Tauhid Dan Ideologi, Hijrah Diri Menuju Revolusi Sosial

Opini239 Dilihat

Oleh Asyudin La Masiha, Instruktur HMI Cabang Ternate,  Kader FORSAS-MU, Mantan Presiden Mahasiswa Unkhair.

Bagi Dia, Tauhid berarti ke-Esa-an

Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan

Kepada-Nya, Tauhid berarti penghambaan

Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan

Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat

Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.

Asran Salam

POSTTIMUR.COM–Sebagai khalifah, manusia memiliki kebebasan sebagai amanah Tuhan dalam pandangan Aisyah Abdurrahman, atau dalam pandangan Muhammad Iqbal kebebasan yang dimiliki oleh manusia adalah prasyarat untuk menghasilkan kebaikan. Bagi Fazlur Rahman, kebebasan berkehendak adalah amanah dari Tuhan yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Kebebasan yang dimiliki manusia dibarengi dengan misi perjuangan untuk menciptakan dan menegakkan tata sosial serta tegaknya bangunan kehidupan kolektif yang bermoral sebagai bentuk manifestasi dari tingkah laku manusia yang digerakkan oleh fitrah, yang cenderung kepada kebenaran (hanif).

Sejak asali keberadaannya di muka bumi, manusia telah ter-legitimasi dan menglegitimasi dirinya dalam ruang dan waktu, membentuk realitas sejarahnya. Ada yang mencerminkan sifati lahiriah dirinya, namun tak sedikit yang berpaling meninggalkan esensi dari alasan keberadaanya, menjaga dan mengatur alam mewujudkan keseimbangan individu dan sosial serta dunia dan akhirat. Berpalingnya manusia dari lahiriah fitrahnya memicu dan meninggalkan jejak negatif dalam berkehidupan sebagai imbas perilakunya karena keliru mendefinisi dan mengaktualisasikan mandat kemerdekan sebagai amanat Tuhan.

Kondisi yang berlainan dari alasan penciptaan manusia, tak berlebihan apabila dikata dilatarbelakangi oleh pandangan yang keliru. Sebab cara pandang adalah kerangka hidup yang dibangun melihat dirinya dan kondisi sosial, dunia dengan segala dimensinya. Pandangan mempengaruhi keyakinan lalu menginternalisasi bagaimana semestinya memahami, mempengaruhi dan berinteraksi sesama manusia dan alam. Pada prinsipnya ia menjadi seperangkat perasaan juga sikap, berujung menjadi pandangannya atas dunia.

Dalam bahasa Marvin E. Oslen, pandangan dunia adalah teropong mental atau peta kognisi untuk merumuskan cara hidup ditengah masyarakat yang keberadaannya tidaklah tunggal, tidak hadir dengan sendirinya namun dipengaruhi oleh sistem keyakinan dan nilai-nilai sosial (Zainuddin Maliki, 2003). Gamblang dari pernyataan Marvin, bahwa pandangan dunia tak dapat dipisahkan dengan epistemologi yang ter-sistemik sehingga membentuk apa yang disebut sebagai ideologi. Serupa, Murtadha Muthahhari memiliki kesamaan dengan Marvin bahwa setiap ideologi pasti berlandaskan pada suatu bentuk pandangan dunia dan pandangan dunia selalu berlandaskan pada epistemologi (Murtadha Muthahhari, 20021;22).

Dalam pandangan Ali Syariati, pandangan dunia adalah pemahaman seseorang akan wujud atau eksistensi. Wujud yang dimaksud adalah mencakup keberadaan Tuhan, manusia dan alam semesta (Ali Syariati, 1992;20). Dalam pandangan Ali Syariati, paling prinsip dari pandangan dunia adalah kesadaran manusia dari apa yang dihadapi baik semesta, manusia dan juga Tuhan.

Pandangan dunia yang mengkristal menjadi ideologi dalam diskursusnya melahirkan pandangan yang berbeda, ada yang beranggapan positif dikarenakan menilai ideologi dapat membebaskan namun ada juga yang negatif karena menilainya sebagai kesadaran palsu sebagaimana Karl Marx  menilai ideologi yang pada prinsipnya adalah memutarbalikkan kenyataan. Bertitik tolak dari bagaimana memahami realitas, baginya realitas sendiri dapat diubah oleh orang-orang yang berkuasa, pada titik inilah Marx memberikan definisi bahwa ideologi adalah produksi kaum borjuis yang digunakan untuk menguasai para proletar (kesadaran kelas pekerja merupakan bentukan kelas borjuis) (Asran Salam, 2020;39).

Selaras dengan Marx, Louis Althusser tegas mengatakan ideologi adalah buatan kelas borjuis yang dimaksudkan untuk menguasai kelas proletar. Bagainya ideologi adalah imajinasi yang diciptakan oleh kekuasaan negara, menjadi representasi membangun relasi semu antara negara dan rakyat. Negara sebagai produsen ideologi yang menopang eksploitasi terhadap rakyat, bagi Althusser perlu dilengkapi dengan Ideological State Apparatuses (ISA) berupa institusi keagamaan, sekolah, keluarga, organisasi dan media massa serta Repressive State Apparatuses berupa paksaan aparat negara seperti TNI dan Polisi sebagai instrumen juga cara kerjanya (Bagus Takwin, 2003;68)

Bagi Antonio Gramsci, ideologi adalah alat negara dalam merepresi masyarakat. Dengan ideologi, rakyat direkayasa kesadarannya sehingga menjadikannya tak sadarkan diri bahwa ia mendukung kekuasaan negara (Bagus Takwin, 2003;87). Maksimalisasi hegemoni negara terhadap rakyat diperankan oleh kaum intelektual lewat lembaga pendidikan, membantu negara menganeksasi rakyat agar sedia menerima ideologi kekuasaan negara yang diperankan oleh intelektual non-organik yang berbeda peran dengan intelektual organik dimana keberadaannya untuk meng-counter hegemony dengan basis kesadaran penuh dan memberikan penyadaran akan hegemoni yang berlangsung.

Berlainan dengan pandangan sebagaimana dikemukakan, Ali Syariati mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang keyakinan yang mana ideologi mengandung keyakinan serta gagasan yang ditaati oleh kelompok, suatu kelas sosial, bangsa dan ras tertentu (Ali Syariati, 1993;72). Baginya setiap individu, kelompok bahkan yang lebih besar lagi seperti bangsa memiliki ideologi yang berbeda dimana ditentukan oleh pandangan dunia masing-masing. Baginya ideologi adalah fitrah yang paling penting dan bernilai serta merupakan kesadaran yang istimewah dalam diri manusia.

Ali Syariati, memandang Tauhid sebagai pandangan dunia,  sehingga baginya basis ideologi adalah tauhid. Menurutnya, hal penting adalah bagaimana konsepsi ketuhanan kita (tauhid) memiliki semangat ideologis pembebasan yang bukan semata bagaimana Tuhan dibuktikan dalam bermacam argumentasi. Menurutnya, Tauhid tidak hanya sekedar persoalan konsepsi teoritis semata, melainkan perlu menjadi cara pandang. Tauhid mesti menjadi pandangan dunia (word view) yang bermetamorfosis menjadi ideologi yang dapat membebaskan manusia.

Senada dengan Ali Syariati, Asghar Ali Engineer menilai kalimat tauhid adalah kalimat yang revolusioner, tak semata mengtiadakan tuhan-tuhan selain Allah, membersihkan berhala namun juga membersihkan dan menolak otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa, struktur sosial yang eksploitatif yang ada pada manusia (Asghar Ali Engineer, 19993;7). Menurutnya, para hartawan Mekkah bukanlah tidak mau menerima ajaran yang dibawakan Nabi Muhammad SAW- sebatas ajaran menyembah kepada satu Tuhan (Tauhid) melainkan implikasi sosial ekonomi yang menjadikan mereka cemas terhadap ajaran yang dibawanya.

Dalam pandangan Ali Syariati dan Asghar Ali Engineer, tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan untuk semata kepada-Nya. Pandangan mereka dimaksudkan untuk menggerakkan manusia melawan segala bentuk kekuatan, dominasi, belenggu dan kenistaan oleh manusia atas manusia. Pandangan keduanya mengisyaratkan tauhid sebagai kekuatan ideologis yang memiliki esensi keadilan, solidaritas dan pembebasan. Arsan Salan dengan mengutip Ali Syariati tegas mengatakan bahwa tauhid bagaikan turun dari langit ke bumi dan meninggalkan lingkaran diskusi, penafsiran dan perdebatan filosofis, teologis dan ilmiah, ia masuk ke dalam masyarakat yang didalamnya menyangkut hubungan sosial, kelas, orientasi perseorangan, hubungan antara perseorangan dengan masyarakat, berbagai dimensi struktur, suprastruktur, lembaga-lembaga sosial, keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, hak milik, etika sosial, dan pertanggungjawaban personal dan masyarakat.

Olehnya untuk menemukan kemurnian pandangan, setiap diri harus terbebas dari segala belenggu, sebab selama manusia tak bebas dari apa yang membelenggu dirinya selama itu pula amanah kemerdekaan yang diperolehnya sebagai mandataris Tuhan tak akan terwujud dalam tingkah sosialnya. Manusia dianugerahi akal, menjadikan dirinya mengetahui kondisi sosialnya dan menjadikan dirinya tunduk kepada Tuhan sebagai bentuk rasa takutnya yang didasari ilmu dan kesadarannya. Dalam ungkapan Cak Nur, dalam melakukan tugas-tugas kekhalifahan terlebih dahulu manusia harus memahami lingkungan alami hidupnya dan lingkungan manusiawinya (Azhari Akmal Tarigan, 2018;121).

Menggunakan kerangka berfikir Ali Syariati dan  Asghar Ali Engineer, keimanan seseorang dalam bertauhid sepatutnya mengalami hijrah diri. Keimanan yang kokoh dan semangat jihadnya sepenuhnya diorientasikan pada terwujudnya revolusi sosial. Dalam bahasa Hasan Hanafi, Revolusi sosial dapat diwujudkan dengan melakukan revolusi diri, yakni revolusi tauhid. Menurut Azhari Akmal Tarigan, Tauhid diposisikan sebagai inti agama yang semestinya memberikan elan vital dan inner force kepada pemeluknya, baik moral maupun spiritual dalam rangka melakukan transformasi sosial.

Kiranya uraian yang telah dikemukakan merupakan potret historis dari kondisi dan pikiran zaman para tokoh, lantas bagaimana dengan realitas sekarang? Akankah keimanan kita akan ke-Esa-an Tuhan sedapat mungkin menjadi ideologi? Tak bermaksud menggurui, realitas kekinian kiranya makin kompleks permasalahannya. Sepatutnya tiap-tiap dari kita haruslah mampu menjadikan tauhid sebagai cerminan dalam sikap dan tindakan sosial, tiap-tiap diri harusnya menjadi figur ideologis berbasis tauhid yang tak semata menemukan kenyataan melainkan juga menemukan kebenaran, yang tak sebatas menampilkan fakta namun juga memberikan penilaian sebagaimana adanya. Tiap-tiap dari kita haruslah merasa terpanggil untuk melakukan perbaikan sosial sebagai bentuk pertanggungjawaban diri dan kesadaran.

Kepada siapa alamat ditujukan, yang patut bertanggung jawab atas kondisi yang mencabik-cabik tatanan sosial. Sistem ekonomi monopolistik yang mencerminkan wajah kapitalisme, maraknya perilaku korupsi, lemahnya supremasi hukum, disparitas sosial dan pembangunan, eksploitasi manusia atas manusia lewat sistem kerja kapitalis, dan kerusakan alam dengan dalil ekonomi. Alhasil, ketimpangan sosial menganga lebar, membuka mulut dan siap menerkam menjadikan matinya realitas dan kepekaan sosial.

Untuk menjawabnya, kita perlu melakukan kontemplasi direlung kesadaran hingga menemukan purifikasi pandangan atas eksistensi dan esensi diri sebagai makhluk yang merdeka, melepas belenggu dalam bentuk apapun walau sekedar ketakutan. Hijrah diri harus dilakukan, menemukan diri yang merdeka dan membebaskan, terwujud dalam tindakan, menjadi pelopor membangun tatanan sosial yang bermoral dan berkeadaban, tegak melawan segala bentuk penindasan mewujudkan revolusi sosial. Spirit tauhid dimaksudkan untuk melakukan pembebasan dari belenggu-belenggu yang menindas kemanusiaan yang sejatinya adalah thaghut sehingga terwujudnya kehidupan yang berkeadilan.*

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *