Oleh: Riski Ikra
Ketua umum Himpunan Pelajar Mahasiswa Bilifitu (HPMB)
Benarkah pendidikan kita kini benar-benar gratis? Ataukah sekadar bebas biaya, tapi tidak bebas dari cengkeraman kepentingan? Di Maluku Utara, negeri kaya tambang dengan potensi besar di Halmahera Tengah, janji pendidikan gratis terdengar indah namun justru menimbulkan pertanyaan mendasar bagi penulis, “apakah kebijakan ini lahir dari kesadaran membangun, atau sekadar strategi kekuasaan di tengah musim politik yang mulai menghangat”?
Maluku Utara, khususnya Halmahera Tengah, tidak pernah kekurangan kekayaan. Dari nikel, emas, hingga kawasan industri strategis seperti Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), daerah ini adalah contoh nyata betapa sumber daya alam (SDA) seharusnya menjamin kesejahteraan dan pendidikan berkualitas bagi seluruh warganya. Namun, realitas sosial berkata lain: pendidikan memang bebas biaya, tetapi tidak bebas dari intervensi kepentingan politik. Bahkan, justru di tengah limpahan investasi tambang dan industrialisasi, kualitas dan otonomi pendidikan mengalami degradasi.
Sumber Daya Alam dan Janji Pendidikan Gratis: Secara teoritis, daerah dengan SDA berlimpah seperti Halmahera Tengah seharusnya menjadikan pendidikan gratis sebagai hak mutlak, bukan sekadar janji kampanye. Dalam laporan riset INDEF (2023), daerah kaya tambang idealnya mengalokasikan dana pendidikan berbasis pajak dan kontribusi korporasi sebagai investasi jangka panjang dalam peningkatan kualitas SDM lokal.
Namun, di lapangan, hal ini tidak terealisasi secara adil. Pendidikan memang tidak lagi memungut biaya resmi, tetapi kualitasnya stagnan, bahkan menurun. Gedung sekolah banyak yang rusak, guru kekurangan pelatihan, dan akses internet tetap timpang. Lebih ironis lagi, distribusi jabatan kepala sekolah, guru honorer, hingga pengurus komite sekolah tidak terlepas dari patronase politik yang menyesakkan.
Kepemimpinan Baru dan Kekhawatiran Lama: Kemenangan Sherly Tjoanda Laos sebagai Gubernur Maluku Utara membawa harapan sekaligus kekhawatiran. Sebagai figur politik yang tumbuh di tengah masyarakat marginal, banyak pihak berharap ia mampu membawa angin segar perubahan, termasuk menjadikan pendidikan sebagai pilar keadilan sosial. Namun, kekhawatiran publik menguat, terutama di daerah basis tambang seperti Halmahera Tengah, bahwa kepemimpinannya akan tetap dikungkung oleh relasi oligarki tambang, politik balas jasa, dan pola pemerintahan transaksional yang selama ini mengakar.
Warga mencemaskan bahwa sekolah akan dijadikan alat distribusi kekuasaan baru. Kepala sekolah diangkat bukan karena prestasi, tetapi loyalitas. Guru dikontrak berdasarkan jaringan, bukan kualitas. Dan yang lebih mengkhawatirkan, pendidikan dijadikan panggung simbolik bagi elite, bukan ruang pembebasan bagi rakyat.
Pendidikan dalam Cengkeraman Oligarki Tambang: Pierre Bourdieu menyebut bahwa institusi seperti sekolah berpotensi menjadi alat pelanggeng dominasi simbolik jika tidak independen dari kekuasaan. Di Halmahera Tengah, dengan kuatnya cengkeraman korporasi dan elite lokal, kekhawatiran ini bukan fiksi. Sekolah-sekolah yang dekat dengan lokasi industri tambang seperti di Lelilef dan Weda banyak mengalami tekanan struktural: dari kurikulum yang menjauh dari konteks lokal, hingga keterlibatan perusahaan dalam agenda-agenda pendidikan tanpa arah kritis.
Riset dari JATAM dan Trend Asia (2024) mencatat bahwa daerah industri tambang di Indonesia mengalami krisis pendidikan yang unik: anggaran pendidikan membesar, tetapi dikendalikan dari luar sistem pendidikan itu sendiri oleh elite politik dan pemodal.
Narasi “Gratis” yang Menyesatkan: Masyarakat selama ini digiring untuk percaya bahwa pendidikan gratis adalah capaian luar biasa. Padahal, biaya bukan satu-satunya indikator kualitas pendidikan. Yang lebih penting adalah kebebasan berpikir, kapasitas kritis, serta keberanian siswa dan guru menyuarakan realitas mereka. Ketika guru takut bersuara karena khawatir dipindah, dan siswa tak diberi ruang untuk menulis tentang dampak tambang, maka yang terjadi adalah pembungkaman sistemik.
Reformasi dari Akar: Bukan Sekadar Biaya, Tapi Martabat Pendidikan. Pendidikan gratis hanya bermakna jika disertai keberanian politik untuk membebaskan sekolah dari campur tangan kekuasaan. Gubernur Sherly Tjoanda Laos dan pemerintah daerah harus menyusun mekanisme transparan dan partisipatif dalam pengangkatan tenaga pendidik, distribusi anggaran, hingga evaluasi kebijakan. Masyarakat harus dilibatkan dalam mengawasi sekolah, bukan hanya diberi kabar baik dalam konferensi pers.
Pendidikan di Maluku Utara harus menjadi alat kontrol terhadap tambang, bukan justru menjadi korban dari ekspansi industri. Sekolah harus mencetak pemikir yang berani mengkritik, bukan sekadar pekerja industri yang patuh.
“Olehnya itu Pendidikan sebagai Hak, Bukan Panggung Kepentingan”
Jika sumber daya alam yang begitu besar tidak mampu menghadirkan pendidikan yang bermartabat, maka krisis terbesar kita bukan pada kekurangan dana, tetapi pada kekosongan moral dan kepemimpinan. Pendidikan di Maluku Utara harus dibebaskan dari kooptasi politik dan dikembalikan pada rakyat.
Sekolah boleh gratis, tapi tak boleh jadi kaki tangan kekuasaan. Inilah saatnya membangun pendidikan yang membebaskan, bukan yang tunduk.