Oleh : Asyudin La Masiha, Keder Forsas, Instruktur HMI Cabang Ternate dan Mantan Presiden Mahasiswa Unkhair
“Memperjuangkan kemanusian adalah jalan menjalin hubungan ‘intim’ dengan Tuhan, karena Tuhan dapat ditemukan dengan memperjuangkan Kemanusiaan….
Arsan Salam
Posttimur.com–Keberadaan manusia di dunia pada prinsipnya adalah menunaikan tugas-tugas Kehambaan dan Kekhalifahan secara simultan, tanpa pemisahan. Pada konteks ini dunia dan akhirat tiada terpisah, garis lurus tanpa terputus. Dalam merealisasikan tugas-tugasnya, kecenderungan kepada kebenaran adalah hal yang tak dapat dinafikan. Selain itu apapun yang dilakukan dengan segala implikasinya, ia bertanggung jawab pada dirinya sendiri, baik itu kebaikan ataupun keburukan.
Keberadaan manusia di dunia disertai dengan kebebasan/kemerdekaan yang merupakan sesuatu yang melekat dalam dirinya. Maka kemerdekaan dan pertanggungjawaban adalah dua hak asasi pada manusia yang meniscayakan dirinya untuk memilih dan memutuskan apapun tindakannya di muka bumi ini dalam perwujudan kebudayaan dan peradaban.
Dalam keberadaannya di dunia, manusia senantiasa dalam kondisi menjadi (becoming) yakni selalu bergerak mencari dan menuju kesempurnaan. Dalam konteks menjadi, manusia digerakkan oleh kesadaran diri dan realitasnya sehingga menghendaki kebebasan memilih dan bertindak. Predikat sebagai wakil Tuhan di muka bumi, adalah kehormatan yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya karena ketidakmampuan dalam mengembannya dan manusia dirasa layak. Sebagai Khalifah, manusia memiliki kehendak bebas, memiliki pandangan dan nalar, pemikir, menentukan pilihannya sendiri, serta penentu masa depannya. Dengan segala atribut Tuhan yang dimilikinya, manusia bertanggung jawab atas diri, masyarakat, zaman, peradaban, sejarah dan bangsanya (Ali Syariati, 2014;148).
Manusia sebagai individu, ia juga adalah makhluk sosial, sebagaimana disampaikan oleh Mulyadhi Kartanegara bahwa diantara makhluk Tuhan yang ada di muka bumi ini, manusialah yang paling tidak bisa hidup sendiri (Mulyadhi Kartanegara, 2017; 227). Keberadaan dirinya akan selalu membutuhkan orang lain dalam berkehidupan, akan selalu bekerja sama dengan orang lain. Lantas apakah keberadaan sosialnya menafikan individunya, tentunya tidak demikian. Justru sebaliknya, menjadi berharga pada saat “diri” berada di tengah-tengah komunitas sosialnya. Sebagai makhluk yang berada dalam ruang dan waktu, berinteraksi, juga berdinamika dalam masyarakat, manusia sebagai individu menjadi bermakna dalam konteks relasinya dengan manusia yang lain.
Namun tak jarang ditemukan fenomena-fenomena yang berlainan, individu dan individu lainnya saling berselisih, kelompok satu dengan lainnya berada dalam pusaran konflik bahkan tak jarang mengeksploitasi dan menindas antar individu juga kelompok sehingga keberadaannya justru bukan membawa manfaat malah sebaliknya menimbulkan mudharat. Mengapa demikian? Jawabanya tak lain dan tak bukan adalah kurangnya pemahaman akan hakikat diri, fungsi dan tujuan dan lebih mengedepankan hawa nafsu.
Pasalnya realitas demikian tak banyak yang memahami, atau mungkin keengganan untuk menyudahi. Seakan menampak sikap acuh terhadap kondisi, padahal patutlah dirinya terlibat untuk menyelesaikan demi terwujudnya kohesi sosial, lebih-lebih kepada keadilan dan kemakmuran dalam berkehidupan. Kehidupan era modern sekarang yang terlihat adalah demikian, bagaimana kejamnya sistem kapitalis menghendaki eksploitasi dan penindasan manusia atas manusia. Kondisi yang cenderung mendiamkan, jelas memperlihatkan bagaimana rendah bahkan tiadanya kepekaan diri terhadap lingkungan sosial yang justru menandakan matinya realitas sosial.
Asran Salam mendefinisikan kematian sosial adalah tak hidupnya nilai-nilai ketuhanan dalam masyarakat. Lebih lanjut, Asran Salam menjelaskan bahwa matinya realitas sosial adalah kenyataan sosial dimana manusia satu sama lain saling menindas, satu kelompok manusia menguasai dari segala aspek kehidupan yang lain (Arsan Salam, 2020; 89-90). Gambar demikian bukankah menjelaskan kehidupan materialis-kapitalis, tabiat kerakusan. Meminjam bahasa Mahatma Gandhi sebagai dikutip oleh Arsan Salam, bahwa dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi kerakusan manusia.
Seakan kita menemukan dikotomi antara manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Asumsi demikian berangkat dari fenomena tingginya perilaku individualistik yang lekat dengan kapitalisme. Kegagalan memahami diri sebagai individu berakibat fatal pada cara pandang terhadap masyarakat yang dianggapnya sebagai hal yang semu bahkan tak memiliki hakikat sehingga tak penting (Azhari Akmal Tarigan, 2018; 198). Kondisi demikian menjadikan manusia sebagai individu kehilangan nilai kemanusiaannya karena tak bisa memahami, merasakan bahkan bersama-sama berjuang melakukan perlawaan untuk merubah kondisi sosialnya.
Sepatutnya keberadaan individu sebagai totalitas kemanusiaan (keakuan) dalam masyarakat menghendaki terjadinya rekayasa sosial pada sistem yang membelenggu, berupaya melakukan transformasi lewat gerakan sosial lebih-lebih pada liberasi, emansipasi dan humanisasi bukan sebaliknya justru menjadi bagian dari sistem yang menindas. Bukankah Jika manusia adalah makhluk yang merdeka, juga harus memerdekakan? Jika manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan, bukahkan harus disertai spirit pembebasan?
Dalam konteks ini, ideologi menjadi keniscayaan dalam keberadaannya. Ideologi merupakan fitrah yang teramat penting dan bernilai serta merupakan wujud kesadaran dalam diri manusia. Dengan ideologi manusia akan memahami dirinya, alam semesta dan lingkungan lalu mengevaluasi kembali sistem dan struktur yang membentuk realitas sosialnya sehingga dapat memformulasikan metode dan pendekatan untuk mengubah kondisi sosial yang terlegitimasi status quo.
Lantas apa yang melatarbelakangi kondisi-kondisi demikian seakan tak terwujud. Menelisik gagasan Ali Syariati lebih jauh, manusia berada dalam kondisi yang merenggut kemerdekaannya. Di mana ketakbebasan manusia untuk bertindak, dalam kondisi itu Ali Syariati menyebutnya sebagai “Penjara Manusia”. Selain itu, pergolakan internal diri juga eksternal menjadikan manusia tak leluasa perjalanannya menuju kesempurnaan, selalu terjadi perlawanan dan pertempuran yang dalam pandangannya disebut sebagai “Musuh-musuh Manusia”.
Penjara Manusia dalam pandangan Ali Syariati, adalah segala sesuatu yang menghambat manusia. Pertama adalah alam, yakni hukum yang menjadikan deterministik sehingga manusia tidak menonjolkan kreatifitas, efektifitas dan efisiensinya. Untuk keluar dari penjara, manusia harus dapat menundukan alam beserta hukum-hukumnya. Kedua adalah sejarah, di mana manusia tidak mampu melepas pandangan bahwa dirinya adalah produk sejarah. Pandangan determinisme sejarah demikianlah yang menjadikan manusia terpenjara, alhasil kehilangan kondisi alamiahnya sebagai pembuat sejarah padahal ia adalah merdeka dalam bertindak dan merdeka merancang masa depannya. Penjara ketiga adalah masyarakat, yang mana manusia terbentuk dari lingkungan di mana dia berada. Pandangan demikianlah yang menjadikan masyarakat sebagai kekuatan deterministik sehingga inovasi serta kreativitas guna merubah kondisi sosialnya menjadi hilang. Dan terakhir ialah penjara ego yang potensial menjadikan manusia berada dalam kondisi absurd (Asran Salam, 2020; 66-69).
Sedangkan musuh-musuh manusia, dalam pandangannya adalah hal-hal yang menjadikan terkikisnya wujud insani. Musuh manusia bagi Ali Syariati adalah faktor yang keberadaanya menjadikan manusia lemah bahkan merosot hakikat kemanusiaanya (Ali Syariati, 1985;35). Ali Syariati menelaah fenomena musuh manusia itu berangkat dari kondisi abad modern, dengan meminjam bahasa Martin Heidegger ia menilai bahwa modernisasi telah menghadirkan dampak negatif yang mengarah pada kehancuran hakikat manusia karena terjebak pada disiplin ketat terutama dalam dunia kerja bahkan menjadikan manusia hidup dalam kehidupan yang mekanistik bak mesin.
Musuh-musuh manusia menurut Ali Syariati pertama adalah Ilmu yang memperbudak manusia lewat modal dan kekuasaan, menjadikan manusia tereksploitasi. Dalam pemahaman ini, ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang telah berasimilasi dengan materi (uang). Kedua adalah spesialisasi yang dalam pandangan Martin Heidegger adalah sesuatu yang bertentangan dengan hakikat manusia. Spesialisasi menjadikan manusia tereduksi karena kemampuan yang parsial. Musuh ketiga adalah materialisme yang bagi Ali Syariati merupakan musuh yang tangguh. Materialisme mengantarkan manusia pada kesadaran akan dirinya sebagai materi dan menafikan kesadaran serta nilai-nilai insaniah. Keempat adalah agama yang berfungsi sebagai candu-alat membius, menjadi instrumen legitimasi dalam sekelompok orang untuk menindas. Hampir tak jauh beda dengan konsep agama sebagai candu dari Karl Marx. Terakhir adalah berlebih-lebih atau sikap pemborosan, sebuah sikap yang mencerminkan watak konsumerisme yakni kehidupan yang diciptakan dan berhasil direkayasa oleh kapitalisme (Asran Salam, 2020;70-74).
Ali Syariati menawarkan jalan keluar dari penjara dan bagaimana mengatasi musuh-musuh manusia, yakni dengan kekuatan yang bersumber dari Ruh Illahi yang ditiupkan Tuhan kepada manusia yaitu kesadaran, kebebasan dan kreativitas. Setelah manusia terbebas dan menang atas musuh-musuhnya, barulah manusia dapat menuju kemenjadian (becoming) menuju kesempurnaan atau dalam pandangannya adalah menjadi manusia ideal yakni manusia yang senantiasa bergulat dengan realitas, mampu membentuk lingkungannya dan bukan sebaliknya, manusia yang memiliki keberanian untuk menentang dan melakukan perlawanan. Bagi Ali Syariati, manusia ideal adalah bukan menjadi manusia asketik yang mengasingkan diri dalam pertapaan, hidup dalam kesendirian lalu memusatkan diri pada ritus-ritus personal atau menghabiskan waktu di bawah kubah-kubah masjid sedangkan lingkungannya terjadi penindasan melainkan manusia yang dalam dirinya ditemukan iman dan rasionalisme, kesalehan dan aktivisme, jihad dan ijtihad, kesepian dan komitmen sosial serta kekuasaan dan cinta. (*)