi terutama tentang “kekerasan, politik identitas, kampanye hitam/black campaign, politik uang/money politic, serta kematian ratusan petugas KPPS”. Hal ini penting bagi Komisioner KPU dan BAWASLU untuk merumuskan bersama kebijakan penyelenggaraan pemilu dengan tetap melibatkan partisipasi publik.

Melalui edukasi publik yang baik, Pemilu 2024 diharapkan mampu menghasilkan tingkat partisipasi yang baik bagi suksesi agenda-agenda demokrasi. Sebab pesta demokrasi harus dimaknai secara luas dan tidak pada momentum pemilu semata, kebijakan dan keputusan Penyelenggara Pemilu sangat menentukan masa depan demokrasi Indonesia. Tiap-tiap kebijakan harus mampu menjawab problematika kebangsaan kita, terutama tentang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Menerobos dinding prosedural hingga menemukan subtansi yang paling tampak dari konstitusi.

Partai dan Sistem Kepartaian

Dasar-dasar kepartaian secara subtansi hampir bersamaan dengan keberadaan perkembangan hidup umat manusia. sebagai mahluk individu, hidup berkelompok adalah tabiat alamiah manusia seperti dipopulerkan oleh Aristoteles dengan istilah zoon politicon. Menurut Aristoteles, pengelompokan hidup manusia bermula dari persekutuan (partnership) dalam kehidupan rumah tangga, lalu berkembang menjadi perkampungan (small city) hingga dalam persekutuan politik yang lebih besar (negara).

Tahapan persektuan yang terus mengalami perkembangan, dari keluarga, suku, etnik, ras dan keyakinan serta identitas dan nilai kultural yang secara inheren melakat dan membentuk ikatan emosiomnal. Selanjutnya pada tingkat interaksi dan integrasi telah membentuk keberagaman nilai. Praktik pengelompokan tersebut dapat dimaknai sebagai (partai) yang menjadi bagian penting dalam bangunan demokrasi Yunani kuno.

Perkembangan kepartaian selanjutnya bergerak melintasi sekat-sekat sempit menuju persekutuan gagasan yang didasarkan pada kesamaan sudut pandang pemikiran dan kepentingan secara alamiah membentuk pengelompokan sekat nilai dan melembaga dalam bentuk idiologi serta menjadi identitas dan sikap politik melalui pengorganisasi ide secara permanen yang akan diperjuangkan dalam system politik.

Seymour Martin Lipset dan Steyn Rokkan (London and New York, 2005) melalui pendekatan sosiologi menguraikan dinamika keberadaan kelompok sosial sebagai dasar terbentuknya partai dan system kepartaian melalui konsep cleavage. Dimana keberadaan kelompok sosial dilatar belakangi oleh beragam nilai dan kepentingan dan nilai keyakinan yang dikontruksi oleh waktu dan tempat serta bersedimentasi dalam sejarah, budaya, kepentingan dan nilai keyakinan yang dianut manusia dalam kehidupan bersama. Seluruh proses tersebut tidak terlepas dari kemampuan pikiran manusia merekam dan mengasosiasikan waktu secara sistematis berbagai peristiwa yang berlangsung untuk selanjutnya melakukan rekontruksi dan usaha-usaha transformatif ke arah yang lebih bermatabat.

Konseptualisasi Pelembagaan Partai

Pelembagaan Partai merupakan salah satu dari sekian objek kajian para ahli politik dalam ihtiar penguatan derajat demokrasi. Sebab peningkatan dan perluasan partisipasi politik tanpa disertai dengan pelembagaan partai sangat beresiko bagi adanya instabilitas politik. Makna pelembagaan menurut “Samuel Huntington”, berakar dan bermuara pada upaya menemukan nilai baku dan stabil (nilai yang bersifat tetap diakui dan diterima) masyarakat sebagai patokan berbuat dan bertindak serta menjadi identitas dalam berhubungan dengan masyarakat lainnya. Sehingga penting untuk mencari dan menemukan nilai baku untuk diperjuangkan melalui wakil-wakil rakyat dalam pengambilan keputusan di pemerintahan.

Pada prinsipnya, penemuan nilai baku dimaksudkan sebagai dasar perekat (value infusion) untuk memperbesar dan memperluas dukungan sekaligus sebagai katalis aspirasi masyarakat dalam gerakan sadar bergerak pada usaha transformasi segmental ke arah harmonisasi dan integrasi. Sehingga penting pelembagaan partai benar-benar memerankan diri sebagai saluran yang mampu merepresentasikan berbagai kelompok sebagai masyarakat dalam satu nilai bersama (common value). Penting bagi partai pada setiap kontestasi agar dapat, adaptability, complexcity, autonomi, dan koherance.

Demokrasi dan Sistem Kepartaian Dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia

Perjalanan demokrasi dan system kepartaian dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sering mengalami ambiguitas antara stabilitas pada satu sisi dan demokrasi pada sisi lainnya. Multi partai yang tercipta akbiat liberalisasi politik demokrasi tidak jarang menyebabkan instabilitas pemerintahan. Hal tersebut tampak pada era presiden Soekarno yang ditandai dengan banyaknya kabinet yang berumur pendek sebelum masa jabatan berakhir. Untuk kepentingan stabilitas pemerintahan, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan UUD 1945 disertai dengan pembatasan jumlah partai politik. Hal yang sama dilakukan Presiden Soeharto hingga sukses mempertahankan kekuasaan hingga 32 Tahun.

Liberalisasi Partai Politik pasca Reformasi 1998 mendorong terbentuknya banyak partai politik. Menurut UUD 1945 sebelum amandemen system multi partai dibawah system pemerintahan menyebabkan pemerintahan sangat tidak stabil dimana sebelumnya pertanggungjawaban Presiden B.J Habibie ditolak, disusul pemberhentian Presiden Abdurahman Wahid dalam sidang istimewa MPR tahun 2001. Hal yang sama dialami presiden Soekarno dalam sidang istimewa MPRS Tahun 1967.

Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukan stabilitas pemerintahan tidak hanya terkait dengan system kepartaian, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari desain system pemerintahan dan system ketatanegaraan secara menyeluruh. Hal ini menunjukan bahwa system pelembagaan partai merupakan bagian dari sitem ketatanegaraan (constitional engineering).

Dialektika Keadilan Sosial “Narasi Yang Hilang Dalam Kontestasi”

Di era modern, dialektikan welfare state menurut sejarawan Robert Paxton, berkembang pada abad 19, dan bahkan oleh kaum fasis pada abad ke-20 dengan maksud untuk menarik simpati rakyat sambil menekan lawan-lawan politik secara otoriter. Di Jerman, ide ini dipraktikkan oleh perdana menteri (Konselir) Bicmark pada tahun 1880-an setelah leih dulu menutup 45 media pers dan mengesahkan undang-undang yang melarang partai sosialis Jerman dan pelbagai forum pertemuan sarikat buruh. Hal yang sama dilakukan oleh Count Edward von Taaffe di Imperium Austro-Hungarian beberapa tahun kemudian. Yang pasti, Negara-negara dictator kanan di Eropa modern abad ke 20, baik yang fasis maupun otoritarian, semuanya adalah Negara kesejahteraan. Semua menyediakan dana-dana bantuan kesehatan, santunana hari tua, perumahan yang layak dan transportasi massal sebagai kebijakan utama untuk menjaga produktivitas, persatuan nasional dan kedamaian social.

Sementara itu, kelompok Marxist di Negara-negara Eropa Kontinental semuanya menentang penerapan kebijakan-kebijakan kesejahteraan yang dinilai bersifat “fiecemeal” atau sepenggal-sepenggal ini dengan maksud mengendalikan militansi rakyat dan kaum buruh, tetapi mengabaikan pentingnya perubahan yang fundamental mengenai retribusi kekayaan oleh kekuasaan. Kritik nyang paling keras datang dari Karl Marx, dalam naskah pidatonya di depan Komite Sentral Liga Komunis yang ia tulis sesudah kegelapan revolusi 1848, ia memperingankan bahwa ukuran yang diapakai untuk menaikan upah buruh, perbaikan kondisi kerja, dan penyediaan asuransi sosial tidak lebih daripada suap yang hanya untuk sementara waktu saja mengatasi keadaan kelas-kelas pekerja. Akan tetapi, dalam jangka panjang hal itu akan memperlemah kesadaran revolusioner yang justru sangat dibutuhkan untuk mencapai cita-cita ekonomi sosialis. Alhasil, sesudah abad ke-20, muncul larangan terhadap Marxisme di Jerman Barat pada tahun 1959, dan Negara Eropa Barat lainnya. Partai sosialis dan serikat buruh di Negara-negara Eropa Barat juga mulai menerima ide-ide Negara kesejahteraan secara penuh sebagai tujuan utamanya masing-masing.

Di Inggris, sesudah eranya Benjamin Disraeli, fondasi gerakan welfare state dapat dikatakan dimulai oleh partai liberal dibawah Pemerintahan Perdana Menteri H. H. Asquith dan David Liold George, kaum liberal kaum liberal inggris sangat mendukung ide ekonomi kapitalis yang selama abad ke-19 sangat mengutamakan ide pasar bebas dan perdagangan bebas. Namun, sejak awal abad ke-20, mereka mulai bergeser dari paham laissez faire economic dan mulai menunjukan pemihakan pada ide legislasi sosial yang lebih proaktif untuk memastikan kesempatan yang sama bagi semua warga Negara.

Parpol dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Demokrasi yang telah kita terima bersama ini, dalam perjalanan sejarah telah mengalami berbagai macam varian pemikiran, baik dari aspek subtansi maupun aspek pelembagaannya. Kedua aspek tersebut telah membentuk sudut pandang yang diametral dan ambigu namun masing-masing tetap mengklaim diri demokrasi. Pada umumnya, aspek perdebatan yang paling subtansi terfokus pada dasar pembentukan negara serta dasar penyelenggaraan pemerintahan, sebab aspek-aspek tersebut berkaitan dengan problem legitimasi dan otoritas pemerintahan negara untuk mengatur dan mengintervensi kehidupan rakyat disatu sisi, serta hak dan kewajiban rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan pada sisi yang lainnya.

Konsepsi demokrasi sebagai aktualisasi kehendak bersama (common desire) yang direpresentasikan oleh negara harus disadari oleh rakyat dalam dalam segala aktivitasnya agar sejalan dengan konsepsi negara demi kepentingan bersama (common good) sebab, rakyat yang tidak memiliki kesadaran politik, akan hilang padanya tanggung jawab bernegara. Demikian sebaliknya Negara dalam mengaktualisasikan konsepsi demokrasi harus sejalan dengan kehendak rakyat.

Kesadaran politik tidak mungkin datang dengan sendirinya pada rakyat tanpa didahului oleh proses edukasi yang sepenuhnya diarahkan pada kepentingan kolektif. Dimana antara Negara dan warga negara memiliki tanggung jawab yang sama, pemerintah yang memiliki kuasa untuk mempermudah jalannya edukasi politik dapat membentuk dan menggerakan institusi public demi terwujudnya kesadaran umum. Jika dalam suatu masyarakat telah ada tanggung jawab bernegara maka akan mudah bagi negara untuk dapat bergerak maju.

Penulis adalah M. Tahir Wailissa, Direktur, Center of Democracy Studies (CDS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *