POSTTIMUR.com, TERNATE- Konflik kepemilikan lahan di kawasan Ubo-Ubo, Kayu Merah, dan Bastiong Karance kembali mencuat. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ternate menggelar dialog publik bertema “Urgensi Sengketa Lahan Antara Polda dan Masyarakat: Bagaimana Jalan Keluarnya?”. Rabu (13/8).
Forum ini diharapkan menjadi ruang bertemunya pemegang kewenangan, akademisi, dan warga terdampak untuk mencari solusi atas masalah yang telah berlarut selama puluhan tahun.
Empat narasumber diundang: Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ternate, Pemerintah Kota Ternate, akademisi hukum, dan perwakilan warga. Namun, hanya akademisi hukum dan warga yang hadir. Kursi untuk BPN dan Pemkot Ternate kosong.
Baca Juga:
Merawat Budaya di Ujung Negeri: Kolaborasi KKN Unkhair dan Pemuda Makaeling di HUT RI ke-80
PMII Ternate Desak Kejaksaan Periksa Kontraktor Proyek Plaza Gamalama
Ketua PMII Cabang Ternate, Safrian Sula, menilai ketidakhadiran tersebut bukan sekadar persoalan administratif, melainkan mencerminkan lemahnya keberpihakan dan keberanian institusi terkait untuk berhadapan langsung dengan masyarakat.
“Ini forum akademik dan sosial untuk mencari solusi, bukan ajang saling menyalahkan. Tapi ketika yang punya kewenangan tidak datang, bagaimana publik bisa mendapatkan kejelasan? Jika pola ini terus berulang, kami akan datang dengan massa yang lebih besar untuk menggeruduk kantor BPN dan Pemkot,” tegasnya.
Akar persoalan bermula dari sertifikat Hak Pakai atas nama Polri yang diterbitkan pada 1989, yang diklaim menjadi dasar kepemilikan lahan oleh Polda Maluku Utara. Di sisi lain, warga mengaku telah mendiami, mengelola, dan membayar pajak atas lahan tersebut selama puluhan tahun.
Bagi Mereka, sengketa ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi menyangkut keadilan substantif. Ketidakhadiran Pemkot dan BPN dinilai menghambat transparansi data kepemilikan dan berpotensi memperpanjang konflik sosial di Ternate.
Editor: Ikhy