Oleh : Asyudin La Masiha
“Peristiwa sejarah bukanlah takdir yang tak bisa dielakkan ia hanya sulit untuk diprediksi pada hasil akhirnya”
(D.Acemoglu dan James D. Robinson)
Mengawali tulisan ini, “selamat” adalah sepenggal kata yang patut diucapkan. Berkat rahmat Allah SWT dan dengan didorong oleh keinginan luhur, 79 tahun sudah Bangsa ini merdeka dari kolonialisasi bangsa asing, kaum imprealis. Jika diistilahkan dalam pengertian biologis, maka sudah cukup tua bangsa ini. Namun apabila direfleksikan kembali fenomena sepaska kemerdekaan semenjak diproklamirkan, rasa-rasanya sungkan untuk membenarkan kejesahteraan, keadilan dan kemakmuran dirasakan oleh rakyat.
Tak sedikit buku yang mengulas tentang bagaimana Indonesia mencapai kemerdekaannya. kondisi keterjajahan mulai memuncak pada abad ke-20, terlebih diberlakukanya kebijakan pilitik etis oleh pemerintah Hindia Belanda, terutama pada program edukasinya. Yang kalaupun ditelisik lebih jauh, rupanya kebijakan tersebut dimaksudkan semata kepentingan dan keuntungan demi keberlanjutan kolonialisasi. Namun rupanya para Founding Father melihat itu dengan cara yang lain dan memaksimalkan kondisi tersebut sebagai peluang untuk melakukan konsolidasi kesadaran juga mengkampanyekan ide tentang kemerdekaan. Dekade abad ke-20 adalah momentum pergolakan yang lebih dikenal dengan Kebangkitan Gerakan Nasional, sebuah ihktiar menemukan identitas kebangsaan-menjadi Indonesia yang menemukan momentnya pada Kongres Pemuda II tahun 1928 lewat dibacakannya Naskah Sumpah Pemuda. Tak salah untuk mengatakan abad ke-20 adalah masa-masa yang menegangkan dalam sejarah bangsa ini, terutama dalam kurung waktu 1908 hingga 1945 di mana terjadi silang pikiran dan percekcokan ideologi yang menuai hasil kemerdekaan. Namun harus diakui tidak seketika menjadikan tercerabutnya akar kolonial, upaya-upaya penjajahan kembali masih dilakukan hingga tahun 1950.
Tulisan ini tak bermaksud mengiring pembaca dalam romatisisme historis dari kemerdekaan, tak pula untuk mengkalisifkasi dan membangun demarkasi dari setiap golongan yang memprakarasai kemerdekaan apakah revolusioner atau non rovolusioner, moderat atau radikal juga golongan tua ataukah golongan muda. Tidak juga pada perbedaan ideologi ataupun apakah kemerdekaan diperoleh dengan ‘jalan politik’ atau perjuangan yang menghendaki dengan ‘kekuatan sendiri’, melainkan hanyalah sebuah refkleksi.
Sering kali kita menemukan dalam literatur sejarah yang mengukir kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia, akan tetapi selalu disertakan fenomena-fenomena yang cukup mengerut dahi dari alasan bagaimana idealnya kemerdekaan tak kunjung terwujud. Diantara banyak faktor, kehilangan kesadaran terhadap sejarah dari perjalanan bangsanya sendiri adalah salah satunya, identitas kebangsaannya seakan tercerabut dari akar sejarah. Alangkah mirisnya apabila fenomena tersebut terjadi pada Indonesia, kehilangan identitas kebangsaannya. Mungkin itulah alasan dari “Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah)” sebagaimana ungkapan Ir. Soekarno, yang seakan menegaskan betapa pentingnya memahami sejarah. Tentunya pernyataan tersebut bukanlah tanpa maksud, penulis memahaminya sebagai sebuah penegasan akan pentingnya sejarah dalam menemukan kesadaran dari perjalanan suatu bangsa, khususnya bagaimana menemukan identitas kebangsaan. Memang bukanlah persoalan yang mudah dalam mencari bahkan merumuskan identitas bangsa, apalagi pada emosional antargenerasi yang terlampau jauh dari peristiwa historis bangsanya.
Sejarah dari suatu bangsa tak bisa dilepaspisahkan dari pembicaraan konteks generasinya, terutama dalam pengertian sosiologi dan pilitik-nya. Olehnya itu penting kiranya memahami bagaimana kemerdekaan dalam konteks peran generasi. “Setiap masa ada orangnya, setiap orang punya masanya” adalah pepetah yang cukup familiar didengar. Adegium demikian seakan menjelaskan bahwa prinsipnya pada suatu zaman akan selalu berbeda dari zaman sebelum dan sesudahnya. Akan selalu terjadi perubahan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah ‘perilaku masyarakat’ yang hidup pada masa itu. Tak salah jika dikata bahwa kepastian dalam ruang dan waktu (Space and time) adalah perubahan, dan masyarakat sebagai entitas manusia yang menyejarah pada hakikatnya akan selalu mengalami perubahan atau dalam bahasa Heraclitos, nothing endures but change.
79 tahun sudah kemerdekaan ini mencapai umurnya, namun seakan gelombang masalah selalu datang dan menggulung bangsa ini. Dikata tegak berdiri, namun berjalan tertatih, mengharapakan menjadi negara yang kuat dari 79 tahun kemerdekaanya namun nyatanya keropos. Bercita-cita mencapai kesetaraan dan kesejahteraan, namun kenyataan menampar berkali-kali impian itu. Yang kaya makin kaya, yang miskin seakan tak tertolong hidupnya. Penguasa semakin meraja, sementara rakyat makin menderita, demikian P.S. Simbolon menulis. Banyak masalah yang dihadapi sepaska bangsa ini memproklamirkan kemerdekaanya, dan itu harus diakui oleh generasi sekarang. Diantaranya adalah bagaimana mewujudkan cita-cita kemerdekaan dalam upaya tercapainya keadilan sosial sebagaimana diabadikan sila ke-5 dalam Pancasila. Selain itu, Indonesia diperhadapkan dengan masalah lain seperti konflik kekuasaan dengan masyarakat, konflik linkungan, korupsi yang membudaya, bahkan rentetan kasus HAM yang tak kunjung selesai. Yang lebih mengerikan lagi adalah konflik kepentingan sesama elit dalam pusaran kekuasaan yang sudah menjadi rahasia umum.
Belum lagi Indonesia diperhadapkan dengan tantangan globalisasi sebagai perwujudan dari imprealisme modern yang beridentitas kapitalis dengan semangat ekonomi dan pasar globalnya, seakan menggambarkan bahwa Indonesia berada dalam titik ekstrim yang membahayakan. Mungkin kondisi ini adalah gejala zaman abad 21 dimana terjadi transformasi besar-besaran dalam kehidupan manusia yang diakibatkan oleh dampak ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor pengerak menuju idustrialisasi dengan karakter masyarakatnya adalah konsumerisme yang jelas-jelas individualistik. Namun bekan berarti penulis memvonis pengetahuan dan puncak perkembangan teknologi sebagai malapeta umat manusia.
Selain itu, diperhadapkan juga dengan isu global diantaranya adalah bonus demografi sebagaimana Samuel P.Huntintong dan para tokoh lain memprediksi. Indonesia sebagai warga global menjadi bangsa yang mengilhami lewat menjadikannya sebagai salah satu isu strategis dalam wacana dan proteksi Indonesia Emas dalam 100 tahun kemerdekaan. Sebagaimana diketahui, bonus demografi sangat erat kaitannya dengan wacana kaum muda, nilai produktifitas. Ada hal yang menarik perhatian penulis, yakni konsumerisme yang marak dikalangan kaum muda. Dalam pandangan Conca, konsumerisme merupakan paradigma baru masyarakat modern yang memiliki keterkaitan erat dengan perkembangan ekonomi global. Atau dalam pandangan Bakhtiar, konsumerisme telah menjadi budaya abad 21 yang terus meningkat bahkan pada level yang radikal, di mana keberadaannya bersamaan dengan penggunaan teknologi dalam masyarakat.
Yang ngeri dan menakutkan serta menjadi hal berbahaya adalah perilaku konsumtif bagi pemuda, yang sangat erat dan kental dengan sikap gensi. Menjadikan brend dan trend dari apa yang di konsumsi sebagai tanda derajat sosial. Tentunya sebagai budaya global, tak terkecuali di Indonesia perilaku konsumtif terus menguat dan meningkat pada level kalangan mudanya. Sebagai budaya global, seakan tak terbendung oleh siapa dan apapun perilaku konsumtif ini, dan bagaimana kiranya Indonesia? Menghadapi bonus demografi dengan kondisi pemuda yang berkecenderungan konsumtif, mungkinkah menjadi Emas atau cemas lalu lemas karena menjadi komunitas yang dikemas dalam pasar yang ganas. Semua fenomena itu dapat menjadi barometer untuk mengukur 79 tahun kemerdekaan, apakah dalam perubahan kita bergerak maju, atau justru sebaliknya. Teringat penulis akan tulisan dari D.Acemoglu dan James D. Robinson dalam bukunya yang mengsyaratkan pertanyaan; Mengapa Negara Gagal; Awal Mula kekuasaan, kemakmuran dan Kemiskinan. kedua penulis mengemukakan bahwa yang menjadikan negara gagal bukanlah faktor budaya, letak geografis dan juga perbedaan iklim serta bukan karena faktor kebodohan melainkan faktor institusi politik-ekonominya.
Komaruddin Hidayat dalam memberikan pengantar dalam buku tersebut, mengemukakan bahwa; “institusi politik-ekonomi suatu negaralah yang menjadi penentu. Negara yang institusi politik-ekonominya bersifat inklusif, cenderung berpotensi menjadi negara kaya. Sementara negara yang institusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu waktu saja untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan mengarah menjadi negara gagal”. Walaupun kedua penulis dalam penjelasannya bermaksud mengurai alasan-alasan kenapa masih ada kesenjangan antara negara yang kaya dan miskin atapun negara yang makmur dan negara melarat dalam situasi ekonomi dan pasar global, namun kiranya uraian kedua penulis tersebut bisa dijadikan sebagai pendekatan untuk mengevasluasi 79 tahun kemerdekasan Indonesia.
Jika dalam perenungan kemerdekaan tahun ini mendapati kondisi Indonesia yang tak banyak berubah bahkan menggambarkan situasi yang lebih buruk, mungkin kita membutuhkan langkah-langkah tegas yang bersifat pembaharuan dengan ijtihad penuh yang tidak semata kepentingan golongan. Yang kiranya dapat menjadi modal untuk mengubah negara ini menjadi negara yang hebat, negara yang mendapati kesejahteraan dirasakan oleh rakyatnya, negara yang tidak lagi bercokol institusi dan pejabat korup serta negara yang mengenal identitas kebangsaanya. Meminjam bahasanya HM. Nasaruddin Anshoriy Ch, sudah sepatutnya bangsa ini untuk merenungkan kembali subtansi kemerdekaan dengan menjadikan nilai-nilai kearifan sebagai basis utama dalam menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara, menggali kembali untuk menemukan kesadaran sejarah tanpa melepas kontektualisasinya.
Dalam refleksi kemerdekaan di tahun ini, beberapa hal ingin disampaikan oleh penulis sebagai titik fokus; Pertama sebagaimana D.Acemoglu dan James D. Robinson, kita perlu melakukan transformasi radikal dalam poilitik dan ekonomi terutama dalam menciptakan institusi negara yang inklusif bukan yang ekstraktif. Walaupun di sadari penuh bahwa politik selalu melekat dengan kekuasaan dan itu tercermin dari intrik kepentingan politisi akhir-akhir ini, juga ekonomi dengan isu korupsinya yang jika diflashback, seakan tak mengalami perubahan berarti semenjak reformasi yang menjadi alasan runtuhnya Orde Baru. Namun itulah konsekuensi dalam mewujudkan perubahan, jika wajah institusi politik dan ekonomi tidak lekas ditata dengan baik, tak heran selama itu pula kita akan diperhadapkan dengan wajah kekuasaan yang absolut dan korup dengan institusi yang ekstaktif.
Kedua adalah kepemimpinan yang kiranya menjadi masalah cukup krusial di bangsa ini. 79 tahun sudah kita merdeka, bahkan silih berganti rezim namun untuk menemukan sosok pemimipin yang ideal untuk memimpin bangsa ini seakan sulit. Seakan menjadi hal yang mustahil bagi bangsa ini menemukan sosok pemimpin yang berkarakterkan kepemimpinan dari seorang negarawan sejati. Entah karena sistem dan mekanisme dari mana pemimpin itu dilahirkan yang bermasalah juga mungkin masyarakat yang salah memilih pemimpin atau mungkin karena bawaan yang cacat moral dan etika yang berpangkal pada krisis ketauhidan dalam pandangan Said Munuruddin, sehingga berperilaku haus akan kekuasaan dan kekayaan. Yang pasti kita perlu kembali merefleksikan agar kedepan dapat mengikhtiarkan diri dalam memilih pemimpin yang betul-betul memahami kondisi masyartakat, bangsa dan negaranya juga kondisi dunia, pemimpin yang tidak mementingkan hasrat dan kepentingan keluarga dan orang sekitar, juga pemimpin yang tidak menjadi kacung elit lokal dan global.
Ketiga, membicarakan perubahan suatu negara adalah tak terlepas dari bagaimana kebijakan dibuat dan dieksekusi dalam implementasinya. Sering kali negara dalam melaksanakan kebijakannya banyak ditemukan pertentangan-pertentangan dengan apa yang semestinya menjadi prioritas masyarakat sehinga menuai kontroversi di berbagai kalangan. Apa yang melatarbelakanginya, diantara banyaknya faktor adalah kepentingan, yang mana kebijakan diambil tidak berdasarkan pada kepentingan masyarakat melainkan kepentingan kekuasaan dari segelintir kelompok elitnya dan oligarki dalam lingkungan pemerintahan. Meminjam bahasa Jeffrey A. Winters tentang oligarki dapat penulis katakan Kepemimpinan hari ini tersandra oleh oligarki, ia selalu bersemayam dan membayangi kebijakan pemerintah dengan semata-mata untuk kepentingan golongannya. Atau dalam bahasa Bung Hatta, terlalu mengedepankan teori ketimbang memahami realitas dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Maka sepatutnya kebijakan itu harus bersinggungan dan selaras dengan apa yang subtansial dari keinginan dan kebutuhan masyarakat, sehingga tak mubazir dan disorientasi kebijakan.
Keempat, membicarakan kemajuan suatu bangsa dan negara tidak terlepas dari peran vital kaum muda dan kaum intelektualnya. Olehnya itu kedua elemen strategis tersebut harus mengambil peran dalam mengisi kemerdakaan dengan menjadi central actor dalam setiap dimensi kehidupan sosial masyarakat guna mewujudkan negara yang ber-kesejahteraan, ber-keadialan dan ber-kemakmuran. Kaum muda dan kaum intelektual sepatutnya menjadi aktor pencipta bahasa kebenaran terhadap penguasa sebagaimana Edward W. Said kemukakan. Keduanya tak tanggung-tanggung menjadi pembela bagi masyarakat yang tertindas dan terdzalimi oleh kekuasaan. Pada prinsipnya, keduanya harus mampu menjadi kompas dari arah perubahan dan menjadi lilin, menerangi kehidupan masyarakat dan bangsa.
Ada ungkapan yang menarik perhatian penulis yang diucapkan sang proklamator, Ir Soekarno yang mengatakan bahwa; “kemerdekaan yang sempurna adalah berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”. Tanpa menghindari intrepetasi, sepemahaman penulis ungkapan tersebut mungkin bisa manjadi bahan yang bisa kita renungi secara bersama dalam memperingati moment kemerdekaan kali ini. Menutup refleksi ini, penulis tertarik dengan pernyataan seorang filsuf yang juga penyair asal Spanyol, George Santayana. “Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulaginya”, kirta-kira demikian ungkapannya. Nayeli Riano memberikan tafsiran dari pernyataan tersebut bahwa, “kemajuan hanya dapat diperoleh oleh individu yang memilki kesadaran, pengetahuan, dan juga ingatan akan masa lalu. Ketika pengalaman itu tidak dipertahankan, ia akan selalu berada dalam ketidaktahuan moral, spritual, dan intelektual.
Kedua ungkapan di atas memberi penjelasan akan nilai dari mempelajari dan memahami sejarah agar tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, mewaspadai diri untuk tidak mengulang keburukan akan masa lalu. Tak belajar sejarah siap-siap dikutuk untuk mengulanginya. AKHIR KATA, SELAMAT BERULANG TANGGAL DAN BULAN KEMERDEKAAN BANGSA KU. REVOLUSI BELUM SELESAI.
Oleh : Asyudin La Masiha, Alumni Sejarah Unkhair
Kader FORSAS-MU, Mantan Ketua HMJ Sejarah, Ketua BEM FIB dan PRESMA Unkhair