Kritik Terhadap Penguasa Bukan Indignitas

Opini79 Dilihat

Posttimur.com–Kritik terhadap penguasa atau pemimpin dalam dunia politik dan kekuasaan adalah hal yang lumrah bukan sebuah penghinaan (Indignitas) dan ini sudah terjadi dalam sejarah politik. Kritik tidak bermaksud menjatuhkan, tapi membangkitkan kesadaran agar lebih bijaksana dalam memangku sebuah jabatan atau tugasnya dalam negara dan daerah yang dipimpin.

Kritik dalam terminologi Inggris merujuk kepada dua lafal, yaitu critique dan criticism. Bagian pertama lebih teoretis, sedangkan yang kedua lebih praktis. objek yang pertama lebih menekankan pada aspek teoretik berupa analisis dan asesmen terhadap suatu hal, seperti teks sastra, filsafat dan teori politik.

Kedua merupakan praktis, yakni terkait dengan ekspresi ketidaksetujuan diarahkan kepada kesalahan yang dilakukan oleh seseorang. Cara mengekspresikan ketidaksetujuan bisa dilakukan dengan berdiskusi yang berhati-hati agar dapat dilakukan penilaian dengan baik terhadap kualitas sesuatu atau seseorang. Dalam hal ini, criticism berbeda dengan suggestion.

Kritik menjadi gerakan politik ketika beberapa filsuf dan aktivis mendemonstrasikan pikirannya sebagai kritik politik kepada pengambil kebijakan. Seorang ulama ahli Fiqh al-Siyasah bernama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi pernah menyampaikan bahwa dalam setiap pemerintahan dan kekuasaan diperlukan kepemimpinan yang harus tetap berada dalam koridor syari’at dan nilai-nilai etika Islam.

Untuk mewujudkan upaya menjalankan pelaksanaan kepemimpinan tersebut diperlukan koreksi terhadap sultan atau penguasa. Koreksi itu oleh al-Mawardi diistilahkan sebagai nasihat. Oleh karena itu, dalam rangka mengoreksi penguasa, cara yang dilakukan adalah dengan memberikan nasihat kepada penguasa (al-nasihah li al-mulk).

Literatur sejarah politik dan kekuasaan dalam Islam, nasihat terhadap penguasa dilakukan oleh para ulama. Dalam memberikan nasihat kepada penguasa, para ulama menjalankannya terkadang dari luar atau dalam kekuasaan. Diriwayatkan bahwa Imam Malik, pendiri Madzhab Maliki, enggan bersentuhan dengan kekuasaan serta tidak mau terkontaminasi dengan kekuasaan.

Imam Malik termasuk pengkritik dan pemberi nasihat kepada penguasa yang memilih jalur di luar kekuasaan. Sementara itu, Imam Fakhr al-Din al-Razi termasuk ulama yang menjadi bagian dari penasihat penguasa. Imam al-Razi mengkritik dan memberi nasihat dari jalur dalam kekuasaan.

Membaca literatur sejarah politik di Barat, kritik dilakukan oleh orang di dalam sistem pemerintahan. Dilakukan oleh perorangan atau berkelompok. Orang tersebut berada di dalam sistem tubuh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat atau civil society, kemudian melakukan kritik terhadap kebijakan yang telah dijalankan oleh pemerintah atau penguasa. Kritik terhadap kebijakan, insitusi kenegaraan (presiden, anggota parlemen, menteri, perdana menteri, dan lain lain), dan juga pada pilihan politik tertentu penguasa.

Dalam konstruksi pemikiran politik yang dipengaruhi oleh tradisi Marxian ataupun Machiavellian, kritik dapat dilakukan sebagai anti ataupun ketidaksetujuan terhadap kebijakan politik penguasa. Ungkapan ketidaksetujuan tersebut bukan sekedar saran (suggestion), melainkan critique ataupun criticism.

Kritik melalui tulisan di media sosial, koran, Facebook, twitter, dan buku karya yang bersifat akademis itu hal yang biasa dalam dunia politik. Seperti sejarah yang penulis ambil dari kisah Ibnu Rusyd sang Filsuf dan potret cendikiawan yang menekuni di semua khazanah epistemologi dan Ali Syariati tokoh revolusioner dan pemberontak Iran yang mengkritik Reza Pahlavi. Ibnu Rusyd ketika menulis buku komentar atau penjelasan dari karya Aristoteles berjudul ‘De Anima’ Maka ketika berbicara tentang jerapah ia Ibnu Rusyd dituduh dengan menyatakan “Aku telah melihat jerapah di istana milik Malik Al Barbar dengan sebutan Raja bar-bar”.

Kata bar-bar inilah yang dinilai tidak menghormati sang pemimpin dan sebab itulah sang Khalifah merasa tersinggung dan marah besar, padahal sejatinya Ibnu Rusyd tidak menulis “Aku telah melihat jerapah ada di istana Malik al Barrain, ( Raja dua daratan: Andalusia dan maghribi) Dalam huruf Arab tulisan kedua dari Barrain dan Barbar memang sangat mirip sehingga orang sering keliru membacanya, akan tetapi kemarahan khalifah sudah terjadi maka Ibnu Rusyd menerima konsekuensinya.

Begitu juga Ali Syariati ia menyerang secara serempak tiga kekuatan yang dianggap menindas, Rezim borjuis ekonomi dan tokoh agama, dari ketiga itu ia sebutkan sebagai Fir’aun yang digunakan untuk melawan pemerintah penindas, kedua istilah Qorun yang merupakan simbol kelompok konglomerat penindas, sedangkan yang ketiga adalah “Bal’am baura” Sebagai serangannya terhadap tokoh ulama/pendeta dan Ruhaniyyun yang sama sekali tidak peduli arti IsIam sesungguhnya, dari ketiga kelompok ini ia ringkas dalam tiga kalimat, tamak, rakus dan penghasut. Dari pandangannya ini Ali Syariati dimasukkan oleh pihak penguasa sebagai seorang muslim Marxis yang berbahaya dan ia dimasukkan ke penjara pada tahun 1973 setelah Husainiyyah Ersyad ditutup.

Tugas dari rakyat dan kaum cendikiawan adalah untuk mengkritik penguasa yang dzalim. Sebab pemimpin dipilih berdasarkan suara rakyat yang diekspresikan melalui pemilihan umum, suara rakyat diberikan tidak dengan cuma-cuma, tetapi dengan tujuan ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat tanpa pamrih tugas pemimpin adalah untuk memberikan solusi bukan malah membebani rakyat lewat hutan dengan perpajakan, gaji pemerintah baik ditingkat presiden sampai lurah adalah hasil dari pajaknya rakyat.

Seyogyanya, rakyat menyuarakan kebenaran melalui kritik terhadap kebijakan yang meresahkan dengan alasan pembangunan infrastruktur dan memperluas wilayah otonomi daerah, hak hak rakyat dirampas melalui penggusuran atas hak tanah dan berbagai macam alasan yang disodorkan oleh pemerintah. bukankah pemimpin itu adalah pelayanan rakyat.!. Malah kebalikan rakyat yang justru menjadi pelayanan, rakyat tidak punya kuasa yang punya kuasa adalah pemegang jabatan, tanpa disadari bahwa jabatan hanyalah sebuah titipan yang harus diamanatkan, jabatan dijadikan alat penindas, sungguh dzalim rakus dan deretan cap yang kita sebutkan. Kritik pemimpin tidak hanya dengan bahasa dan nada yang lembut itu tidak akan didengarkan tapi harus dengan lantan apalagi pemimpin yang bersifat diktator.

Jika membaca literatur sejarah kekaisaran, Mesir, Romawi dan Yunani kuno terdapat pemimpin/raja yang sifatnya sangat diktator sampai berakhir dengan pembunuhan oleh lawan atau pendukungnya sendiri, Romawi yang berbentuk kerjaa sampai Negara Republik Romawi, Gaius Yulius Kaisar berkuasa pada tahun 44 SM tahun, sebagai diktator dan/atau konsul, ia terbunuh oleh Curia Pompey Roma pada 15 Maret 44 SM 55 tahun. Seperti juga kerjaan Mesir kuno kekuasaan Raja Fir’aun yang sangat diktator dan arogan sampai mengakui dirinya Tuhan dan berhadapan dengan Musa sebagai seorang Nabi dan Harun sebagai juru bicaranya , namun diakhir kekuasaan sebagai raja Mesir ia dapat ditenggelamkan di laut merah oleh kekuasaan Allah SWT lewat tongkat Musa.

Membaca semua Wisdom yang ada di Romawi, Mesir dan Yunani kuno, mengambarkan kepemimpinan yang ada sekarang , sifat kedikratoran dan melahirkan kerjaan dinasty seperti terjadi di Indonesia erah kepemimpinan presiden Soeharto dari keluarga cendana dan Jokowi dengan tipe kepemimpinan cawe cawenya. Menuai kritik dari berbagai kelangan baik Akademisi, Pengamat politik, Aktivis sampai tukang becak pun melakukan kritik. Kritik sebagai bentuk dari protes bukan bentuk penghinaan atau “Indignitas” Kata pengamat politik Rocky Gerung Akademisi Filsafat” Kita harus sinis terhadap kekuasaan, mungkin cuma itu yang kita berikan untuk negeri ini, walaupun kita miskin harta, dengan ilmu kita bisa gunakan untuk mengingatkan penguasa agar tidak dungu.

Konsekuensi dari kritik terhadap penguasa agar tidak dungu dan tidak hanya memikirkan pembangunan jalan tol tapi jalan pikiran itu lebih penting demi peradaban manusia, pengkritik juga bisa mendapatkan ancam bahkan pidana, jika itu melanggar etika” Seperti cacian sampai pada Pypel Power. Tujuan dari kritik tidak tertuju kepada personal tapi kepada kebijakan yang menabrak aturan. Perlu diingat bahwa kritik tidak memerlukan sopan santun, harusnya di bedahkan mana etika dan etiket, etika itu berhubungan dengan penilaian terhadap baik buruk tingkahlaku seseorang sedangkan etiket adalah bahasa tubuh yang melekat pada privat seseorang.

Penulis juga pernah menyinggung lewat tulisan di media sosial dan media cetak, seperti “Sudahi Dinasti politik di Maluku Utara dalam menjelang Pilkada serentak November 2024”.

Karena politik Maluku Utara kental dengan Dinasti politik yang tidak terlepas dari Kesultanan Jazirah Al Mulk, Dinasti politik akan melahirkan Nepotisme didalam kepemimpinan, tidak hanya itu , waktu mengajar ( Dosen) dikampus pernah melakukan kritik terhadap kebijakan kepemimpinan dan pelayanan di kampus, dan konsekuensinya saya dikeluarkan dari kampus secara tidak terhormat.

Penulis ingin sampaikan bahwa tujuan dari pendidikan kata Ali Syariati adalah memberontak terhadap sistem dan kebijakan yang menindas tugas cendikiawan dan intelektual yang betul betul menjaga idealismenya, sebuah kemewahan yang hanya dimiliki anak muda adalah ia selalu menjaga idealismenya (Tan Malaka), kita lihat dalam sejarah dimana keadilan ditegakkan dan diluruskan dengan pedang, seperti pada masa khalifah Umar bin Khattab yang menegur Amar bin As dengan pedang Waktu Amar bin As ingin mengusur Sebuah Gubuk milik seorang Yahudi di Mesir, begitu juga Imam Al Husein bin Ali bin abi Thalib yang menghunus kan pedang kepada Yazid bin Muawiyah yang dzalim dan penindas.

Semoga tulis saya ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bahan refleksi kepada kita semua terutama pemimpin atau penguasa. Terkahir penulis mengutip sebuah untaian Al Hadis yaitu, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpin”.

Oleh : Sahib Munawar S.Pd,I M.Pd

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *