Politik Gagasan Harus Menjadi Senjata dan masyarakat menjadi Hakim atas Praktik Politik Pragmatis.
Oleh: Almuhasyir A. Idrus
Sekjend Pengurus Besar Forum Mahasiswa Maluku Utara (PB FORMMALUT) JABODETABEK
Di era post ideologi seperti saat ini, gagasan menjadi sesuatu yang paling sering ditawarkan. Utamanya dalam praktik politik di negara-negara yang sudah cukup matang demokrasinya. bisa jadi merupakan partisi atau kombinasi dari berbagai ideologi yang pernah ada sebelumnya. Yang paling penting ialah seberapa berdasar dan argumentatif.
Seringkali kita di hadapkan dengan pola kebiasa yang membudaya menjelang hajatan besar demokrasi di 5 tahunan itu. Transaksianal, identitas menjadi jurus jitu dalam memenangkan pertarungan. Hal semacam ini hanya menjadi tawaran atau lebih sering menjadi gimik yang disampaikan kepada calon pemilih agar mau memilih. Tidak salah dan tidak jelek, tapi tetap saja itu bukanlah gagasan. Alih-alih gagasan, politik era post ideologi di Indonesia diisi dengan praktik politik yang pragmatis. sekalipun demokrasi mengatakan semua orang berhak, tapi demokrasi juga mengatakan tidak semua orang layak. Akibatnya, kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan ketidakmerataan pembangunan menjadi jaminan Dari hasil dinamika demokrasi kita.
Buku “Jejak Refleksi Menuju Aksi” secara jelas menjelaskan tantangan dan peluang di tengah Pragmatime politik. Mulai dari Memutus Spiral Korupsi sampai kebangkitan Bangsa. Paradigma berpikir dimana masyarakat harus mengubah bentuk transaksi politik dari yang bersifat jual beli suara ke transaksi agenda politik serta komitmen.
“Isi buku Jejak Refleksi Menuju Aksi seharusnya menjadi bekal yang harus kita konsumsi bersama, bahwa masyarakat harus mampu menjadi hakim atas dirinya sendiri, sehingga hal sebagai warga negara tidak tergadaikan dengan transaksional. Sekjend PB Formmalut”.
Seharusnya, Bukan lagi agama, aliran, kepercayaan, dan bahkan fakta kesukuan yang menjadi komoditas politik untuk pemenangan kontestasi, melainkan ide-ide cemerlang yang diproduksi untuk memperkuat lahirnya kebajikan bersama melalui instrumen politik kekuasaan. Dalam politik gagasan, semakin dekat dan konkret gagasan yang ditawarkan dengan kebajikan bersama, semakin memberikan daya tarik kepada publik seluas-luasnya.
Politik gagasan seharusnya menjadi senjata untuk gaya demokrasi seperti ini, peran penting ada di masyarakat untuk mengawal hak demokrasinya secara utuh sehingga politik transaksional yang menjadi budaya dan kebiasaan kita mampu di minimalisis agar tidak terjadinya korupsi yang menghambat pembangunan dan pendidikan.
Demokrasi macam apa yang bisa kita definisikan jika berakhir dengan cara-cara seperti itu. Kapan mensudahi kepura-puraan, puja-puji sementara dengan jabatan yang jelas ada limitasinya.
Yang kalah kita anggap gagal, lalu kemudian kita seolah yakin yang menang dengan modal besar dapat memberi harapan. Ditambah argumen seolah kokoh, dalam politik tidak ada benar salah yang ada menang kalah. Benarkah argumen itu, jika kelompok demokrasi yang hari ini ikut meruntuhkan order baru, juga balik badan mengamini perilaku pesimis dalam membangun logika demokrasi yang kian menyesatkan.
Ketika kita berdemokrasi lalu kemudian rakyat malah semakin tidak punya kejayaan, tenaga dan semangat artinya kita semakin salah berdemokrasi. Kebanggaan memenangkan demokrasi juga bukan pada ritual hadir di TPS (tempat pemungutan suara) tapi pada gerakan demokratis di tengah-tengah masyarakat agar semakin meningkat partisipasi, sikap sadar menentukan masa depan secara kolektif, budaya gotong royong–sesuai Pancasila– dan lahirnya banyak gagasan dari warga yang kreatif dan inovatif. Jika Demokrasi dibajak segelintir elit eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan kepentingan oligarki, kita akan melihat pembangunan fisik semakin hancur seiring dengan meningkatnya biaya demokrasi padat modal.
Belum lagi Patologi politik di era refomasi mengarah kepada terseretnya kembali hamper seluruh rakyat ke dalam ranah politik. Bagi masyarakat patologi politik seperti : money politic menjelang pemilu memang tidak berdampak fatal. Namun jika patologi politik seperti ini menjangkiti pemerintah, sendi-sendi demokrasi akan melapuk, pesatnya patologi dalam birokrasi, dan saling tarik menarik kepentingan para petinggi Negara demi alasan pembagian kue kekuasaan. Walikota, Bupati, Gubernur, bahkan Presiden di era reformasi acap kali menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah.
Patologi politik seperti ini akan membangun polarisasi dalam tubuh birokrasi dan melahirkan: Pertama, kelompok loyal, memiliki konsistensi yang tinggi dalam memberikan dukungan kepada seseorang atau partai tertentu. Kedua, Kelompok oportunis. Polarisasi dalam tubuh birokrasi seperti ini akan melahirkan kesenjangan antara tubuh-tubuh birokrasi itu sendiri. Pengkutuban birokrasi tentu saja ditentukan oleh sikap pemimpin yang telah dihasilkan oleh pemilihan langsung, dalam pandangan Webber, jika pucuk pimpinan yang memengang kendali kekuasaan tidak menggunakan konsep manajerial yang objektif berdasarkan kemampuan-kemampuan individu dan cenderung mengendalikan birokrasi dengan frame politis, maka sistem birokrasi tidak akan berjalan pada poros yang semestinya.
Buku jejak refleksi menuju aksi, pengarangnya siapa dan cover warna apa bang?