PAD Ternate 2025 di Tengah Pemotongan TKD: Momentum Efisiensi dan Kemandirian

Opini, Ternate116 Dilihat

Oleh: Dr. Nurul Hidayah, SE, M.Si      Dosen Senior FEB Unkhair

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Ternate pada 2025 kembali menghadapi ujian berat. Hingga pertengahan September, realisasi PAD baru Rp85,9 miliar dari target Rp144,8 miliar, atau sekitar 59 persen. Pajak daerah menjadi tulang punggung dengan kontribusi Rp65,4 miliar, sementara retribusi hanya Rp14,9 miliar. Angka-angka ini menunjukkan ketimpangan: pajak daerah masih dominan, sedangkan retribusi yang seharusnya berbasis layanan publik masih belum memberi hasil memadai.

Situasi ini berlangsung di tengah dinamika yang lebih besar. Pemerintah pusat pada APBN 2026 telah menetapkan Dana Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp693 triliun, turun tajam 24,8 persen dari outlook 2025 yang mencapai Rp864,1 triliun. Artinya, ruang fiskal daerah semakin menyempit, dan ketergantungan pada kucuran dana pusat tidak lagi bisa diandalkan. Pemotongan TKD ini menegaskan satu hal: daerah harus segera memperkuat PAD sebagai penyangga utama keberlanjutan fiskal.

Peringatan itu juga disampaikan Mendagri Tito Karnavian. Ia menyoroti pemborosan anggaran di banyak daerah, terutama untuk rapat berulang, perjalanan dinas yang berlebihan, hingga program seremonial yang dibuat seolah-olah penting. Tito bahkan menyinggung adanya praktik fiktif, di mana rapat dianggarkan untuk puluhan orang tetapi hanya dihadiri sebagian kecil peserta. Kritik ini jelas relevan bagi Ternate. Dengan realisasi PAD yang masih rendah, tidak ada alasan satu rupiah pun terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif.

Efisiensi belanja harus menjadi fondasi. Bukan karena sekadar ingin hemat, tetapi karena ruang fiskal dari pusat kian menyusut. Pemangkasan perjalanan dinas dan rapat seremonial bisa membuka ruang anggaran yang lebih sehat. Dana tersebut bisa dialihkan untuk investasi produktif, seperti digitalisasi pemungutan pajak hotel dan restoran, penerapan retribusi non-tunai di pasar dan parkir, atau revitalisasi infrastruktur pendukung pariwisata. Langkah-langkah itu langsung berhubungan dengan peningkatan PAD tanpa menambah beban masyarakat.

Dalam konteks 2025, mengejar target Rp144,8 miliar masih mungkin dilakukan. Namun kuncinya bukan menaikkan tarif pajak atau retribusi, melainkan memastikan kebocoran ditutup dan sistem diperbaiki. Digitalisasi pajak dengan tapping box dan e-fiskal menjamin setiap transaksi masuk ke kas daerah. Pembayaran retribusi non-tunai menutup celah pungutan liar. Optimalisasi aset daerah yang mangkrak bisa menambah pemasukan tanpa pungutan baru. BUMD yang dikelola efisien pun dapat menyetor dividen sebagai tambahan PAD.

Pariwisata bisa menjadi motor tambahan. Festival kuliner, event heritage, hingga sport tourism akan mengundang wisatawan, meningkatkan perputaran uang di hotel dan restoran, dan memperbesar retribusi lokasi. Dampaknya berlapis: kas daerah bertambah, ekonomi lokal bergerak, dan kepercayaan publik meningkat. Prinsip value for money harus ditegakkan: masyarakat akan lebih mendukung pungutan jika melihat pelayanan publik yang nyata, seperti pengangkutan sampah yang lebih baik atau pengelolaan parkir yang tertib.

Tantangan ke depan jelas. Dengan TKD yang dipotong cukup besar, daerah yang masih malas berinovasi akan semakin terhimpit. Ternate tidak punya pilihan selain memperkuat kemandirian fiskalnya. PAD harus dipandang bukan sekadar target angka tahunan, melainkan instrumen strategis yang menentukan ruang gerak pembangunan.

Pemotongan TKD dari pusat seharusnya dibaca sebagai peluang. Ketika subsidi fiskal menyusut, daerah dipaksa menemukan sumber kekuatan sendiri. Jika Pemkot Ternate mampu menutup kebocoran, berani melakukan efisiensi, dan mengarahkan belanja ke sektor produktif, maka bukan hanya target PAD 2025 yang tercapai, tetapi fondasi kemandirian fiskal jangka panjang juga akan terbangun.

Dengan demikian, tahun 2025 bisa menjadi momentum penting bagi Ternate untuk membuktikan diri. Di tengah berkurangnya dukungan fiskal pusat, pilihan hanya dua: tetap bergantung dan tertinggal, atau berbenah dan mandiri. Pilihan kedua jelas lebih sulit, tetapi juga satu-satunya jalan menuju kemandirian fiskal yang berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *