Refleksi Kembali Esensial  Bermahasiswa, Ikhtiar Reposisi Gerakan

Opini356 Dilihat

Asyudin La Masiha, Kader FORSAS-MU, Instruktur HMI Cabang Ternate dan Mantan Presden Mahasiswa Unkhair

Posttimur.com–Ideal dari terjadinya perubahan adalah adanya pikiran yang melatarbelakanginya, keberadaannya bertitik tolak dari aktor-aktor yang sadar akan kondisi dan realitas yang menimpahnya. Begitu pula keberadaan Indonesia, refleksi historis mengantarkan kita pada kesepahaman bahwa Indonesia hadir atas pikiran dan perjuangan founding Father, berangkat dari refleksi dan pergulatan pemikiran atas kondisi yang mencekam sehingga menghendaki hadirnya cita-cita untuk melepas diri, merdeka dari sistem kolonial. 

Berangkat dari kebijakan politk etis atau lebih akrab dikenal dengan politik balas budi lewat program edukasinya, angin segar merasuk sukma para pendiri bangsa ini. Tak heran banyak bermunculan organisasi-organisasi pemuda dan pelajar yang mengkonsolidir diri dan menemukan momentumnya ditandai dengan peristiwa yang diabadikan dalam catatan tinta emas sejarah yakni Sumpah Pemudah pada 28 Oktober 1928.

Tak berlebihan jika dikata bahwa keberadaan lembaga pendidikan merupakan prasyarat penting dari terjadinya perubahan terutama pada aspek pemikiran yang berujung terbentuknya ideologi perjuangan. Mengapa demikian? Hemat penulis, keberadaan STOVIA menjadi latar belakang dari lahirnya Organisasi Kepemudaan yakni Budi Utomo pada tahun 1908 yang didirikan oleh Sutomo sebagai keberlanjutan ide dari Wahidin Sudiro Husodo. 

Apa yang melatarbelakangi sosok Wahidin Sudiro Husodo melakukan konsolidasi dan propaganda, bertemu dan berdiskusi dengan mahasiswa STOVIA saat itu untuk membentuk organisasi? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah kesadarannya akan kondisi dan realitas sosial akan cengkraman kolonialisme yang berakibat fatal pada kehidupan sosial dan ekonomi pribumi. Cultuurstelsel adalah salah satu wujud kebijakan yang sarat akan akumulasi dan eksploitasi menjadikan rakyat hidup dalam kemelaratan, kesengsaraan serta mengalami penindasan berkepanjangan. 

Silih berganti masa, praktek-praktek eksploitasi, akumulasi juga penindasan menjadi hal yang tak bisa ditolak keberadaanya, selalu hadir dengan wajah, sistem dan pola yang berbeda namun pada prinsipnya sama. Seakan pesimis dengan kondisi berbangsa dan bernegara sepasca kemerdekaan diproklamirkan. Jika di era kolonial kita melawan bangsa asing secara langsung, sekarang kita melawan melalui anak bangsa sendiri. Dalam konteks ini, penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Sang Proklamator, Ir. Soekarno bahwa; Perjuanganku lebih mudah karena mengusir kaum penjajah, dan perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. 

Lantas dimana kekuatan pemuda dan pelajar sebagaimana fakta sejarah? Mungkinkah ada nilai dan peran yang tak terwariskan dalam semangat zaman? Dalam hal ini, penulis mengajak untuk kembali merefleksikan posisi kampus dan mahasiswa serta eksennya terhadap problem sosial.

Rentetan peristiwa sejarah akan keterlibatan kaum terpelajar-mahasiswa adalah sesuatu yang tak dapat dinafikan. Dalam transisi politik-kuasa, 22 tahun kepemimpinan Ir. Soekarno digantikan dengan rezim yang akrab disebut Orde Baru selama 32 tahun dan berlangsung menjadi era baru dengan kekuatan yang terakumulatif melahirkan dentuman besar yang disebut dengan gerakan reformasi dan mahasiswa adalah aktor yang tak bisa disepelehkan keberadaan serta perannya. 

Kampus dalam pemahaman penulis adalah miniatur peradaban, orang-orang didalamnya membentuk jejaring sosial dalam khazanah keintelektualan sehingga tak berlebihan jika masyarakat kampus juga dikenal dengan sebutan masyarakat ilmiah. Namun itu mungkin terkesan subjektif, sebab fakta hari-hari ini menujukkan gejala-gejala gersang dan tandus dalam dunia kampus karena iklim intelektual yang mulai redup bahkan dalam persentase yang kecil keberadaanya. 

Keberadaan kampus yang semestinya melahirkan kesadaran serta orientasi perjuangan, justru menampakkan fenomena lain. Arus global menghendaki orientasi keberadaan dikampus semata-mata adalah lapangan pekerjaan. Dalam skema globalisasi kampus seakan mengambil peran menyediakan sumber daya tenaga kerja yang terspesialisasi bahkan mengorientasikan pada kehidupan yang individualistik. Ali Syariati dengan mengutip Martin Heidegger, spesialisasi adalah sesuatu yang bertentangan dengan hakikat kemanusian. Dalam bahasa Asran Salam, spesialisasi adalah upaya mereduksi manusia hanya memiliki kemampuan parsial. 

Benar adanya kampus pada prinsipnya adalah pembentukan profesionalisme yang berbasis pada keilmuan, namun selain itu kampus adalah jalan dalam mencari dan menemukan jati diri. Olehnya itu, menghendaki pembentukan watak independensi bahkan juga jiwa pragmatisme dalam ungkapan Said Munuruddin. Dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, kampus mengambil peran mencetak kaum intelektual. Atau paling tidak kampus menjadi “rahim” yang darinya lahir manusia-manusia yang tidak sebatas memiliki pengetahuan, melainkan kopetensi dalam konstruksi kesadaran masyarakat dengan terlibat langsung dalam gerakan sosial. 

Meminjam bahasa Muhammad Yunus, “kampus terlalu arogan dengan teori-teorinya”. Seakan menampakkan kegagalan lahirnya “intelektual-ideolog” yang sedia turun ke masyarakat (gross roat) lalu hidup dalam realitas sosial kemasyarakatan. Fenomena mahasiswa hari-hari ini terpenjara dalam ruang kuliah, dari teori ke teori bahkan realitas sosial asing baginya. Dalam bahasa Said Munuruddin, “mahasiswa diarahkan menjadi ‘mesin bagi tuannya’, memenuhi pasar kerja yang tentunya gaji yang tinggi. Alhasil, yang terkonstruk dalam sadar mahasiswa adalah bahwa uang (materi) menjadi satu-satunya tujuan. 

Padahal, esensial kampus tidaklah demikian. Kampus sebagaimana disebutkan, ia adalah miniatur peradaban, dimana bersemayam ruh keintelektualan. Penulis tak bermaksud menyudutkan kampus, malainkan manusia-manusia yang ada di dalamnya seakan kehilangan orientasi bermahasiswa. Sepatutnya dengan gelar mahasiswa, haruslah menjadi kaum intelektual. Dalam bahasa Edward W. Said, “kaum intelektual merupakan aktor pencipta bahasa kebenaran terhadap penguasa”. Dalam konteks ini, mahasiswa sebagai kaum intelektual mengharuskan kepekaan dan tanggungjawab sosial. 

Aktivitas membaca dan berdiskusi dikalangan mahasiswa yang mulai memudar menjadikan regresi budaya intelektual, lantas berimplikasi pada lemahnya gerakan. Bukan bermaksud menyalahkan zaman, namun perkembangan teknologi yang begitu masif memungkinkan diperolehnya pengetahuan secara instan justru berefek pada tumpulnya nalar kritis mahasiswa.

Di abad 21 ini, terjadi transformasi besar-besaran dalam kehidupan manusia diantaranya pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak yang berakibat pada industrialisasi yang kian berkembang dan jika ditelisik justru melahirkan gaya hidup baru yang diistilahkan dengan konsumerisme karena terbukanya pasar yang berakibat ketergantungan. Konsumerisme sendiri menandakan posisi sosial dalam masyarakat, ia mencerminkan tindakan individu sekaligus menunjukan tindakan sosial yang jika dicermati justru didapati paradoks antara sifat individual dan sifat sosial.

Produksi pada tujuannya adalah kosumerisme, demikian menurut Adam Smith. Dalam ekologi spesies manusia kontemporer, konsumsi menjadi faktor mendasar atau dalam ungkapan Baudrillard, motor penggerak masyarakat modern kontemporer adalah konsumsi itu sendiri, dan konsumsi pada tujuannya memiliki pembenarannya sendiri.

Dalam pandangan Conca, konsumerisme merupakan paradigma baru masyarakat modern dimana sangat erat kaitannya dengan perkembangan ekonomi global. Atau dalam pandangan Bakhtiar, konsumerisme telah menjadi budaya abad 21. Sebagai budaya, perilaku konsumtif terus meningkat bahkan pada level yang sangat radikal,  keberadaannya bersamaan dengan adopsi teknologi dalam masyarakat. Hal yang paling ditakuti dan berbahaya adalah perilaku konsumtif bagi pemuda, tak menutup juga mahasiswa yang sangat erat dan kental dengan sikap gengsi. Menjadikan brend dan trend dari apa yang dikonsumsi sebagai tanda (kenaikan) derajat sosial.

Sebagai budaya global, tak terkecuali di Indonesia bahkan terus menguat dan meningkat perilaku konsumtif terutama kalangan mahasiswa. Konsumerisme sebagai budaya global, seakan tak terbendung oleh siapa dan apapun. Bagaimana dengan lembaga pendidikan? Lembaga pendidikan justru seakan terangsang untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme/Industrialisasi. Kiranya bagaimana Indonesia menghadapi Bonus Demografi dengan mahasiswa sebagai kristalisasi dari pemuda yang berkecenderungan konsumtif, mungkinkah menjadi emas, atau lemas lalu cemas karena menjadi komunitas yang dikemas dalam pasar yang ganas.

Sekilas catatan refleksi hari ini, dengan isu PPN 12% juga retetan masalah daerah lainnya yang dikampanyekan, suasana kampus dan masyarakat di dalamnya seakan suram. Meski gema bunyi serine dan percikan suara sound keras terdengar, tak banyak yang melibatkan diri. Akankah kita mengharapkan akan banyak intelektual -ideolog di dan lewat kampus jika pragmatisme, konsumerisme juga perilaku hedon yang kental dengan individualistik hidup subur dalam kampus. Mari menjawab dalam hati.(*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *