Membaca PemiLu Dalam Diskursus Thomas Hobbes

Opini333 Dilihat

Pemilihan umum merupakan sebuah konsekuensi logis dalam kehidupan bernegara serta tatanan berdemokrasi, ini merupakan sarana untuk mentransisikan dan mengalihkan kepemimpinan yang lama (Old Regime) menuju kepada kepemimpinan yang baru (The New Regime).

Ini Sekaligus menghambat dan mencegah agar kekuasaan tidak tersentralisasi absolut (mutlak) pada pemimpin sebelumnya. Namun eksistensi pemilu sudah barang tentu mengupayakan peran partisipatif Masyarakat sebagai dasar, turut andil demi kredibelitas demokrasi dan kemashlahatan nasib bangsa di masa-masa yang akan datang.

Narasi-narasi dan deskripsi tersebut acapkali disuguhkan dan diwejangkan kepada Masyarakat melalui agenda sosialiasasi hingga kanal visualisasi (periklanan, social media, hingga acara-acara di televisi),

namun hal tersebut justru berkontradiksi dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat pemilu, sebab Masyarakat berhasil dicacah serta dikotak-kotakkan dalam pilihan kandidat masing-masing hingga peluang untuk berkonfrontasi semakin terbuka lebar.

Konfrontasi dan kritik oto kritik memang lah diperlukan tetapi jikalau hal tersebut berlangsung pada ranah gagasan, memverifikasi dan validasi kerangka-kerangka pengetahuan para pelakon politik dan para pemuja sejagat rayanya,

Tetapi justru yang sering berseliweran dan tumpah-ruah ialah polemik konfrontasi fisik, sehingga potret dehumanisasi hendak melunjak tinggi dan menyulut eskalasi konflik horizontal di dalam keadaan Masyarakat yang sedang terpolarisasi (terbelah) secara sikap politik.

Mungkin kita baiknya, menyelami serta mengeksplorasi kembali pada periode glorius revolution, sebab ada kilas balik yang mirip antara pemilu saat ini dan potret pengambilan kekuasaan di era tersebut,

bagian yang sama ialah masifnya dan terorganisirnya potensial tindakan konfontasi fisik (dehumanisasi). Sehingga kemudian terminologi yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes filsuf di era tersebut, memang lah cukup tergambar jelas bahwasannya ini ialah “Beneium Contra Omnest” atau perang semua melawan semua.

Dan pemilu kali ini pun demikian ialah “Benium Contra Omnest” atau perang semua melawan semua. Sehingga pergolakan tindakan konfrontasi fisik begitu terakumulasi dan massif.

Pengerahan rangkaian strategi dan taktik dalam perebutan kekuasaan kali ini pun cerminanya, eksistensi Masyarakat serta kalangan intelektual kita hendak kini bagaikan dalam keadaan yang digambarkan oleh, Thomas Hobbes “State Of Nature” atau keadaan alamiah,

Dimana hukum rimba cukup berperan penting “yang kuat yang akan menang dan bertahan”, situasi kali ini cukup menggambarkan bahwa (Yang kuat oligarki-nya serta pengerahan konfrontasi fisiknya yang Akan menang di dalam pergulatan pemilu).

Tentu gambaran di atas demikian seperti sangat persis telah dideskripsikan oleh Erving Goffman : Bahwa selalu ada In front stage (Pemain Depan) dan Back stage (Pemain Belakang). Berangkat dari Hipotesa tersebut maka, Panorama Pemilu kali ini pun justru para kandidat Selaku, In Front stage (Pemain Depan) dan para oligarki selaku (Back Stage). Sehingga Eksistensi Pemilu nanti di gelar pada 14 Februari 2024 Syarat Dengan Korporatokrasi.

Pemilu ini bagian dari peperangan Kekuasaan, Benium Contra Omnes (Perang semua melawan Semua) yang implokasi Outputnya untuk surplus Value Oligarki dan Kapitalistik. Sudah saatnya rakyat membangun kekuatan Politik alternatif yang revolusioner serta progres agar rakyat tidak mnjdi umpan berkonfrontasi demi kepentingan Oligarki, Kapitalistik.

Penulis : Riski Tarabubun
(Selaku Reporter Posttimur.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *