Oleh: Sakinah Jafar Sadek
Universitas Khairun, Kota Ternate, Maluku Utara
Dalam era digital dan globalisasi yang semakin pesat, pembangunan infrastruktur tidak lagi hanya soal beton dan aspal. Ia telah berkembang menjadi instrumen penting untuk menghapus kemiskinan, memperkuat konektivitas, dan menghadirkan layanan dasar hingga ke pelosok negeri. Maluku Utara sebagai provinsi kepulauan menjadi contoh nyata bagaimana tantangan geografis justru bisa menjadi peluang untuk membangun secara lebih inklusif, cerdas, dan berbasis teknologi.
Ekonomi Maluku Utara tercatat tumbuh paling pesat di Indonesia pada kuartal I tahun 2025, dengan PDRB mencapai 34,58% year-on-year. Sebuah angka yang impresif, namun kontras dengan kenyataan bahwa realisasi belanja pembangunan baru menyentuh angka 25,3% dari pagu anggaran hingga April 2025. Ini menandakan adanya hambatan struktural dalam penyerapan anggaran, mulai dari birokrasi hingga proses review proyek yang memakan waktu.
Namun demikian, kita tidak boleh hanya terpaku pada angka. Ada optimisme besar yang terbangun dari penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 oleh Gubernur Sherly Tjoanda Laos. Visi “Maluku Utara yang Bangkit, Maju, Sejahtera, Berkeadilan, dan Berkelanjutan” menegaskan komitmen untuk menjadikan pembangunan sebagai jalan menuju pemerataan dan keadilan sosial.
Dukungan pemerintah pusat pun tampak nyata. Usulan infrastruktur senilai Rp 8 triliun untuk jalan dan jembatan, serta Rp 1 triliun untuk sumber daya air telah diajukan ke Kementerian PUPR. Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp 64 miliar juga mulai diarahkan ke pembangunan strategis di Halmahera Selatan, Halmahera Barat, dan Morotai. Fokusnya: jalan penghubung antarwilayah dan irigasi pertanian yang menopang ekonomi lokal.
Satu hal yang tak boleh dilupakan dalam pembangunan infrastruktur di wilayah kepulauan adalah pentingnya pelabuhan dan dermaga. Tanpa konektivitas laut yang kuat, pulau-pulau kecil tetap terisolasi, terutama saat cuaca ekstrem. DPRD Maluku Utara dengan tepat menyoroti minimnya perhatian terhadap sektor ini. Transportasi laut bukan sekadar penunjang, melainkan nadi kehidupan masyarakat pulau.
Sofifi, sebagai ibu kota provinsi, juga mendapat prioritas pembangunan. Lapangan multifungsi, taman kota, dan ruang publik menjadi simbol hadirnya negara di pusat pemerintahan. Pembangunan ruang rekreasi bukan hanya estetika, melainkan bagian dari upaya menciptakan kota yang ramah, sehat, dan inklusif.
Namun semua ini tak akan efektif tanpa transformasi digital. Inilah saatnya mendorong lahirnya “desa digital” sebagai solusi konkret untuk menghapus kemiskinan di pelosok. Dengan infrastruktur dasar yang memadai—jalan, listrik, dan internet—desa-desa di Maluku Utara bisa terhubung langsung ke pasar, pendidikan, dan layanan kesehatan. Panel surya dan mikrogrid bisa menjadi jawaban atas mahalnya distribusi listrik ke pulau kecil. Internet satelit dapat membuka dunia baru bagi siswa di daerah terluar.
Lebih dari itu, desa digital membuka peluang usaha berbasis lokal, seperti e-commerce produk laut dan pertanian, pendidikan daring, hingga layanan keuangan digital. Ketika teknologi bertemu dengan potensi lokal, kemiskinan tidak lagi menjadi takdir, melainkan tantangan yang bisa diatasi bersama.
Pembangunan infrastruktur di Maluku Utara sejauh ini patut diapresiasi. Namun, tantangan birokrasi, penyerapan anggaran, dan kendala geografis tidak boleh dibiarkan menjadi penghalang. Perlu strategi baru yang lebih adaptif dan inovatif—salah satunya dengan menjadikan digitalisasi desa sebagai garda terdepan. Hanya dengan itu, pembangunan benar-benar akan menyentuh hingga ke ujung negeri. Dan hanya dengan itu pula, kemiskinan di pelosok Indonesia bisa kita tuntaskan.









