Inflasi dan Stabilitas Harga: Pilar Terlupakan dalam Pembangunan

Opini714 Dilihat

Nurhany Idham¹, Dea Fiska Sarif², Rosmini Putri turuy³, Raihan Arfandi Katimen⁴, Sinta umra⁵, Rahasti Sangadji⁶, Eka Gustilawati umabaihi⁷, Arina sillia⁸, Nurlita Abas Tidore⁹.

Ketika membahas pembangunan ekonomi, perhatian publik dan pembuat kebijakan sering kali tertuju pada pertumbuhan angka makro: peningkatan investasi, pembangunan infrastruktur, atau lonjakan ekspor. Namun, satu aspek fundamental justru kerap diabaikan—stabilitas harga. Padahal, tanpa kestabilan harga, fondasi ekonomi yang tampak megah di permukaan bisa runtuh sewaktu-waktu.

Stabilitas harga merujuk pada kondisi di mana inflasi tetap berada dalam kisaran yang dapat diprediksi dan terkendali. Jika harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, atau obat-obatan melonjak secara tiba-tiba, masyarakat—terutama kalangan berpenghasilan rendah—akan menanggung dampak terberat. Daya beli mereka menyusut, dan prioritas pengeluaran penting seperti pendidikan, kesehatan, dan tabungan pun harus dikorbankan. Maka, inflasi bukanlah sekadar “kenaikan harga”, tetapi bentuk nyata dari erosi daya beli yang melemahkan fondasi kesejahteraan masyarakat.

Masalahnya, inflasi sering dianggap sebagai fenomena yang “normal” dalam sistem ekonomi. Padahal, seperti dikemukakan oleh Situmorang dan Siahaan (2024), inflasi adalah penyusutan nilai uang secara perlahan namun pasti. Jika tidak dikendalikan, inflasi dapat menghambat konsumsi, mengganggu investasi, bahkan memperburuk ketimpangan sosial. Ini jelas bertolak belakang dengan cita-cita pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.

Harga yang stabil menciptakan kepastian. Bagi rumah tangga, ini berarti kemampuan merencanakan keuangan. Bagi pelaku usaha, ini memberi kepercayaan untuk menanam modal. Bagi negara, ini memungkinkan penyusunan anggaran yang realistis. Sebaliknya, ketidakpastian harga mengacaukan segalanya. Tanpa stabilitas harga, semua bentuk pembangunan ekonomi ibarat membangun rumah di atas pasir.

Baca Juga:

Dekan FEB Unkhair Desak Pemkot Ternate Respons Pembentukan Koperasi Merah Putih

KNPI Halteng Soroti Pembiaran Hukum di Lokasi Tambang PT. TEKINDO

Dalam konteks makroekonomi, inflasi dan stabilitas harga memengaruhi tiga hal utama: pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan indikator pembangunan seperti kemiskinan dan pengangguran. Inflasi tinggi menyebabkan biaya hidup meningkat, terutama bagi kelompok miskin yang penghasilannya terbatas. Ketika inflasi melonjak, pendapatan riil turun, konsumsi merosot, dan sektor usaha enggan berekspansi. Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal kelangsungan hidup sehari-hari.

Sebaliknya, stabilitas harga berperan sebagai jangkar pembangunan. Menurut Batubara (2024), kestabilan harga memungkinkan masyarakat membuat keputusan ekonomi dengan percaya diri. Ini juga berdampak langsung pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pengurangan pengangguran, dan penurunan angka kemiskinan (Bintara & Wahyudi, 2023).

Pentingnya stabilitas harga menegaskan peran strategis Bank Indonesia dan pemerintah dalam mengelola inflasi. Kebijakan moneter seperti pengaturan suku bunga dan pengendalian jumlah uang beredar menjadi alat utama. Di sisi lain, kebijakan fiskal—melalui subsidi atau pengendalian harga komoditas utama—merupakan pelengkap penting. Rika Widianita (2023) menekankan bahwa pemerintah harus menjamin ketersediaan dan keterjangkauan barang kebutuhan pokok sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional.

Tanpa pengendalian inflasi, pembangunan hanya akan memperkaya sebagian kecil elite ekonomi, sementara masyarakat umum terjebak dalam kesulitan yang terus-menerus. Seperti ditegaskan oleh Syakir (2015), inflasi berlebih menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan memperlebar kesenjangan sosial. Ini bukan sekadar soal statistik ekonomi, tetapi soal keadilan sosial.

Pembangunan sejati bukanlah sekadar membangun jalan tol atau gedung pencakar langit, melainkan memastikan masyarakat dapat membeli kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, memperoleh pendidikan dan layanan kesehatan yang layak, serta hidup tanpa cemas akan lonjakan harga esok hari. Seperti dikatakan Syahrir Ika (2016), keseimbangan antara inflasi dan stabilitas harga adalah prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, kita semua—baik sebagai warga negara, pelajar, pelaku usaha, maupun pembuat kebijakan—harus menyadari bahwa menjaga kestabilan harga bukanlah urusan teknokratis belaka. Ini adalah komitmen terhadap keadilan, kesejahteraan, dan masa depan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *