POSTTIMUR.COM, OPINI. Post-Truth begitulah kira-kira sapaan yang kerap berseliweran di ranah akademik untuk melabelisasi periode kontemporer saat ini. Kita seringkali dicekoki dan diwejangi oleh kerangka analisa tersebut, sehingga aspek kuriositas dan probabilitas kita menjadi stagnan dan tidak bertumbuh. Alhasil upaya untuk melacak serta menalar status ontologis dari periode saat ini pun menjadi buram. Dan situasi ini pun hampir tergambar jelas seperti terminologi Franz Fanon yaitu “ Kolonialisasi Otak“.
Dan hal ini pun berimbas menjadi ketidakproduktifan seseorang terhadap sebuah diskursus. Dan penulis melabeli ini sebagai gejala “ Kaum Konsumerisme Akademik “. Jikalau masyarakat konsumerisme seringkali ditandai dengan ( Hanya Mampu mengonsumsi sebuah produk tanpa mampu produktif untuk membuatnya ). Maka gejala “ Kaum Konsumerisme Akademik “ yaitu ( Hanya mampu mengonsumsi konsep dan teori, tanpa mampu membuat analisis dan anti-tesa perbandingan. )
Melabelisasi ini ialah era Post-truth ( Pasca Kebenaran ) sama hal-nya mengandaikan bahwasannya eksistensi kebenaran dan nilai-nilai kehidupan telah tertotalisasi serta terhegemoni secara menyeluruh, sehingga membangun sebuah pesimisme. Bagi penulis eksistensi kebenaran akan nilai-nilai kehidupan masih bisa dideteksi dan dilacak, melalui kerangka analisa kritis dan post-strukturalisme-lah maka kita bisa menemukan pengendalian nilai-nilai kebenaran terhadap kehidupan berdasarkan struktur-struktur world View (Pandangan agitasi dan propaganda Dunia).
Berangkat dari otokritik tersebut, maka penulis perlu memproklamirkan sekali lagi bahwasannya ini ialah Era “ Controlling The Truth “ ( Kebenaran yang dikontrol serta dikuasai ) yang berjalan beriringan bersama modernitas dan gemuruh teknologi. Tentu pelabelan yang penulis berikan bukanlah hanya sebuah abstraksi dan isapan jempol belaka, tetapi analisis tersebut berangkat dari situasi dan realitas objektif di era modernitas.
Untuk menuju pada contoh konkrit setiap aktivitas keseharian kita yang dikontrol dan dikuasai untuk akumulasi modal kapitalis, maka diperlukan terlebih dahulu untuk menganalisis status ontologis di era saat ini. Sebenarnya Ada 2 hal yang perlu kita sisihkan dan pisahkan agar mendapat rentetan mengenai penjelasan-nya. Yang pertama ialah Keberadaan yang bersifat “Being“ yaitu keberadaan yang secara alamiah serta tidak mungkin diciptakan. Dan manusia berada dalam status ontologis yang bersifat “ Being “ yaitu keberadaan yang secara alamiah dan manusia itu sendiri tidak bisa diciptakan.
Kemudian yang kedua ialah keberadaan yang bersifat “Seeming” yaitu keberadaan yang bersifat rekaan dan hasil pengkondisian zaman. Dan pada konteks ini maka, perkembangan tekhnologi serta modernitas termasuk di dalamnya, sebab ia merupakan hasil pengkondisian zaman.
Namun pada Era “Kontroling The Truth ( Kebenaran yang dikontrol dan dikuasai ) “ saat ini. Hal yang terjadi ialah sebaliknya, yaitu seluruh kebenaran di fraiming melalui World View ( Pandangan agitasi dan Propaganda Dunia ) agar seolah-olah keberadaan tekhnologi dan modernitas ialah bersifat alamiah mendahului manusia. Lalu model keberadaan manusia ialah “ Seeming “ hasil pengkondisian zaman. Dan harus mengikuti laju gerak tekhnologi sebab jikalau tidak maka ia akan tergilas oleh laju-nya zaman.
Alhasil di era ini manusia kehilangan kepercayaan akan keberadaan dirinya sendiri dan mengalami krisis identitas.
Gambaran konkretnya di ranah pendidikan, Ketika seseorang disuguhkan sebuah tugas atau pekerjaan maka hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek kuota dan jaringan internet untuk membantu-nya. Ia enggan melakukan hal sebaliknya yaitu menggunakan kapasitas akalnya sendiri dan pengetahuannya, serta menyelami buku bacaan.
Alhasil kecerdasan manusia telah digantikan oleh kecerdasan buatan. jaringan Neuron otak manusia telah digantikan oleh jaringan internet serta teknologi. Kontrol kesadaran dan kebenaran semacam inilah yang sengaja dipasok dan akhirnya membuat manusia terbuai dan terlelap. sehingga fungsi otak sebagai kegiatan untuk berfikir menjadi pasif dan tidak terlalu penting. Keadaan inilah yang telah direnungkan oleh franz Budi Hadirman sebagai Kontrol dan Modifikasi perilaku ( Baca aku klik maka aku ada).
Tak hanya otak saja, bahkan organ-organ tubuh kita yang lain pun mengalami disorientasi dan tercerabut dari fungsi-nya.
Ketika kita berangkat ke sekolah atau ke kantor atau ke kampus maka hal pertama yang kita cek ialah kendaraan bermotor kita. Dan kita enggan melakukan hal sebaliknya yaitu mengecek keberadaan kaki kita yang fungsi-nya sama yaitu untuk berjalan. Alhasil kita enggan berangkat ke sekolah, ke kantor, atau ke kampus jikalau tidak memiliki kendaraan. Dan keberadaan kaki kita hanyalah ornamen dan hiasan semata, sebab penggunaannya mulai berkurang dan pasif.
Mungkin inilah saat yang tepat untuk menggunakan gambaran dari sebuah adagium Karl Marx yang menyatakan “ Terlalu banyak barang-barang berguna diciptakan membuat manusia menjadi tidak berguna “. Dan konsep alienasi-nya pun tergambarkan dengan jelas yaitu manusia terasingkan dari keberadaan-nya sendiri.
Demikianlah gambaran di era “ Controlling The Truth ( Kebenaran Yang Dikontrol dan dikuasai) saat ini. Semua kebenaran mengenai fungsi dan peran manusia telah sengaja di fraiming dan dikontrol, melalui setting sosial . sehingga fashion, selera, kebudayaan, serta pendidikan ialah hasil setting sosial untuk akumulasi kapital.
Gambaran inilah yang disebutkan oleh Michael Foucault sebagai “ Capitalism Survalience “ atau teknik pengawasan dan kontrol kapitalisme terhadap tiap-tiap individu. Dan wajah kekuasaan telah berevolusi dari yang awalnya despotic telah bertransisi menuju kepada disipliner.
Editor: uuu
Reporter: Tim