Apa yang terjadi, seperti apa dan bagaimana compang-campingnya kenyataan-kenyataan yang hidup itu.? Mau kah kita menengok pergolakan-pergolakan yang terjadi di dalam lingkungan-lingkungan sendiri.? Dan mengapa kemanusiaan itu masih terus tega dilukai.?
Itulah pergolakannya yang hidup dalam realita, menjadi titik terjangku, betapa kuat menggugat diri saya untuk segera menulis di sini. Sekedar mengabarkan apa yang benar-benar terjadi dengan bahasa yang semoga saja tidak sulit dipahami. Suatu kejadian-kejadian yang sesungguhnya mendidik diri kita semua untuk memahami segala geraknya dan bertingkah lebih manusiawi, lalu mengajak agar kiranya kita keras meneriaki segala sikap yang mencurangi dan tega membuat luka pada kemanusiaan.!
Sungguh, bila kita menekuni arusnya kenyataan-kenyataan yang hidup dalam lingkungan-lingkungan sendiri, pastilah dapat mengatakan, bahwa sudah semakin banyak yang terbaca pada hari ini, peristiwa-peristiwa yang datang dan pergi begitu cepat berlalu dan berganti-ganti. Seperti petir yang menyambar tak kasat mata. Hingga kadang membuat kita lupa pada apa yang semestinya dikehendaki untuk segera dikerjakan. Sering kali pula membuat terlena dan tak benar-benar cerdik menangkap sebab akibat dari bunyi dan pancawarna-nya di dalam lingkungan-lingkungan tersebut, realita yang paling luas, kenyataan-kenyataan terbanyak itu yang hidup di hadapan wajah, bahkan sangat menyinggung kemanusiaan. Bahwa kecurangan, kemunafikan, kebohongan dan pembodohan – terus diulang-ulangi, betapa mempermainkan dan menginjak-injak harkat dan martabat kita sebagai manusia.
Apa sebab akibatnya.? Inilah yang harus dicatat oleh kita semua yang terdidik sebagai terpelajar yang baik, berusaha menjadi arif dan budiman.
Pada kota kecil yang kita tempati. Ternate, tidak lebih buruk dari kota-kota besar, namun bukan berarti di sini lebih baik daripada tempat-tempat lainnya. Di kota mana pun bagiku semua sama saja; menyimpan banyak rentetan keculasan yang mengakibatkan malapetaka kemiskinan dan kehancuran, kekerasan dan ketidakmanusiawian. Kenyataannya, segala moral, budaya dan politik telah dikuasai oleh kekuasaan yang korup, bahkan disetiap langkah kaki, dari sudut-sudutnya sudah diblokade oleh mereka, manusia-manusia iblis yang haus pujian, miskin prestasi dan gila hormat. Namun bagi siapa yang tak pandai membaca kenyataannya, maka dia akan ditenggelamkan ke dalam lingkaran meraka, dan pasti dibuat terpesona oleh moral dan budaya korup yang begitu hina, yang dibungkus oleh kemewahan, ketenaran, kenikmatan sesaat dan kehormatan sementara tetapi amat menjijikan. Itulah moral-moral tengik mereka yang berada di dalam gedung kolonial bangsa ini, tempat manusia-manusia berkepala botak mengkilap yang dangkal dan miskin nurani itu.
Ya, semuanya telah terbaca di hari ini: apa yang kita sebut “neoliberalisme” ia bermain begitu hebat dan ganas, hingga mencengkeram, mengoyak dan mencabik-cabik diri, jiwa dan raga kita, sampai menjadi lapuk dan layu. Semacam habis diperkosa beruntun, berganti-ganti, dan berdarah-darah.
Begitulah yang terjadi, bahwa kau, saya, atau siapa pun yang hidup di dalam lingkungan-lingkungan kita sendiri – harus mau berbaik hati dan berani mengerti kenyataan-kenyataan ini; mengapa makin hari semakin banyak generasi tak bisa punya hak menikmati bangku pendidikan dan menggapai keindahan impiannya – hanya karena orang tuanya tidak sanggup membayar uang kuliah tunggal (UKT).? Mengapa ibu saya seorang buruh – yang menjadi tenaga pendidik di SDN MANUNUTU, – hasil keringatnya tak sampai seminggu habis dipakai membayar air bersih, listrik, membeli odol, sabun mandi, sekat gigi, beras, minyak goreng, minyak tanah dan melunasi hutang.? Mengapa setiap hari orang-orang menendang langkah, keluar dari rumahnya pada gelap gulita diwaktu subuh, mereka yang rajin berangkat bekerja menarik ojek, angkot, dan berdagang di pasar tetapi tidak kaya-kaya.? Sementara harga BBM makin mahal. Lalu barang-barang tidak murah, ikut naik dan menjeritkan alam bawah sadar kita semua. Kemudian bagaimana dengan orang-orang sakit yang tidak bisa ke rumah sakit atau ke Dokter hanya karena tidak memiliki uang.? Apakah membiarkannya menderita dalam jeritan kesakitan menanggung beban penyakitnya begitu saja – hingga pasrah menanti dijemput ajalnya.? Akh, yang benar saja.!
Itulah yang dimaksudkan dari sebuah kata “neoliberalisme”, kata yang memaksa orang-orang untuk tidak ada pilihan lain kecuali terus bekerja keras tanpa henti walau pun mendapatkan upah rendah. Sebuah kata yang memiliki makna, penindasan gaya baru, tetapi mampu membius orang-orang untuk tidak mengerti kekejiannya, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Sehingga lebih dari sikap tak beradab itu membikin kita segera tunduk dan mengikuti sistemnya agar segera ke jalan durjana yang sesat.
Pada titik ini, sadar atau tidak, terima atau nggak, semacam itulah kenyataan yang benar-benar hidup, subur di dalam lingkungan-lingkungan kita. Dan sekali lagi, apa sebab akibatnya.? Silahkan kita tanyakanlah problematik tersebut kepada elit kekuasaan; bahwa siapa kah yang begitu tega hati melahirkan kekejaman seperti itu, hingga masuk ke dalam rumah-rumah kita, sampai menembusi tembok-tembok dapur dan mengusik jiwa dan mencengkeram raga.?
Di sisi lain, realita pun tak kalah hebat mengilhami materi dan pengetahuan, betapa terang ia menjelaskan segala gerak dari tiap derak deriknya waktu, pergantian hari dan bulan. Kita pun sama-sama telah menyaksikan bagaimana hidupnya kenyataan-kenyataan di hari-hari yang lewat, beberapa pekan yang lalu, apa yang dinamakan “pemilihan umum”, kampanye-kampanyenya betapa galak. Pada tegaknya ribuan sepanduk-sepanduk dengan pesona foto yang apik, disamping itu juga menjulang kibaran warna-warni bendera-benderannya, para elit partai-partai politik berkali-kali mencoba mencuri suara kita dengan rayuan kata-kata yang manis-manis dan indah, bahkan praksis berjoget-joget riang menebarkan senyuman yang aduhai. Namun sikap dan kata-kata mereka tidak lebih dari sebuah dongeng-dongeng kesejahteraan dan keadilan sosial. Dan kita tidak bisa dibodohi lagi, karena saat ini semua sudah nampak. Apa-lah arti kata “perubahan” di panggung-panggung kampanye elit politik itu kalau orang-orang mempertahankan tanahnya dan memperjuangkan lingkungan malah ditangkap, diinterogasi, dituduh dan dipenjarakan.? Dan jika tanah-tanah petani terus dirampas, kemudian diusir dari pemukimannya sendiri, dan laut hingga air sungai tak henti dicemari limbah industri yang mengakibatkan hancurnya lingkungan, sehingga akibat dari itu membuat generasi tak lagi bisa menikmati bangku sekolah dan menggapai keindahan mimpi-mimpinya, lalu apa artinya “minuman susu dan makanan bergizi yang gratis” yang ada pada joget-jogetan dan di dalam dongengan mulut elit-elit partai politik tersebut.?
Jelas-lah sudah hari ini benar-benar telah terbaca begitu tajam dan kejam, betapa ganas dan menyeramkan. Bahwa kebohongan dan pembodohan masih terus diulang-ulangi oleh manusia-manusia iblis yang berkuasa, manusia-manusia yang durjana, manusia haram jadah sejarah. Dan kini, di seberang jalanan sana, ada kenyataan lainnya juga keras mengatakan, bahwa orang yang diduga membunuh aktivis 1998, seorang Jenderal yang kejam karena menculik dan menembak para mahasiswa dan Rakyat yang memperjuangkan demokrasi pada 25 tahun silam seperti Wiji Thukul, Herman, Sigit, Wawan, Ucok dan lain-lain, kini malah menjadi calon Presiden bangsa kita. Prabowo yang dituduh menculik dan membunuh aktivis, sebagaimana yang setia, tak menyerah dan tidak pernah bosan dikoar-koarkan oleh Aksi Kamisan di depan istana negara, gedung-gedung kolonial, malah ia senang berjoget-joget, tetapi tak ada ahli-ahli hukum, termaksud akademisi-akademisi yang tinggi-tinggi gelar kesarjanaannya dan siapapun yang tersinggung kemanusiaannya – hanya diam saja, tak ada yang berani menggugat di pengadilan dan memenjarakan dia, sang penculik dan pembunuh yang ingin menjadi Presiden itu.
Bukan main menakutkan dan mengerikan hiruk pekuk kenyataan-kenyataan tersebut. Karena-nya, tak salah bila kita pandai dan cerdik membaca, sehingga dapat mengatakan sekali lagi bahwa telah terang benderang-lah semuanya sudah terbaca di hari ini. Tidak ada yang tersembunyi atau disembunyikan lagi.
Maka dengan demikian, saya ingin mengakhiri tulisan yang lompat-lompatan dan sok-sok panjang ini dengan seruan: DUHAI PARA DPR, DPRD, DPR-RI, WALIKOTA, BUPATI, LURAH, KEPALA DESA, HAKIM-HAKIM, JAKSA-JAKSA, MPR DAN PRESIDEN, MARI JALANKANLAH UUD 1945 SEBAIK-BAIKNYA DAN SEHORMAT-HORMATNYA, ADIL SEJAK DI DALAM PIKIRAN, HATI DAN TINDAKAN NYATA.! AGAR KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL ITU ADA DI DEPAN MATA KAMI..! SUPAYA LINGKUNGAN-LINGKUNGAN KITA, KENYATAAN-KENYATAAN MENJADI BERADAB DAN LEBIH MANUSIAWI !
Ternate, 18 Februari, 2024.
Penulis : Lentera Merah