Oleh: Titi Pratiwi S. Hi. Ali
Mahasiswa Program Studi Manajemen, Universitas Khairun Ternate
Pertumbuhan ekonomi merupakan cermin utama dari kemajuan suatu negara. Ketika ekonomi tumbuh stabil dan berkelanjutan, maka kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat. Namun, dalam realitasnya, roda pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bergerak di ruang hampa—ia dipengaruhi oleh berbagai variabel makroekonomi, salah satunya adalah inflasi.
Inflasi, atau kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus, kerap menjadi perhatian utama dalam kebijakan ekonomi nasional. Jika tidak terkendali, inflasi dapat menggerus daya beli masyarakat, menciptakan ketidakpastian dunia usaha, hingga menurunkan kepercayaan investor. Tapi menariknya, tidak semua inflasi bersifat destruktif. Dalam kadar tertentu, inflasi justru bisa menjadi pertanda bahwa ekonomi sedang bergerak dan permintaan masyarakat meningkat.
Dalam konteks negatif, inflasi yang tinggi membuat masyarakat kehilangan sebagian kemampuan belinya. Konsumsi rumah tangga menurun, dan ini berdampak langsung pada pertumbuhan sektor riil. Dunia usaha pun cenderung menahan ekspansi karena ketidakpastian harga dan biaya produksi yang meningkat. Tak jarang, inflasi juga mendorong Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan, yang berdampak pada mahalnya biaya pinjaman dan lesunya investasi.
Meski terdengar kontradiktif, inflasi dalam batas wajar bisa menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Inflasi moderat menunjukkan bahwa permintaan atas barang dan jasa meningkat, yang mendorong produsen untuk meningkatkan kapasitas produksi. Pemerintah juga diuntungkan karena beban utang riil berkurang seiring dengan menurunnya nilai mata uang. Singkatnya, inflasi yang terkontrol bisa menjadi alat pendorong kegiatan ekonomi.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia berhasil menjaga inflasi dalam kisaran target 2–4% per tahun. Stabilitas ini turut menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, kondisi global yang tidak menentu, seperti dampak pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina, atau krisis energi, menekan harga pangan dan energi, memicu inflasi, dan menggoyahkan daya beli masyarakat.
Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah memiliki kerangka kebijakan yang baik, tantangan eksternal tetap bisa memengaruhi performa ekonomi domestik. Ketika inflasi naik tapi pendapatan masyarakat stagnan, maka pertumbuhan ekonomi pun berisiko melambat.
Untuk memastikan inflasi tidak menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan ekonomi, diperlukan langkah-langkah pengendalian yang terpadu. Bank Indonesia memainkan peran penting melalui kebijakan moneter, seperti pengaturan suku bunga dan pengendalian jumlah uang beredar. Pemerintah juga harus aktif menjaga stabilitas harga, terutama pangan dan energi, melalui operasi pasar, subsidi, serta pengelolaan rantai pasok yang efisien.
Tak kalah penting, koordinasi lintas sektor—antara pemerintah pusat dan daerah—perlu diperkuat agar distribusi barang kebutuhan pokok tidak terganggu dan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhannya tanpa harus membayar harga yang terlalu mahal.
Inflasi dan pertumbuhan ekonomi adalah dua sisi mata uang yang saling terkait. Tantangan yang ditimbulkan oleh inflasi bisa menjadi batu ujian, sekaligus peluang untuk memperbaiki struktur ekonomi nasional. Yang terpenting adalah menjaga keseimbangan: inflasi tidak boleh terlalu tinggi hingga membebani rakyat, tapi juga tidak terlalu rendah hingga mematikan gairah produksi. Dalam konteks ini, peran kebijakan ekonomi yang responsif dan adaptif menjadi kunci agar Indonesia mampu menjaga stabilitas sekaligus mendorong kemajuan.












