opini.Posttimut.com. Sesungguhnya kemerdekaan adalah bebas dari kekerasan, diskriminasi rasial, dan tuduhan-tuduhan diskriminatif yang tak berdasar. Selain itu, hak berbicara dan mengemukakan gagasan merupakan bagian dari makna merdeka. Sebaliknya, selama kita masih diikat paksa oleh beragam pembungkaman-pembungkaman di depan mata, sejak itu pula arti kemerdekaan telah musnah, bahkan menjadi malapetaka kehancuran
Hari ini bangsa kita, Republik Indonesia akan merayakan upacara kemerdekaannya yang ke 79 tahun. Di depan Istanah Negara jelas dikibarkan bendera pusaka dan dibacakan teks Proklamasi oleh bapak Presiden ke-7, Ir. H. Joko Widodo. Kemeriahan pekik suara gembira bersorak riang ke langit-langit, dan terompet-terompet bergema begitu nyaring, pasti.
Sejarah mencatat, perkelahian antara bangsa-bangsa untuk merebut kemerdekaan tidak diperoleh secara gratis. Sehingga kita mengenal Tirto Adhi Soerjo, Muhammad Yamin, dr Soetomo, Muhammad Hatta, Sekarno, dan lain-lainnya sebagai pahlawan. Pada 17 Agustus tahun 1945, bapak proklamator Nusantara, Soekarno Hatta, telah membacakan Undang-Undang Dasar yang pertama kali dengan saksama. Tegas isinya “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”.
Bagaimana kah kebahagiaan hari kemerdekaan itu dirasakan di mata orang asli Papua.? Kita sebagai bangsa yang punya sejarah besar berabad-abad dijajah dan telah merdeka, tidak boleh naif terhadap kenyataan-kenyataan yang hidup di atas tanah Papua saat ini. Kekerasan, penderitaan, pengungsian, penganiayaan, pemerkosaan, penculikan, perampokan sumberdaya alamnya, pembunuhan, ditindas, didiskriminasi rasial, hingga dihancurkan budayanya. Bahkan melihat kekejian tersebut, air mata kita sekalipun mampu menetes, tak akan sanggup dapat membayarnya.
Pertempuran senjata yang seakan-akan tak kenal akhir di hutan pengunungan Papua hingga detik ini, hanya karena mereka mempertahankan tanahnya, berbuntut panjang pada tuduh-tuduhan seperti “kelompok kriminal bersenjata (KKB)”, “Teroris” dan “separatisme”. Diskusi-diskusi dan demonstrasi-demonstrasi damai yang diselenggarakan mereka pun, ditafsirkan melanggar aturan, ketertiban, melawan negara, makar, pengkhianat bangsa bahkan dipenjarakan dan dijadikan tahanan politik (TAPOL). Hal inilah yang selalu disiarkan oleh Mahasiswa Papua di akun mereka, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), ditulis oleh media Lao-Lao~Papua, dan dijadikan salah-satu tuntutan unjuk rasa mahasiswa yang bertajuk Reformasi Dikorupsi pada akhir tahun 2019.
Sudah 79 tahun Republik ini berdiri, bebas dari kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Tetapi selama itu pula di mata orang asli Papua Republik ini tidak beda dengan kolonialisme dan fasisme yang mengeruk sumberdaya alam dan menjarah manusia ber-ras seperti mereka.
Kita sepertinya sudah tidak punya malu lagi menjadi generasi pewaris kolonial.? Sangatlah tidak arif sebagai satu bangsa, tanah air dan bahasa yang kaya raya, besar sejarahnya, beradab dan manusiawi, sebagaimana yang dikukuhkan di dalam UUD 1945, betapa mendamba-dambakan perdamaian daripada agresi militer tetapi nihil, ribuan militerisme dikirim ke tanah Papua. Sebagaimana berita-berita di dalam surat kabar Tempo.id yang perkasa itu (https://majalah.tempo.co/tag/operasi-militer-di-papua). Padahal orang Papua selalu menginginkan dialog terbuka untuk salah-satu solusi yang demokratik bagi mereka, tetapi tidak pernah ditunaikan sampai hari ini. Malah, orang asli Papua makin hari makin berkurang karena ditembak, diperkosa dan dianiaya.
Sejarah bangsa kita sudah terang menulis, sejak dahulu cita-cita bangsa adalah beradab dan berkemanusiaan, sehingga yang dituntut ialah merdeka daripada penjajahan, perdamaian daripada agresi militer, dan demokrasi daripada anti demokrasi. Inilah yang kemudian disebut “sikap” dan impian menjadi satu bangsa yang benar-benar merdeka, tanpa ada penjajahan, dijajah ataupun menjajah.
Apa yang kita harapkan dari bangsa ini, pada pemimpin-pemimpin negeri, pusat sampai daerah.? Tentu saja sejarah mengajarkan kepada regenerasi yang rajin membaca, bahwa berdirinya bangsa adalah untuk mandiri dan demokratik. Sejarah pun memberikan pengetahuan yang akbar dimana kita semestinya saling berpeluk daripada berkelahi, tetapi harus melawan kekejaman kolonialisme dan militerisme, hancurkan rasisme dan sisa-sisa feodal. Supaya beradab dan manusiawi sebagai satu negeri yang benar-benar merdeka. Itulah yang harus dilakukan oleh generasi ini, agar dapat bersikap jauh lebih demokratik pada orang-orang Papua.
17 Agustus, 2024.
Oleh : Husen Ali
Pengurus : Depertemen Pendidikan Dan Propaganda (DPP) Pusat perjuangan Mahasiswa Untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) Wilayah Maluku Utara
Editor: Teluk
Reporter: admin