Meylani Muhammad. A¹, Alan Kusuma Hi.M.Saleh², Sri Dewi Ismail³, Syahra I. Tamuno⁴, Miranda Faisal⁵, SRIYANI Adnan⁶, dan Mardatila sarif⁷.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu indikator kunci dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu negara dari sisi kualitas hidup masyarakatnya. Dalam konteks pembangunan ekonomi, IPM memegang peranan penting karena mencerminkan capaian pembangunan dalam dimensi pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Artinya, pembangunan ekonomi yang ideal tidak semata-mata dinilai dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi, melainkan dari sejauh mana hasil pembangunan tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.
Hubungan IPM dengan Indikator Pembangunan Ekonomi
IPM adalah ukuran komposit yang mencakup harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup layak. Dalam sejarah pemikiran ekonomi, sebelum tahun 1970-an, pembangunan cenderung dipandang hanya dari sisi ekonomi. Fokus utama pada masa itu adalah pertumbuhan pendapatan, akumulasi modal, dan output ekonomi. Namun, perkembangan zaman menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tidak serta-merta membawa perbaikan kualitas hidup masyarakat. Masalah sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan tetap tinggi di beberapa negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi.
Kritik terhadap paradigma pembangunan ekonomi tradisional ini mendorong munculnya pendekatan pembangunan manusia, yang menempatkan manusia sebagai tujuan akhir pembangunan, bukan hanya sebagai alat produksi. Gagasan ini dipelopori oleh United Nations Development Programme (UNDP) melalui Human Development Report tahun 1990. Dalam laporan tersebut, pembangunan manusia ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan masyarakat menikmati hidup yang sehat, produktif, dan bermakna.
IPM sebagai indikator pembangunan ekonomi modern menunjukkan keterkaitan yang erat antara kualitas manusia dan produktivitas ekonomi. Manusia yang sehat, terdidik, dan sejahtera akan mampu berinovasi dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Selain itu, peningkatan IPM juga mendorong pertumbuhan konsumsi yang pada akhirnya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pengaruh IPM terhadap Pengangguran dan Kinerja Ekonomi
Penelitian Yusuf dan Al Arif (2015) menunjukkan bahwa IPM memiliki pengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat pengangguran. Semakin tinggi IPM suatu daerah, semakin rendah tingkat pengangguran. Hal ini memperkuat argumen bahwa peningkatan kualitas hidup manusia berperan besar dalam memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan partisipasi angkatan kerja yang produktif. Sebaliknya, IPM yang rendah menunjukkan lemahnya kualitas sumber daya manusia, sehingga menyebabkan penyerapan tenaga kerja tidak maksimal.
Perkembangan Metodologi IPM dan Implementasi di Indonesia
Dalam perjalanannya, UNDP terus memperbaiki metodologi penghitungan IPM. Sejak tahun 2010, indikator pendidikan diperbarui dari Angka Melek Huruf (AMH) menjadi Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS) karena AMH dinilai kurang relevan dalam mencerminkan kualitas pendidikan. Metodologi ini juga diadopsi oleh Indonesia sejak tahun 2014 dengan melakukan backcasting untuk tahun-tahun sebelumnya agar data historis tetap relevan.
Di Indonesia, IPM menjadi salah satu indikator penting dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan. Sejak tahun 1996, Indonesia menghitung IPM secara berkala hingga ke tingkat kabupaten/kota. IPM digunakan dalam penentuan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Insentif Daerah (DID), menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya berorientasi pada output ekonomi, tetapi juga pada kesejahteraan rakyat.
Integrasi IPM dalam Strategi Pembangunan Nasional: IPM telah menjadi indikator utama dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Dalam Kerangka Ekonomi Makro (KEM), IPM disejajarkan dengan indikator penting lain seperti PDB per kapita, inflasi, dan pengangguran. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan manusia telah menjadi arus utama dalam strategi pembangunan nasional.
Dengan demikian, IPM bukan hanya alat ukur, tetapi juga cermin dari keberhasilan suatu negara dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan sosial. Pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan pembangunan manusia cenderung timpang dan tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, upaya peningkatan IPM harus menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional agar hasil pembangunan dapat dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pembangunan ekonomi tidak cukup hanya diukur dari peningkatan pendapatan nasional atau pendapatan per kapita semata. Perubahan dalam struktur sosial, sistem kelembagaan—baik dalam bentuk organisasi maupun aturan main—serta transformasi sikap dan perilaku masyarakat juga merupakan elemen penting dalam proses pembangunan ekonomi yang sejati. Tanpa perubahan-perubahan tersebut, pembangunan hanya bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar permasalahan sosial dan ekonomi yang mendalam.
Untuk memahami sejauh mana pembangunan telah berlangsung, diperlukan indikator yang mampu mengukur kemajuan ekonomi secara komprehensif. Indikator ini tidak hanya berguna untuk membandingkan tingkat kesejahteraan antar wilayah atau negara, tetapi juga membantu mengenali corak pembangunan yang diadopsi masing-masing negara. Secara umum, indikator pembangunan dapat diklasifikasikan menjadi indikator moneter, nonmoneter, dan campuran. Tulisan ini akan menyoroti indikator moneter dan nonmoneter, serta kelebihan dan keterbatasannya masing-masing.
Indikator Moneter: Pendapatan Per Kapita
Pendapatan per kapita merupakan indikator yang paling umum digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat suatu negara. Sebagai ukuran rata-rata pendapatan nasional per individu, indikator ini mencerminkan kinerja ekonomi secara makro, dan menjadi salah satu variabel penting dalam analisis ekonomi.
Meskipun begitu, banyak ekonom berpendapat bahwa pendapatan per kapita bukanlah tolok ukur yang sempurna untuk menilai keberhasilan pembangunan. Pembangunan ekonomi yang ideal bukan sekadar soal peningkatan pendapatan riil, tetapi juga mencakup perubahan dalam perilaku dan nilai-nilai masyarakat agar tidak menjadi penghambat kemajuan. Kendati memiliki kekurangan, pendapatan per kapita tetap dianggap relevan karena fokusnya pada esensi pembangunan: peningkatan kualitas hidup dan pengurangan kemiskinan.
Namun demikian, kelemahan utama dari indikator ini terletak pada ketidakmampuannya merepresentasikan kesejahteraan secara utuh. Kenaikan pendapatan per kapita tidak selalu mencerminkan peningkatan kualitas hidup yang dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini menjadi dasar dari berbagai kritik terhadap penggunaan indikator ini secara tunggal.
Faktor-faktor nonekonomi seperti adat istiadat, iklim, dan kebebasan sipil turut memengaruhi tingkat kesejahteraan. Sebagai contoh, dua wilayah dengan pendapatan per kapita yang sama bisa memiliki tingkat kesejahteraan yang berbeda jika kondisi alam dan akses terhadap pelayanan publik berbeda. Negara dengan sistem pemerintahan otoriter pun, meski menunjukkan pertumbuhan ekonomi tinggi, belum tentu mampu meningkatkan kualitas hidup warganya karena keterbatasan dalam kebebasan berpendapat dan bertindak.
Lebih jauh, persepsi terhadap kesejahteraan bersifat subjektif. Ada individu yang menganggap kekayaan sebagai indikator utama kepuasan hidup, sementara yang lain lebih mementingkan waktu luang atau kebebasan pribadi. Dengan demikian, penggunaan pendapatan per kapita sebagai indikator tunggal sangat terbatas dalam menjelaskan realitas kesejahteraan masyarakat secara holistik.
Indikator Nonmoneter: Dimensi Sosial dalam Kesejahteraan
Sebagai pelengkap indikator moneter, indikator nonmoneter digunakan untuk menangkap aspek-aspek kesejahteraan yang tidak bisa diukur dengan uang. Beckerman (1966) dalam studinya International Comparisons of Real Incomes, mengelompokkan pendekatan ini dalam tiga kategori: (1) pendekatan yang menyempurnakan perhitungan pendapatan konvensional, (2) pendekatan yang menyesuaikan data pendapatan dengan perbedaan harga antarnegara, dan (3) pendekatan yang menggunakan data nonmoneter seperti tingkat pendidikan, konsumsi energi, kepemilikan kendaraan, dan akses listrik.
Studi Gilbert dan Kravis (1956) menjadi salah satu pendekatan yang paling komprehensif. Mereka membandingkan pendapatan per kapita antara negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dengan cara menyesuaikan harga agar nilai produksi dihitung dalam satu standar harga yang sama, yaitu harga di Amerika Serikat. Pendekatan ini memberikan gambaran yang lebih akurat terhadap perbandingan kesejahteraan antarnegara, terutama dalam konteks daya beli.
Namun, indikator nonmoneter juga memiliki keterbatasan. Beberapa data, seperti jumlah kendaraan atau konsumsi listrik, bisa menyesatkan jika tidak dilihat dalam konteks sosial dan budaya masing-masing negara. Oleh karena itu, indikator nonmoneter sebaiknya tidak digunakan secara terpisah, melainkan sebagai pelengkap untuk memberikan gambaran yang lebih menyeluruh.