Kilas Balik Hari jadi Kecamatan Pulau Moti; 2 Dekade Penting Orang Moti & Tanahnya

Opini52 Dilihat

POSTTIMUR.Com_Pulau Moti adalah salah satu dari deretan pulau-pulau yang berada di kepulauan Halmahera yang terletak di sebelah barat Pulau Halmahera, pulau-pulau tersebut antara lain adalah pulau Ternate, Tidore, Mare, Makean, serta pulau-pulau lain yang terletak di sebelah Selatan, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Ternate No. 10 Tahun 2001, Pulau Moti terbentuk sebagai sebuah Kecamatan definitif pada tanggal 15 Agustus 2001-2008, secara administratif Pemerintahan pulau moti masuk di dalam Kota Ternate. Luas Pulau Moti sekitar 24,6 km2 dan tergolong telah dihuni sejak lama seperti pulau lain di dalam wilayah Kota Ternate.

Tentang orang-orang moti dan tanahnya berkisah tentang “cerita dari dapur orang moti” yang di tuliskan oleh rindu hartoni capah (2017); Pulau moti atau di kenal dengan nama “kie tuanane” sebagai pengayom, atau menjadi “dapur” besar untuk orang-orang yang tinggal di wilayahnya untuk kebutuhan bersama, dapur menunjukan cara-cara dan cerita konsumsi hari-hari masyarakat. Pulau ini memiliki unit-unit satuan ekologinya, seperti sungai, bukit sebagai pungung, pesisir sebagai kaki, dan laut sebagai teras. Gunung menjadi tumpuan berlangsung aktivitas kehidupan, bermukim dan beranak pinak, kie tuanane menjadi ibu yang setiap saat mengayomi anak cucunya. Ia mengalirkan air, menghidupkan tumbuhan dan tanah yang subur. Dalam setiap satuan itu, daur sosial, yakni alam manusia, bekerja melanjut hidup. Kie tuanane juga menjadi cerita banyaknya orang datang menempatinya. Seperti yang terjadi di tahun 1988-an gunung kie besi (pulau makean) meletus, banyak orang-orang makean melakukan pengungsian di sini, hidup dan menetap dengan berkebun mengelola tanah.

Makna di balik cerita di atas menggambarkan ikatan kuat orang moti dengan tanah yang subur, orang-orang hidup dengan kekayaan yang tersedia maupun yang di tanam, banyak tanaman-tanaman seperti ubi, jagung, coklat. Dari punggung bukit, orang-orang moti biasa menyebutnya “buku”, di buku, waktu panen tiba, orang-orang membuat rumah kebun atau “fola gura” di dekat kebun-kebun milik mereka, bermalam untuk memanen hasil perkebunan, ketika pulang membawa hasil panen, nanti ketika pergi ke buku mereka membawa bekal seperti kebutuhan beras, ikan dan kebutuhan yang lain. Biasanya yang bermalam dilakoni oleh laki-laki, perempuan biasanya pergi ke hutan setiap hari dan pulang pada petang hari. Begitulah Relasi hutan bagi orang-orang moti sebagai penopang hidup, menjaga keseimbangan alam dan juga sebagai penyedia bahan makanan.

Jika ditinjau dari pemanfaatan tampak sebagian besar kawasan pulau ini telah digunakan sebagai ladang pertanian lahan kering, kebun pala (Myristica Fragans) dan cengkih (Syzygium Aromaticum), di beberapa tempat kedua jenis pohon ini suda tumbuh besar dengan diameter pohon lebih dari 40 cm. Memang secara alamiah pala dan cengkih merupakan tumbuhan asli kawasan ini (Backer dan Bakhuizen Van Den Brink, 1968), sehingga tidak mengherankan jika kedua jenis ini cukup mendominasi di kawasan ini. Identifikasi terhadap citra Satelit Ikonis menunjukan bahwa indeks vegetasi cukup tinggi, karena hampir seluruh Pulau Moti tertutup dengan tetumbuhan, baik yang tumbuh liar maupun yang ditanam (Utaminingrum, 2010). Namun jika dilihat dari data statistik, produktifitas hasil pertanian dan perkebunan kawasan ini masih rendah, tidak banyak komoditas pertanian dan perkebunan diusahakan disini, kalaupun diusahakan, produksinya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Kota Ternate (Kantor Statistik Kota Ternate, 2008).

Tahun ini, Pemerintah Kecamatan Pulau Moti tampil dengan ambisi yang berbeda, selain merayakan HUT Republik Indonesia (RI) Ke-79 Tahun, juga mengadakan perayaan Hari Jadi Kec. Pulau Moti yang ke-23 Tahun tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2024. Hari jadi kecamatan sebenarnya tidak pernah di buat pada tahun-tahun sebelumnya, baru di tahun ini di gelar. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah Kecamatan Pulau Moti dalam menjalankan kepanjangan tangan wilayah kerja Pemerintah Kota Ternate suda berjalan cukup lama jika terhitung sejak tanggal ditetapkan. Sebagai bagian wilayah dari Kabupaten/Kota yang di pimpin oleh Camat yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2018. Selama 23 tahun berjalannya roda Pemerintah Kecamatan di Pulau Moti bagi saya penting membongkar tentang deretan masalah yang terjadi sebelum-sebelumnya, di tengah-tengah masyarakat Moti belum semaksimal mungkin menikmati hasil pembangunan secara adil, terindikasi bahwa hari jadi kecamatan pulau moti tidak pernah menyentuh sama sekali tentang semua ini.

Dalam momen Hari Jadi Kecamatan Pulau Moti yang sangat meriah ini, saya perlu membuat sebuah tulisan untuk menguraikan beberapa data-data riset maupun isu yang muncul dalam narasi Pembangunan, dan melekatkan dengan masalah kemiskinan atas konsentrasi penguasaan tanah yang tidak optimal oleh Pemerintah Kecamatan Pulau Moti sampai pada pelaksanaan sejumlah proyek dengan dalih pembangunan ekonomi Pemerintah Kota Ternate yang dari dulu sampai sekarang masih timpang. Pulau Moti merupakan satu dari ketiga pulau terluar yang masih berstatuskan sebagai pulau yang tertinggal, terbelakang yang berada di Kota Ternate, berbeda dengan wilayah kecamatan lain dengan Pembangunan yang lebih terealisasikan. Perhatian Pemerintah Kota Ternate terhadap pulau ini sangat kecil sehingga pertumbuhannya cukup lambat, sementara masyarakat moti terus di ikut sertakan dalam iming-iming kemajuan yang menjanjikan oleh narasi kemajuan pembangunan dari pemerintah yang terus diprogramkan lewat program-program aksi dari berbagai kelompok politik dan kepentingan; elit politik, partai politik, lembaga pembangunan yang dikaitkan dengan politik kekuasaan dan kebijakan pemerintah sebagai isu Kemiskinan yang menjanjikan dalam pertarungan politisi yang sekedar memerlukan dukungan massa di perkampungan, premis ilmiah yang terkandung di dalam program mereka memudahkan mereka Menyusun “janji-janji” politik tentang perubahan sosial dan keadilan.

Beberapa penelitian telah menunjukan tingkat pemanfaatan di wilayah Kecamatan Pulau Moti memang terindikasi sangat kecil, terbatas dan pemberdayaannya pun cukup sempit. hal ini perlu untuk di baca. Sebagai pulau yang berukuran sedang (24,6 km2), Pulau Moti memiliki sumber daya alam yang cukup untuk mendukung pembangunannya, untuk maksud tersebut pengunaan tanah maupun lahannya harus ditata sehingga dapat mendukung secara mandiri kebutuhan masyarakat setempat dengan aman dan berkelanjutan. Dengan demikian produktifitasnya dapat lebih ditingkatkan dengan tanpa menggangu kualitas sistem ekologi setempat, ketergantungan akan pangan yang mengakibatkan biaya hidup tinggi dapat dihindarkan sehingga produk yang dihasilkan oleh Masyarakat setempat selain untuk menunjang kehidupan juga dapat disisihkan Sebagian untuk meningkatkan kualitas sumber daya Masyarakat setempat baik dari segi ekonomi, Tingkat sosial dan pengetahuan melalui Pendidikan yang lebih baik (Roemantyo, 2010).

Lebih jauh lagi dari penelitian Roemantyo diatas, pemanfaatan lahan di beberapa kelurahan telah diperuntukan dengan fungsi yang berbeda-beda, seperti yang di sajikan oleh Roemantyo (2010) dalam penelitiannya, lahan terbuka atau lahan yang tidak atau belum di manfaatkan, lahan-lahan terbuka di kelurahan moti kota umumnya terletak dari ketinggian 45 hingga 520 m dpl yang ditelantarkan atau lahan yang dipersiapkan untuk dibangun gedung. Sedangkan di kelurahan lain seperti tadenas, tafaga, tafamutu, figure, dan takofi terletak pada ketinggian kurang dari 130 m dpl yang cenderung untuk dipersiapkan kebun atau ladang (lbid). Jika kita lihat secara pengunaannya, sebagian besar kerja infrastuktur terdapat di Kelurahan Moti Kota, karena wilayah ini merupakan pusat Pemerintah Kecamatan. Namun pembangunannya tidak banyak di kerjakan di sini.

Selama dua dekade terakhir, kita telah melihat terkait sejumlah isu pembangunan yang melibatkan sejumlah kelompok sosial, termasuk mahasiswa, atas ketidak meratanya program, proyek pembangunan di kecamatan pulau moti. keterlibatan itu, klaim penting terkait dengan pembangunan atas kegagalan Pemerintah Kota ternate serta dilema oleh pemerintah Kecamatan Pulau Moti. Permasalahan ini juga yang suda di uraikan diatas sangatlah khas orang-orang moti, masyarakat terluar di kota ternate, seperti Batang Dua, Hiri, Moti (BAHIM). Masalah pembangunan terkait dengan infrastruktur seperti jalan kecamatan, pembangunan talud penahan ombak, dampak dari masalah ini nyaris membuat gedung-gedung seperti sekolah, kantor KUA, kantor lurah terbawa oleh ombak, sampai saat ini tidak ada langkah dari pemerintah kecamatan.

Dalam menguraikan beberapa temuan riset dan isu mengenai dengan pembangunan diatas yang berkaitan dengan tema saya diatas, bahwa prosesnya yang mencolok terkait dengan ketidakmerataan yang ekstrim dan berkepanjangan. Akibatnya, karakter yang sesungguhnya lekat dengan tradisi, adat, dan norma dalam corak produksi lama kesehariannya, seiring waktu karakter tersebut terus memudar dan kalaupun sebagainya masih ada saat ini, maknanya telah berubah. Perubahan terjadi dari makna penguasaan teritori berdasarkan sejarah dan hukumnya yang mereka yakini bersama, menjadi hanya pemaknaan Artificial seperti yang Nampak dari pengunaan ungkapan-ungkapan tentang keaslian, komunitas, keharmonisan, ketertiban dan keadilan. Inilah yang disebut oleh Hobsbawn dengan istilah ‘invented traditional’ (Hilma safitri, 2019). Masyarakat Moti sebagai orang-orang yang terikat erat dengan tanah dan komunitas mereka, komoditas lokal yang tumbuh alamiah di sepanjang luas lahan milik mereka, dan sumber-sumber kekayaan lain ternyata tidak lagi mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. ‏

Pergeseran kekuatan komunal hampir tidak lagi ditemukan dalam tradisi nelayan orang-orang moti, di atas tanah milik mereka terdapat kesulitan mengakses pangan terus terjadi di beberapa kelurahan. Kelurahan moti kota paling rentan kesulitan berkaitan dengan pangan. Pola pembangunan dari Pemerintah Kecamatan menurut saya tidak atau belum sampai pada titik pertumbuhan ekonomi secara kuat di kalangan masyarakat bawah, apa yang saya sebutkan diatas berkaitan dengan penelitian sebelumnya, bahwa penataan pola pengunaan tanah harus di tata kembali agar kemandirian dalam sisi pembangunan untuk menopang beberapa kekhwatiran kehilangan akses terkait sumber-sumber kehidupan terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak ada program yang kuat dari Pemerintah Kecamatan yang mengikat kembali tanah dengan masyarakat serta tidak didukung oleh reproduksi terkait alat-alat penunjang yang lain.

Sehingga luapan tulisan ini tentang hari jadi pulau moti yang ke 23 tahun adalah pengingat kembali tentang kisah dan cerita orang-orang moti yang tidak mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan pertumbuhan dari sisi pembangunan telah di hapus dari ruang kerja pemerintah kota, maupun ruang kerja pemerintah kecamatan. Bisa di bilang bahwa ini bukan kali pertama, keresahan masyarakat moti tentang semua masalah yang ada, tapi suara-suara itu tidak pernah di dengar oleh pemerintah, sementara masyarakat selalu berpartisipasi dalam program-program yang di turunkan.

Editor: uuu

Reporter: Riski

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *