Pembangunan Maluku Utara: Peluang Emas yang Terancam oleh Ketimpangan dan Keterisolasian

Opini591 Dilihat

Oleh: Ardiansyah A. Sibua
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Khairun Ternate

Maluku Utara merupakan potret kontras dari sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya, namun masih terbelenggu oleh persoalan ketimpangan dan keterisolasian. Di tengah geliat pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh eksploitasi sumber daya alam seperti nikel, emas, dan kekayaan laut, provinsi ini menghadapi tantangan serius dalam pemerataan hasil pembangunan. Beroperasinya kawasan industri seperti Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah menjadikan Maluku Utara sebagai salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional. Namun pertanyaan mendasarnya tetap mengemuka: apakah pertumbuhan ini benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat?

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan di Maluku Utara masih bersifat timpang. Pusat-pusat pertumbuhan seperti Ternate dan Halmahera Tengah berkembang pesat, sementara wilayah-wilayah lain seperti Morotai, Obi, atau Kepulauan Sula masih tertinggal. Akses transportasi yang terbatas, konektivitas digital yang belum merata, serta minimnya infrastruktur dasar seperti listrik, air bersih, dan layanan kesehatan, menjadikan wilayah-wilayah terpencil kian terpinggirkan dari arus utama pembangunan.

Lebih dari itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) di Maluku Utara masih menjadi persoalan besar. Tingginya angka putus sekolah dan rendahnya akses terhadap pendidikan vokasional membuat masyarakat lokal sulit bersaing di tengah kebutuhan tenaga kerja industri yang terus meningkat. Ironisnya, di tengah masuknya investasi berskala besar, justru warga lokal kerap menjadi penonton karena tidak memiliki keterampilan teknis yang dibutuhkan. Ini adalah paradoks pembangunan yang nyata: kekayaan yang tumbuh subur, namun tidak berakar di masyarakatnya sendiri.

Sudah saatnya pendekatan pembangunan yang top-down dan sektoral diganti dengan perencanaan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan kontekstual. Pemerintah daerah dan pusat harus mulai mengedepankan pembangunan berbasis kepulauan, yang tidak hanya menitikberatkan pada pusat industri, tetapi juga menjangkau desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil. Peningkatan kualitas pendidikan, penguatan pelatihan vokasi, serta pembangunan infrastruktur konektivitas—baik fisik maupun digital—harus menjadi prioritas utama.

Baca Juga:

Dinamika Makroekonomi Maluku Utara: Pertumbuhan Tinggi, Kesenjangan Menganga

Pengendalian Inflasi: Evaluasi Fiskal di Ternate dan Halmahera Utara

Kritik utama terhadap perencanaan pembangunan di Maluku Utara terletak pada lemahnya integrasi antarwilayah dan antar sektor. Pembangunan kawasan industri tambang di Halmahera, misalnya, tidak diiringi oleh perencanaan logistik yang menyeluruh, seperti pembangunan pelabuhan, jalan penghubung antar kabupaten, atau sistem distribusi energi. Akibatnya, biaya logistik menjadi tinggi dan efisiensi pembangunan menurun.

Selain itu, keberpihakan terhadap masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat dan nelayan kecil, masih jauh dari harapan. Tidak sedikit kasus konflik lahan dan degradasi lingkungan yang muncul sebagai dampak dari ekspansi investasi besar. Ketidaktegasan regulasi dan lemahnya pengawasan pemerintah membuat suara masyarakat kerap terpinggirkan oleh kepentingan modal.

Pembangunan Maluku Utara sejatinya adalah peluang emas bagi transformasi wilayah kepulauan. Namun tanpa kebijakan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan inklusif, maka pertumbuhan itu akan menjadi fatamorgana belaka. Pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil harus bersinergi untuk memastikan bahwa setiap jengkal pembangunan benar-benar berpijak pada kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal. Maluku Utara tidak boleh sekadar menjadi ladang investasi—ia harus menjadi rumah sejahtera bagi seluruh warganya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *