Foto : Muhammad Syukur Mandar
Oleh : Muhammad Syukur Mandar
(Ketua Gerakan Golkar Baru)
Membaca gestur politik Golkar belakangan ini, nampaknya semakin menguatkan dugaan saya, bahwa sesungguhnya AH hanyalah Capres akal akalan Golkar. Capres yang diusung dengan tujuan bargaining posisi pada Capres lain yang potensial atau Capres benaran. Pencapresan AH hemat saya, hanyalah alat atau jembatan politik untuk melanggengkan dan mengamankan kekuasaan AH dan gengnya di Golkar.
Nurdin Halid, Wakil Ketua Umum Golkar, mendadak melontarkan pernyataan politik yang menohok AH dan Golkar. Pernyataan Nurdin Halid bahwa Ganjar Pranowo, politisi PDIP berpeluang diusung sebagai Capres dari partai Golkar dipilpres 2024 adalah pernyataan penanda. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Umum Golkar, setidaknya pernyataan NH menggambarkan bahwa ada titik terang apa sebenarnya tujuan AH di Capreskan oleh Golkar. Pernyataan NH itu, pasti terkonfirmasi pada AH, dan bagi saya, pernyataan itu adalah lembar pembuka diplomasi politik Golkar ke publik.
Bahwa dalam politik, diplomasi politik sangatlah dibutuhkan. Diplomasi menjadi bagian penting dari penjajakan koalisi. Selain itu diplomasi sebagai suatu cara mengajukan proposal penawaran posisi antar kekuatan politik. Tetapi yang lebih penting dari sebuah diplomasi politik adalah kesetaraan nilai (value). value diplomasi (kekuatan dan kepentingan) harus berbanding dan membawa dampak positif bagi para pihak yang berdiplomasi. Artinya setiap diplomasi yang dicapai harus mampu memperoleh insentif politik. Pertanyaannya apakah AH memiliki kekuatan dukungan rakyat siginifikan atau tidak?, silakan baca hasil berbagai lembaga survei tentang posisi AH.
Bahwa Golkar pada satu sisi, bersikap mengusung AH sebagai Capres dan pada sisi lain, Golkar berusaha membangun diplomasi politik dengan Capres lain, menawarkan AH sebagai Cawapres. Gaya diplomasi politik Golkar ini tidak paralel dengan kebutuhan politik zaman now. Publik Indonesia sudah melek politik. Sulit bagi orang ataupun partai melawan presepsi publik. Karena itu bagi saya Golkar sulit menangkan vonis publik pada AH. Justru semakin didorong kejalur diplomasi, semakin ditelanjangi publik kebobrokannya. Zaman now publik lebih senang dengan gaya politik terbuka, figur yang bersih, apa adanya, dan tentu sulit bagi figur yang bermasalah untuk mendapatkan tempat dihati rakyat.
Dalam penjajakan koalisi, penentunya adalah kesetaraan kekuatan dan kepentingan. MIsalnya yang dituju Golkar adalah Ganjar diajukan sebagai Capres. maka kalkulasi utama kubu Ganjar, adalah nillai pengaruh AH yang dijadikan barter kepentingan Golkar. Pengaruh dan keterpilihannya figur AH yang dibaca sebagai syarat utama, sebab tujuan koalisi adalah menambah kekuatan politik bukan mengurangi.
Sehingga seberapa besar kekuatan yang didapatkan kubu Ganjar, jika AH dikonpensasi sebagai Cawapresnya Ganjar akan dikalkulasi matang. Bagi saya kecil sekali kemungkinannya, bila ada figur lain ditawari posisi Capres dengan barter AH sebagai Cawapres Golkar. Problemnya ada pada daya dukung publik pada AH yang tidak signifikan. Bahkan AH berpotensi jadi figur trouble maker atau penggerus suara. Besar sekali potensi berpasangan dengan AH, akan mengalami erosi suara dipilpres 2024.
Mari kita lihat, apakah bargaining Golkar dengan menawarkan posisi AH ketum Golkar sebagai wapres punya peluang atau tidak?, Jawaban saya sederhana saja, kecil sekali kemungkinan dan bahkan sama sekali tidak punya peluang. Sulit bagi calon siapapun untuk mau menerima tawaran itu, dan jika Golkar bersikeras, hemat saya, Golkar berpotensi jadi penggangguran dipilpres 2024. Akan jadi ekor dari koalisi yang dirajut partai partai pengusung Capres dan Cawapres 2024.
Proposal penawaran AH sebagai Cawapres tidak akan punya bobot politik yang tinggi. Dan langkah itu tidak menguntungkan Golkar. Akan sangat baik bagi Golkar, jika AH legowo dan gelar konvensi. Sebab kesulitan utamanya Golkar adalah bukan pada Golkar, melainkan bobot dukungan publik pada AH yang kecil sekali.
Bagi saya, rumus hitungan politik Golkar menjadikan AH Capres dan atau menawarkan AH sebagai Cawapres tidaklah tepat. Golkar salah membuat diagnosa politik, sehingga terperangkap dalam perangkapnya sendiri. Mustahil bagi Golkar mendapatkan dua posisi, *pertama*, AH sulit jadi Capres, dan *Kedua*, AH juga akan sulit diterima sebagai Cawapres oleh Capres siapapun yang kelak diusung Golkar. Problemnya adalah rendahnya elektabilitas AH dan ditambah lagi sejumlah skandal dugaan korupsi yang melilitnya. Akibatnya stigma publik pada AH negatif, itulah yang menyebabkan survei dan posisi tawar AH rendah.