Qabil Dalam Jelmaan  Manusia Modern Menurut Ali Syariati

Opini116 Dilihat

 

Oleh Asyudin La Masiha, Kader FORSAS-MU, Instruktur HMI Cabang Ternate dan Mantan Presiden Mahasiswa Unkhair

Posttimur.com–Kita perlu kembali menelisik realitas sosial dengan basis historis, hal demikian memungkinkan kita untuk mengetahui bagaimana jalur jalannya sejarah umat manusia dengan segala model bentukan zamannya. Tak semata bagaimana memotret perubahan namun juga menemukan bagaimana pola dan bentuk perubahan itu terjadi serta menemukan realitas sosial dari suatu masyarakat dan zaman. 

Manusia sebagai makhluk yang menyejarah, di takar berdasarkan rasionalitas tindakannya baik pada dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Kehendak bebas yang dimiliki manusia dalam berbuat, menjadikannya sebagai satu-satunya makhluk yang berperadaban. Namun tak jarang, peradaban yang dihasilkan tidak mampu mempertahankan eksistensinya, hanyut dalam pusaran perubahan yang dihasilkan oleh perbuatan generasi setelahnya. 

Akan tetapi dari apa yang dikehendaki, perubahan sejarah umat manusia dan realitas sosialnya memiliki kecenderungan pola yang sama, bahkan deterministik dan saling kontradiksi. Pikiran dan pandangan adanya kontradiksi dalam sejarah dikemukakan oleh Ali Syariati, menurutnya sejarah adalah aliran peristiwa yang berkesinambungan yang didalamnya ditemukan kontradiksi dialektis, pertarungan konstan antara dua anasir yang saling berlawanan. Pertarungan yang terus berlangsung dalam segenap ruang dan waktu, total peristiwa itulah yang merupakan sejarah, menjadi sejarah umat manusia (Ali Syariati, 2001; 89). Dari apa yang dikemukakan oleh Ali Syariati, rupanya ia menghendaki pemahaman sejarah beraliran dialektika-dialektika sejarah. 

Pandangannya tentang dialektika sejarah, berangkat dari analisisnya atas peristiwa dua keturunan Nabi Adam as, yakni Habil dan Qabil. Menurutnya pertarungan antara kedua sosok itu adalah pertarungan yang terus menjelma dan berlangsung dalam sepanjang sejarah umat manusia dalam bentuk dialektika sejarah. Ali Syariati memperlihatkan bahwa kontradiksi keduanya adalah kontradiksi antara kejujuran, damai dan rela berkorban yang direpresentasikan oleh Habil dengan pemuja nafsu, durhaka dan pembunuh saudaranya yang dikarakterkan oleh Qabil (Asran Salam, 2020; 91-92).

Lewat uraian di atas, Ali Syariati dapat ditempatkan sebagai seorang pemikir sosial konflik. Akan tetapi perlu ditegaskan di sini bahwa konflik yang dimaksudkan jelas berbeda sebagaimana dipahami oleh Karl Marx. Meski sama-sama berangkat dari kontradiksi-konflik sebagai basis kajian, keduanya berbeda dalam analisis. Jika Marx mengurai dalam sejarah manusia terjadi pertentangan determinis antara kaum borjuis dan proletar dengan basis pertentangannya adalah ekonomi, Ali Syariati memandang konflik dari peristiwa Habil dan Qabil adalah pertentangan antara kebenaran melawan kebatilan. Di sinilah objek kajian yang menjadi pembeda antara konflik yang dipahami Marx dengan kecenderungan materiil sebagai motif pertentangan dengan Ali Syariati yang lebih inmateriil. 

Dalam konstruksi sejarah dan setting sosial yang dilakukan Ali Syariati, menghendaki kita untuk mengetahui karakteristik dari bentuk Qabil modern di mana yang dimaksudkan bukan pada sosok manusianya melainkan watak, sifat dan sistem. Menurutnya karakter Qabil selalu menghiasi lorong ruang dan waktu sepanjang sejarah manusia dan tiada absen dari kehidupan sosial. Mengapa Ali Syariati melakukan itu? Tak lain dimaksudkan agar kita dapat menempatkan posisi, apakah kita berdiri dan berpegang pada Habil ataukah pelanjut dari Qabil.

Personifikasi pertama, adalah Qarun yang dalam sejarahnya digambarkan sebagai seorang yang miskin lalu memperoleh kekayaan lewat Nabi Musa karena dimintainya untuk didoakan agar menjadi kaya. Semua yang dikehendaki dapat dibeli, harta yang diperolehnya menjadikan dirinya lupa daratan dan buta hati. Tak sebatas itu, harta yang dimiliki menjadikan dirinya pelit, serakah, eksploitatif bahkan monopolistik. 

Di era modern ini, karakter Qarun menjelma dalam sistem yang dikenal dengan kapitalisme di mana swasta memainkan peran penting dalam sistem perniagaan dan pasar. Sejak mula munculnya merkantilisme (merchand=pedagang) lalu muncul konsep laissez-faire (pasar bebas) yang dipromotori oleh Adam Smith hingga revolusi industri yang meletus di Eropa dan sampai sekarang, kapitalisme selalu dapat menyesuaikan diri bahkan lebih masif lagi lewat pemaksimalan teknologi. 

Kapitalisme dapat dikatakan sebagai sebuah sistem yang tahan banting karena mampu menyesuaikan dengan perubahan zaman. Diantara kehebatan kapitalisme adalah kemampuannya melakukan adaptasi. Sejak mulai dari abad ke-15 hingga abad 21 ini, kapitalisme terus eksis ditandai dengan merubah wajah baru atau lebih dikenal dengan istilah kapitalisme lanjut yang terjadi pada paruh waktu abad 20. Di fase ini, kapitalisme melakukan adaptasi lewat lembaga-lembaga korporasi yang diciptakan di mana tidak semata industri manufaktur melainkan juga bergerak pada jasa dan informasi. Kondisi tersebut nampak pada pembentukan MultiNational Corporation/Transnational Corporation (MNC/TNC) sebagai langkah dalam upaya ekspansi dan dominasi dunia lewat kecanggihan teknologi serta orientasi ekonomi global. Lembaga korporasi yang  didirikan sebagai bentuk penegasan bahwa sistem ekonomi tidak dikontrol oleh negara melainkan pengusaha-pengusaha yang bermodal besar. Tak sampai di situ, World Bank, /IMF, dan WTO sebagai organisasi dunia didirikan dengan maksud menjadi kaki tangan dalam mengoperasikan sistem yang menopang akumulasi modal yang diinginkan dan terutama untuk tetap memegang kendali pada negara-negara yang baru merdeka atau biasa disebut sebagai negara dunia ketiga (Asran Salam, 2020;94-97). 

Bahkan lebih jauh di era sekarang, kapitalisme lebih mudah melakukan akumulasi modal dengan teknologi informasi-peran media. Desain iklan yang sarat akan kajian psikologi, budaya dan sosial menjadi injeksi eksploitasi, merubah struktur psikologi dan perilaku khalayak lalu berkecenderungan pada keyakinan yang tinggi dari apa-apa yang ditampilkan media. Khalayak dicekoki dengan nilai-nilai prestise sosial seperti kemewahan, kebanggaan dan kehormatan yang semuanya dimaksudkan untuk mengangkat nilai hidup bersosial (gaya hidup).  Kondisi inilah yang melatarbelakangi lahirnya masyarakat konsumtif di mana masyarakat dikontrol dalam hal apa yang akan dikonsumsinya, dan hampir sebagian dari kita tidak menyadari itu.

 Personifikasi yang kedua adalah Fir’aun. Siapa yang tak mengenal sosok fenomenal ini, yang bahkan kisahnya diabadikan sepanjang masa. Sosok manusia dengan kekuasaan yang dispotik, tiranik juga hegemonik bahkan dengan kekuasaannya ia menyamai dirinya sebagai tuhan. Sosok ini merupakan teman baik Qarun, bahkan jika ada yang memusuhi Qarun akan habis dibasmi olehnya. 

Kekuasaan Fir’aun adalah kekuasaan yang eksploitatif dan mementingkan diri sendiri, kekuasaanya adalah virus yang berakibat pada matinya realitas sosial. Di era sekarang, bayang-bayang kekuasaan Fir’aun keberadaanya dalam bentuk yang lebih halus atau dalam pandangan Zakiyuddin Baidhawy kekuasaan Fir’aun yang despotik, tirani dan hegemoni menampakkan dirinya dalam kebijakan developmentalisme dan modernisasi oleh pemerintah Amerika di masa Harry S. Truman terhadap dunia ketiga dalam rangka menguatkan posisinya, dimana menimbulkan daya rusak pada setiap negra yang menganutnya lebih-lebih pada ketergantungan (Zakiyuddin Baidhaway, Riset Book, 2007).

Jika kita menengok di Indonesia, kebijakan tersebut dipraktekkan oleh Presiden Soeharto dalam bentuk pembangunan berjenjang (PELITA). Hal demikian jelas terlihat dari aktivitas industrialisasi ekstraktif yang bersifat eksploitasi alam tiada batas bahkan sampai sekarang. Kekuasaan demikian tak menghendaki perlawanan, bila ada akan berujung persekusi dan penculikan.

Rupa lainnya adalah Haman yang dikenal dengan keintelektualannya di masa Fir’aun. Seorang ilmuwan namun segala bentuk pikiran dan tindakannya semata diperuntukan memperkuat kekuasaan Fir’aun. Di era modern khususnya di Indonesia, karakter ini nampak pada situasi dan kontestasi poolitk. Banyak intelektual saling sikut, berlomba beradu argumen menciptakan rasionalisasi guna menopang kekuasaan agar tetap stabil dan berkelanjutan. Tak masalah meski itu adalah kekuasaan yang eksploitatif dan menindas asalkan tidak menyangkut dan mengganggu kepentingan diri dan koleganya. 

Wujud kerja dari keberpihakan intelektual demikian adalah melakukan riset dan melangsungkan seminar-seminar yang membenarkan apa-apa yang dilakukan oleh kekuasaan. Segala pikiran dikonsentrasikan guna mempertahankan kekuasaan yang dibelanya baik pada pembangunan, ekonomi maupun budaya. Bahkan lebih jauh, semata melegitimasi kerja-kerja intelektualnya, lembaga-lembaga pengetahuan dihadirkan dengan modal yang bersumber dari kekuasaan. Alhasil berakibat pada hilangnya objektivitas (kebenaran) realitas akan buruknya kekuasaan karena terbayangi oleh kepentingan membela penguasa. 

Sejatinya keberadaan kaum intelektual dalam masyarakat patutlah disertai kesadaran dirinya serta kesadaran akan tanggung jawabnya terhadap realitas sosial yang timpang dan menindas. Seorang intelektual mestilah menjadi figur dari seorang ideolog, hadir dalam realitas rakyat, berbicara dengan bahasa rakyatnya, membangun kesadaran rakyat, mengkonsolidir dan berjuang bersama rakyat. 

Namun nyatanya tidak demikian, sungguh realitas yang mencederai dunia intelektual. Pengetahuan yang sepatutnya hadir sebagai kontrol atas kekuasaan yang menindas rakyat, justru sebaliknya menjadi legitimasi terhadap kekuasaan. Ia bekerja hanya untuk menjaga status qua lewat fakta yang direkayasa, data-data yang dimanipulasi. Seakan mencerminkan perilaku melacur dalam dunia intelektual, terjadi pengkhianatan intelektual. Padahal sepatutnya seorang intelektual hadir dengan  kebenaran, prinsip dan integritas bahkan tak gentar dihadapan kekuasaan. Meminjam bahasa Edward W. Said, “kaum intelektual merupakan aktor pencipta bahasa kebenaran terhadap penguasa” (Muhammad Jusrianto, 2023; 88).

Terakhir dari personifikasi Qabil di era modern ini adalah Balam. Kepiawaiannya dalam khotbah keagamaan, menjadikan itu sebagai legitimasi  pembenaran atas segala bentuk tindakan menindas yang dilakukan oleh penguasa. Kepandaiannya dalam agama dipergunakan sepenuhnya memanipulasi dan mendistorsi keyakinan rakyat bahkan mengorientasikan itu pada sesembahan baru, UANG DAN KEKUASAAN. 

Jubah kebesarannya hanya untuk memperkaya diri, fatwa-fatwa berhamburan semata meninabobokan rakyat dan menyenangkan penguasa. Agama ditangan orang-orang demikianlah yang kritik Karl Marx lewat ungkapan fenomenalnya bahwa agama adalah candu. Agama kehilangan “ruh kesadaran dan pembebasan” karena dipecundangi oleh kekuasaan, kebijakan serta sistem ekonomi yang eksploitatif dan menindas. Tak aneh jika agama justru menjadi persoalan ritus semata bahkan menjadi komoditas politik dan ekonomi. 

Padahal sejatinya agama harus memainkan peran kritik sosial, menjadi benteng pertahanan dan senjata melawan penindasan, memperjuangkan kepentingan kaum-kaum termajinal dan tertindas. Sayangnya, “surga” sebagai tujuan menjadi senjata manipulasi kesadaran, menjadi obat bius sehingga rakyat terlelap dalam kemelaratan dan tertindas tanpa disadari. Surga menjadi dalil sebagai imbalan akan sikap sabar atas kondisi yang dialami dan menerima itu semua sebagai takdir dari Tuhan.

Demikianlah gambaran personifikasi Qabil dalam Qarun, Fir’aun, Haman dan Balaam dalam realitas sosial sejarah umat manusia. Ia hanya berganti sosok namun sistem, pola dan modelnya masih sama hingga sekarang. Semoga setiap dari kita dapat menjadikan sejarah sebagai ikhtiar dalam menata perilaku diri dan kehidupan sosial yang tidak mencerminkan perilaku sebagaimana diulas tulisan ini. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *