Foto : Naufandi Hadyan Saleh
Oleh : Naufandi Hadyan Saleh
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab IAIN Ternate)
ketika media Kompas.com menghadirkan headline bertanda tanya dengan judul “Mengapa yogyakarta & Aceh menjadi daerah istimewa?“ seketika membuat rasa penasaran saya bergemuruh dan mengingatkan saya pada tanda tanya yang sempat tersangkut di benak soal ini. Sebab dulu ketika duduk di bangku sekolah hampir tidak pernah saya temui pelajaran-pelajaran khususnya tentang pendidikan kewarganegaraan(PKN) yang menjelaskan alasan dibalik itu. Itu kenapa kata “mengapa?“ yang pernah sempat terlintas ketika mengenyam pendidikan di bangku sekolah dulu kini terhadirkan kembali lewat headline bertanda tanya diatas. Sebuah berita tertanggal 25 Februari 2021 itu memuat alasan-alasan dijadikannya daerah Yogyakarta & Aceh sebagai daerah berlabel “istimewa“ di Republik ini.
Saya pun kemudian membaca dengan detail isi dari berita itu. Ada banyak informasi tentang sejarah dan alasan dibalik dijadikannya kedua daerah tersebut sebagai daerah istimewa. Sebagaimana yang kita tahu di negara ini terdapat dua daerah yang diberikan khususan tersendiri oleh negara karena sumbangsih yang diberikan kepada Indonesia sehingga dengan demikian ia dilabeli “daerah istimewa“.
Pertama, Yogyakarta menurut sejarah, kota ini bernamakan Ngayogyakarta sebuah nama yang diberikan PB II (raja Mataram) sebagai pengganti nama pesanggrahan gartitawati. di Yogyakarta terdapat dua kerajaan yang masing-masing memiliki sistem dan sejarah secara sendiri-sendiri. Kedua kerajaan tersebut adalah kasultanan dan kadipaten pakualam. Kasultanan yang berdiri pada tahun 1755 oleh pangeran Mangkubumi dan satu lagi adalah Kadipaten Pakualam yang didirikan oleh pangeran Notokusumo pada tahun 1813. Kedua kerajaan tersebut diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda yang menguasai pada waktu itu.
Sebelum diploklamirkannya Indonesia menjadi negara merdeka, Yogyakarta sudah terlebih dahulu hadir dengan tradisi pemerintahan yang berbentuk Kerajaan. Sebagaimana yang dijelaskan diatas dua kerajaan tersebut adalah Kasultanan dan Kadipaten Pakualam. Di jaman pemerintahan Belanda daerah yang sudah terlebih dahulu mempunyai pemerintahan sendiri disebut Zelfbesturende Landschappen. Namun, kemudian ketika bangsa ini memperoleh kemerdekaan kedua kerajaan tersebut akhirnya bergabung ke Negara Indonesia lewat kiriman surat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII kepada Presiden Soekarno sebagai pernyataan sikap bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Indonesia dan akan mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini disetujui presiden Soekarno sebagaimana yang termaktub dalam pasal 18 UUD 1945.
Kedua, daerah kedua yang dilabeli daerah istimewa di Indonesia adalah Aceh. Aceh merupakan salah satu daerah penyebaran Islam pertama di wilayah Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya kerajaan Islam pertama yang berdiri disana. Pada tahun 1873 Aceh mulai berjuang melawan Belanda, saat Belanda pertama kali mendaratkan pasukannya untuk menyerang Aceh. Pertempuran melawan Belanda terjadi kurang lebih selama 30 tahun. Dalam kurung waktu tersebut telah memakan jumlah korban yang sangat banyak. Saat pasukan Aceh terus di desak oleh penjajah mereka Kemudian diminta untuk mengakui kedaulatan Belanda. Karena banyak lini pertahanan mereka yang mengalami kegagalan di beberapa wilayah, mereka pun tak kuasa untuk mengiyakan pengakuan tersebut. pada akhirnya Aceh pun secara resmi masuk dalam wilayah Hindia Belanda.
Setelah kekuasaan Hindia Belanda berakhir, Aceh masih tetap berperang melawan Jepang pada 1942. Peperangan berakhir setelah menyerahnya Jepang kepada sekutu pada 1945. Dalam zaman perang kemerdekaan, sumbangan dan keikutsertaan rakyat Aceh dalam perjuangan sangatlah besar. Maka Presiden Pertama Republik Indonesia, Sekarno memberikan julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah Aceh. Karena sumbangsih inilah Aceh dinobatkan sebagai daerah istimewa sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 18 Tahun 1965.
Sebenarnya terdapat banyak penafsiran mengenai apa itu sebenarnya daerah istimewa sebab pada saat wacana ini pertama kali muncul pada sidang Badan Usaha Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) hal ini menjadi perdebatan di kalangan pendiri bangsa ini. jika ditarik pada satu terminologi yang mendekati pengertian tepatnya maka yang dimaksud daerah istimewa adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Hanya saja pemberian otonomi khusus tersebut diberikan untuk daerah-daerah yang berstatus “zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen” pada zaman Hindia Belanda. Hal ini tertuang dalam UUD Tahun 1945 Pasal 18 B Ayat 1 yang berisi tentang pengakuan dan penghormatan negara kepada daerah-daerah yang sifat khusus atau istimewa.
Dalam sejarahnya terdapat beberapa daerah yang ada di Indonesia yang dilabeli daerah istimewa diantaranya;
Aceh (1959-sekarang), Berau (1953-1959), Bulongan (1953-1959), Bulongan (1953-1959), Kalimantan Barat (1946-1950), Kutai (1953-1959), Surakarta (1945-1946), yogyakarta (1945-sekarang)
Daerah-daerah istimewa diatas adalah memiliki entetitas hukum sebagai daerah berstatus di wilayah Indonesia karena hak asal-usulnya maupun sejarahnya ataupun hanya sekadar diakui, baik oleh Negara Indonesia maupun oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Jika yang diangkat atau yang disetujui sebagai daerah istimewa hanya sebatas alasan yang telah diutarakan di atas maka perlu dipertanyakan mengapa tidak ada nama Ternate?
Sejarah Ternate
Kerajaan Ternate atau Kesultanan Ternate merupakan salah satu dari empat kerajaan Islam terbesar yang ada di Maluku. Sebelum adanya nama Ternate kerajaan ini awalnya bernamakan kerajaan Gapi. Awal mulanya kerajaan ini berdiri, terdapat empat komunitas masyarakat yang ada yang ada di Ternate. Komunitas ini merupakan para imigran-imigran dari pulau Halmahera. Mereka kemudian bermukim di salah satu tempat dataran tinggi yang ada di Ternate, konon nama kampung tersebut adalah Tabona namun, pada versi sejarah yang lain disebutkan bahwa nama kampung tersebut adalah Foramadiahi. Jika dilihat dari letak geografis kota Ternate yang sekarang, memang kedua kampung tersebut masih ada dan berada pada daerah pegunungunan/dataran tinggi. Namun yang paling masyhur dikenal adalah kampung Tabona. Singkatnya, keempat komunitas masyarakat itu melakukan perundingan untuk memilih kepala kelompok atau kepala kampungnya. Terpilih-lah salah satu orang yang dipercayakan untuk memimpin dari komunitas tersebut. ia kemudian, dikenal dengan bernama Momole Guna. Momole adalah kata lain dari raja.
Momole Guna kemudian memimpin kelompok masyarakat tersebut di daerah Tabona. Momole Guna kemudian merubah nama atau sebutan raja untuk dirinya menjadi kolano (sebutan raja pada masa itu) dan ia juga mengubah namanya menjadi Mashur Malamo. Konon Mashur Malamo ini yang kemudian memprakarsai berdirinya kerajaan Ternate. Mashur Malamo menjadi kolano Ternate dalam kurung waktu (1257-1272) yang kemudian dilanjutkan oleh Kaicil Yamin (1272-1284), Kaicil Siale (1284-1298), Kamalu (1298-1304), dan Kaicil Ngara Lamo (1304-1317). Belum diketahui kepercayaan apa yang dianut oleh masyarakat pada saat itu. Dugaan kuat kepercayaan masyarakat Ternate pada saat itu adalah animisme.
Pada tahun 1465 Kerajaan Ternate yang berada dibawah kolano Marhum dengan resmi memeluk agama Islam. Marhum dikenal sebagai kolano pertama yang masuk Islam bersamaan dengan putra sekaligus penerusnya yakni Zainal Abidin (1486-1500). Di masa kolano Marhum (1465-1486) kerajaan Ternate bertransformasi menjadi kesultanan Islam dan gelar raja yang sebelumnya bernama kolano diganti menjadi sultan. Kesultanan Ternate sendiri mendapaki puncak keemasannya pada akhir abad ke-16 lewat torehan tintas emas sejarah yang dilakukan sultan Babullah (1570–1583 M) dengan mengusir penjajah portugis dan menjadi penguasa 72 pulau.
Siapa Babullah
Baabullah dilahirkan pada 10 Februari 1528 adapun menurut catatan sejarah Portugis ia dilahirkan sekitar tahun 1522. Kaicil Baabullah (sebutan untuk pangeran) merupakan putra tertua, atau dalam riwayat lain sebagai salah satu yang tertua, dari Sultan Khairun dan permaisurinya Boki Tanjung, putri Sultan Alauddin I dari Bacan. Namun, menurut satu hikayat yang disusun penulis Ternate Naidah, ia mengatakan bahwa sultan Babullah bukanlah anak kandung dari sultan Khairun melainkan anak angkat dari Sultan Bacan.
Tak banyak memang informasi-informasi yang menjelaskan tentang masa kecilnya sultan Baabullah secara spesifik. Selain daripada, pendidikan kecil dari Baabullah yang kuat akan ilmu agama yang ia terima langsung oleh ayahnya. Dibawah didikan ayahnya ia diajari cara berdakwah kepada masyarakat dengan baik dan benar. Konon bersama dengan sanak saudara-nya selain menerima ilmu agama dari ayahnya mereka juga menimba ilmu agama dari seorang mubaligh (guru) pada saat itu dan juga ilmu peperangan dari seorang ahli militer.
Dibawah kepemimpinan sultan Baabullah kerajaan Ternate berhasil menapaki puncak kejayaannya , hal ini bisa dilihat dari julukan yang disematkan padanya “sang penguasa 72 pulau“. Sultan Baabullah sendiri pertama kali diangkat menjadi sultan setelah wafatnya ayah tercintanya yakni sultan khairun yang tewas terbunuh di tangan portugis tepatnya pada tahun 1570. Sontak hal ini memecut amarah serta semangat jihad untuk membalas perbuatan para penjajah yang telah merenggut nyawa ayahnya.
Selain sultan Baabullah dan para keluarganya kematian sultan Khairun juga benar-benar memicu kemurkaan seluruh rakyat Ternate beserta raja-raja Maluku lainnya. Lewat Dewan diraja Ternate, yang didukung oleh para kaicili dan sangaji (penguasa daerah), mereka mengadakan musyawarah di Pulau Hiri dan menetapkan Kaicili Baab (panggilan hangat sultan Baabullah) sebagai Sultan Ternate berikutnya, menggantikan ayahnya pada tahun yang sama (1570) dengan gelar Sultan Baabullah Datu Syah. Menurut satu riwayat yang tercatat di kemudian hari, pada pertemuan itu mereka berikrar:
“Apa yang mesti kita segani dari Portugis jika kita menyadari kekuatan kita sendiri? Apa yang mesti kita takuti, apa yang dapat membuat kita putus asa? Bangsa Portugis memuliakan orang yang merampok paling banyak, dan yang bergelimang kejahatan serta dosa-dosa besar … Negeri kita adalah tanggungan kita, dan begitu pula perlindungan akan orang tua, istri, anak-anak dan kemerdekaan kita.”
Ikrar tersebut bukanlah sebatas kata-kata tapi dibuktikan dengan penyumpahan permusuhan yang dilayangkan kepada para penjajah sebagai tanda tak ada lagi belas kasih yang harus diberikan kepada mereka. Sultan Baabullah sendiri mendapat dukungan dari beberapa panglima seperti Sultan Jailolo, penguasa Sula Kapita Kapalaya, dan juga panglima laut Ambon Kapita Rubohongi beserta anaknya Kapita Kalasinka yang kesemuanya merupakan sosok-sosok yang cakap dalam peperangan.
Langkah awal yang dilakukan oleh sultan Baabullah yakni ia meminta agar Lopes de Mesquita dibawa ke hadapannya untuk diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate, yaitu Tolucco, Santa Lucia, dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat, menyisakan kediaman Mesquita seorang sebagai pertahanan terakhir. Di bawah komando Baabullah, pasukan Ternate mengepung kediaman Mesquita dan memutuskan hubungan benteng tersebut dengan dunia luar. Dengan memutus suplai makanan beserta kebutuhan pokok lainnya dari luar untuk masuk kedalam. Bahkan disebutkan penduduk yang berada di dalam kediaman Mesquita sampai harus memakan tikus sebagai makanan untuk bisa bertahan hidup.
Sultan Baabullah benar-benar menunjukkan taji serta kegarangannya dihadapan penjajah yang tertunduk tidak berkutik dihadapannya. Pada tahun 1575 sebagian besar wilayah kekuasaan Portugis berhasil di aneksasi oleh kesultanan Ternate. Tersisa Sao Joao Baptista saja yang masih dalam pengepungan. Sultan Baabullah memberi keringanan agar orang-orang Portugis yang berada di dalam benteng segera menyerahkan diri untuk meninggalkan Ternate, dan ia berjanji akan memberikan kapal serta suplai agar mereka dapat mencapai Ambon. Sementara itu penduduk benteng yang berasal dari Ternate diperbolehkan tinggal selama mereka mengakui pemerintahan kesultanan. Kapten Nuno Pereira de Lacerda pun menerima persyaratan tersebut.
Pada akhirnya Portugis menyerah dan memilih mangkat dari negeri yang dijuluki jaziratul mulk itu untuk selama-lamanya. Sultan Baabullah berhasil menepati janji-nya dengan memberi kapal dan suplai kepada mereka untuk sampai ke Ambon serta tidak ada satu pun dari mereka yang dilukainya. Ini merupakan torehan tinta emas sejarah kesultanan Ternate dan mungkin negara Indonesia, dimana penjajah dipaksa angkat kaki dari negeri para raja tanpa ada-nya negosiasi dan perjanjian bilateral. Sultan Baabullah juga menyatakan bahwa orang Portugis masih diperbolehkan datang ke Ternate lagi untuk menjadi pedagang, serta harga untuk mereka tidak berubah.
Bukan hanya kisah apik yang ditampilkan Baabullah pada kontestasi sejarah yang ada di Ternate, lebih dari itu di Ternate juga menyimpan banyak peristiwa besar dunia, diantara lain Ternate pernah menjadi tempat bertemunya dua kekuatan besar eropa pada saat itu yakni Portugis dan Spanyol yang saling merebut panggung kekuasaan sebagai penguasa rempah-rempah dunia yang kebetulan Ternate menjadi lumbung dan penyedia utama buruan dari para penjajah-penjajah itu. Kemudian Ternate juga merupakan salah satu kerajaan Islam tertua dan menjadi salah satu tempat penyebaran Islam pertama di Nusantara hal ini dapat dilihat dari banyaknya prasasti sejarah yang masih terpelihara dan terpajang rapi dalam kedaton kesultanan Ternate sebagai bukti eksistensi Islam di masa silam. Di Ternate juga pernah menjadi pusat pemerintahan Belanda selain dari Batavia (Jakarta) yang dilaksanakan di benteng Oranje yang ada di Ternate, dan Ternate pernah menjadi pusat perdagangan dunia. Sehingga lengkap sudah uraian peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di Ternate.
Deretan ulasan diatas menjadi bukti Shahih akan adanya peradaban besar yang pernah terjadi di bumi Ternate. Jika yang tertuang dalam UUD Tahun 1945 Pasal 18 B Ayat 1 menjelaskan adanya pengakuan negara terhadap daerah-daerah karena keistimewaan sejarah dan sumbangsihnya, maka hal ini telah cukup menasbihkan Ternate sebagai salah satu dari deretan daerah-daerah yang harus diakui keistimewaanya. Namun kenyataanya, dari banyak-nya ulasan yang telah disampaikan tak ada satupun nama Ternate yang tecantum dari daftar daerah-daerah istimewa yang ada di Indonesia. Inilah yang menjadi alasan utama kenapa tulisan ini harus diangkat. Tidak lain, dan tidak bukan karena tanda tanya yang menganggu benak penulis sebagaimana yang tertera di awal paragraf diatas. Ia, kata mengapa yang tertulis di paragraf awal panjangnya mungkin akan berbunyi, “Mengapa tidak Ternate?”