Oleh : Riang Jabir
Mahasiswa Universitas Khairun Ternate, Prodi Ekonomi Pembangunan
Dalam konteks ekonomi pembangunan, keberadaan institusi perencanaan yang kuat merupakan prasyarat penting bagi keberhasilan implementasi strategi dan kebijakan pembangunan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebagai lembaga teknis daerah yang bertanggung jawab dalam perencanaan pembangunan memiliki posisi strategis dalam menentukan arah dan kualitas pembangunan di tingkat lokal. Sejak era desentralisasi, peran Bappeda semakin krusial karena daerah memiliki kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumber daya dan merencanakan pembangunannya sendiri. Tulisan ini akan mengulas peran strategis Bappeda dalam konteks ekonomi pembangunan daerah beserta tantangan dan strategi penguatannya.
Secara historis, kelembagaan perencanaan pembangunan di Indonesia telah mengalami evolusi panjang sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan dan sistem pemerintahan. Menurut Kuncoro (2018), sebelum era reformasi, perencanaan pembangunan cenderung bersifat sentralistik dengan pendekatan top-down di mana daerah lebih banyak melaksanakan program yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat. Pasca implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan terakhir UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, paradigma perencanaan bergeser menuju desentralisasi dengan pendekatan yang lebih partisipatif dan bottom-up.
Bappeda memiliki peran sentral dalam menerjemahkan visi pembangunan daerah menjadi dokumen perencanaan yang komprehensif. Menurut Permendagri No. 86 Tahun 2017, Bappeda bertugas menyusun dokumen perencanaan strategis seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dokumen-dokumen ini menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan dan alokasi anggaran daerah. Studi Bank Dunia (2022) menunjukkan bahwa daerah dengan dokumen perencanaan yang baik dan konsisten cenderung memiliki kinerja pembangunan ekonomi yang lebih baik.
Dalam perspektif ekonomi pembangunan, Bappeda memiliki fungsi krusial dalam mengidentifikasi potensi dan keunggulan komparatif daerah. Seperti diungkapkan oleh Todaro dan Smith (2020), strategi pembangunan ekonomi yang efektif harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang karakteristik lokal dan keunggulan komparatif. Melalui analisis yang komprehensif, Bappeda dapat merumuskan strategi pengembangan ekonomi lokal yang tepat sasaran, baik melalui pendekatan pengembangan klaster industri, kawasan ekonomi khusus, maupun ekonomi kreatif yang kini menjadi tren global.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa kualitas perencanaan yang dihasilkan Bappeda memiliki korelasi kuat dengan kinerja ekonomi daerah. Penelitian Firman (2020) menemukan bahwa daerah dengan kapasitas perencanaan yang kuat umumnya memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, penurunan kemiskinan yang lebih cepat, serta distribusi pembangunan yang lebih merata. Hal ini menegaskan pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan Bappeda sebagai prasyarat keberhasilan pembangunan ekonomi daerah.
Sebagai koordinator perencanaan pembangunan, Bappeda memiliki peran strategis dalam menyelaraskan berbagai kepentingan dan inisiatif antar sektor dan pemangku kepentingan. Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2019), koordinasi yang efektif merupakan kunci keberhasilan implementasi program pembangunan di daerah. Melalui forum-forum koordinasi seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Bappeda memfasilitasi dialog konstruktif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam merumuskan prioritas pembangunan yang inklusif.
Di era ekonomi berbasis pengetahuan, Bappeda dituntut untuk menjadi lembaga yang adaptif terhadap perubahan dan mampu mengintegrasikan inovasi dalam perencanaan pembangunan. Kajian SMERU Research Institute (2021) menunjukkan bahwa pemanfaatan data dan teknologi informasi dalam perencanaan dapat meningkatkan akurasi dan efektivitas program pembangunan. Pendekatan perencanaan berbasis bukti (evidence-based planning) menjadi keniscayaan bagi Bappeda modern untuk menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran.
Meskipun memiliki posisi strategis, dalam praktiknya Bappeda masih menghadapi berbagai tantangan. Pertama, kesenjangan kapasitas antar daerah masih cukup tinggi. Studi Bappenas (2023) mengungkapkan bahwa mayoritas Bappeda di daerah tertinggal masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kedua, masih terdapat ego sektoral yang menghambat koordinasi lintas sektor. Ketiga, kualitas data dan sistem informasi pembangunan daerah yang belum memadai menyebabkan perencanaan kurang akurat dan responsif.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, Bappeda memiliki tanggung jawab besar untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam perencanaan pembangunan. United Nations Development Programme (2022) menekankan pentingnya pengarusutamaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam perencanaan pembangunan daerah. Sebagai penerjemah kebijakan nasional ke tingkat lokal, Bappeda berperan penting dalam melokalisasi SDGs sesuai dengan konteks dan kebutuhan daerah.
Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan merupakan aspek penting dalam menjamin legitimasi dan efektivitas implementasi program. Namun, penelitian Aziz (2020) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam Musrenbang masih cenderung formalistik dan belum substantif. Bappeda perlu mengembangkan mekanisme partisipasi yang lebih inklusif dan bermakna untuk memastikan aspirasi seluruh kelompok masyarakat, terutama kelompok rentan, terakomodasi dalam dokumen perencanaan.
Ke depan, penguatan kapasitas Bappeda menjadi imperatif bagi percepatan pembangunan ekonomi daerah. Beberapa strategi yang dapat ditempuh meliputi: (1) peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan, pelatihan, dan asistensi teknis; (2) penguatan sistem informasi perencanaan pembangunan daerah yang terintegrasi; (3) pengembangan metodologi perencanaan yang adaptif dan responsif terhadap perubahan lingkungan strategis; (4) penguatan mekanisme koordinasi melalui pendekatan kolaboratif dan government; dan (5) penerapan prinsip tata kelola yang baik dalam seluruh proses perencanaan.
Sebagai kesimpulan, Bappeda memiliki peran strategis dalam mengarahkan pembangunan ekonomi daerah di era desentralisasi. Kualitas perencanaan yang dihasilkan Bappeda akan sangat menentukan kinerja pembangunan ekonomi daerah secara keseluruhan. Dalam menghadapi dinamika pembangunan yang semakin kompleks, diperlukan transformasi Bappeda menjadi lembaga perencanaan yang adaptif, inovatif, dan berbasis bukti. Hanya dengan penguatan kapasitas kelembagaan Bappeda secara komprehensif, visi pembangunan ekonomi daerah yang inklusif dan berkelanjutan dapat diwujudkan.